Dirgahayu Pers Nasional
(riaumandiri.co)-Bila ada pertanyaan, kapan hari ulang tahun Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan kapan Hari Pers Nasional (HPN) tiap tahun diperingati, sebagian masyarakat lebih hafal menjawab HPN ketimbang mengingat milad PWI.
Tulisan ucapan selamat HPN lengkap dengan tanggal dan bulannya pada berbagai baliho, poster, spanduk, dan umbul-umbul yang terpasang di seluruh Kota Ambon membuktikan bahwa peringatan HPN lebih teringat daripada ulang tahun PWI.
Padahal keduanya memiliki tanggal dan bulan yang sama, yakni 9 Februari. Organisasi PWI berdiri di Solo, Jawa Tengah, pada 9 Februari 1946 sedangkan HPN diperingati setiap tahun pada 9 Februari sejak 1985.
HPN mengambil momentum kelahiran PWI. HPN diselenggarakan setiap tahun pada 9 Februari bertepatan dengan Hari Ulang Tahun PWI
Awalnya salah satu keputusan Kongres ke-28 PWI di Padang, Sumbar, tahun 1978 menghendaki adanya satu hari untuk memperingati peran dan keberadaan pers secara nasional.
Lalu keputusan itu disampaikan kepada Dewan Pers untuk diteruskan kepada pemerintah. Dewan Pers yang berdiri pada 1966, melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan Pokok Pers, merupakan organ pemerintah yang memiliki hubungan struktural dengan Departemen Penerangan.
Sidang Dewan Pers ke-21 di Bandung pada 19 Februari 1981, menyetujui menyampaikan kehendak menetapkan HPN kepada pemerintah.
Empat tahun kemudian, terbit Keputusan Presiden Nomor 5 tahun 1985 yang ditandatangani oleh Presiden Soeharto pada 23 Januari 1985 mengenai penetapan HPN.
Dewan Pers menetapkan HPN diperingati setiap tahun secara bergantian di ibu kota provinsi, dalam sidang di Ambon, Maluku, pada 11-13 Oktober 1985.
Puncak Peringatan HPN ke-32 di Ambon pada 9 Februari 2017 ini seperti bernostalgia dengan Sidang Dewan Pers di kota yang sama pada 1985 yang menetapkan HPN tiap tahun.
Seiring dengan era reformasi, keberadaan Dewan Pers menjadi organisasi independen berdasarkan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Sejak era itu, pendirian pers juga tak lagi membutuhkan SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers). Sebelumnya SIUPP menjadi persyaratan mutlak yang diberlakukan pemerintahan Orde Baru melalui Peraturan Menteri Penerangan Nomor 1 Tahun 1984.
Perjalanan pers nasional sangat panjang, diawali dengan keberadaannya sebagai alat perjuangan melawan kolonial Belanda. Pemerintahan kolonial dahulu juga memiliki beragam pers sebagai media agitasi dan propaganda bagi kepentingan bangsa penjajah.
Pendirian Kantor Berita Antara pada 13 Desember 1937, misalnya, oleh empat pemuda Adam Malik, Soemanang Soerjowinoto, AM Sipahoetar, dan Pandoe Kartawigoena, merupakan media perjuangan kemerdekaan dan perlawanan terhadap kolonialisme. Antara berhadap-hadapan melawan agitasi dan propaganda yang dilakukan Aneta (Algemeen Nieuws en Telegraaf Agent Schap), kantor berita milik pemerintah kolonial Belanda ketika itu.
Antara pun berhasil menyebarluaskan pemberitaan Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945 ke seluruh negeri hingga ke mancanegara.
Momentum Kemerdekaan Republik Indonesia juga membangkitkan para wartawan untuk berhimpun dalam satu organisasi, yakni PWI. Salah satu pendiri Antara, Soemanang Soerjowinoto, dipercaya sebagai Ketua Umum PWI yang pertama.
Para wartawan pejuang ini membentuk organisasi PWI untuk turut mempertahankan kemerdekaan dari keberadaan pers penjajah atau pers asing lainnya yang masih ingin menancapkan pengaruhnya.
Pada era Orde Lama, pers mengecap kebebasan dan kemerdekaannya, sangat mendukung pemerintahan Republik yang baru terbentuk dan melawan seluruh kepentingan bangsa kolonial.
Namun ketika Demokrasi Terpimpin diterapkan oleh Presiden Soekarno selaku Panglima Tertinggi Angkatan Perang menyusul dekrit 5 Juli 1959, kebebasan pers mulai terpasung. Pembreidelan diberlakukan.
Era Orde Baru yang sentralistik pun mengontrol kebebasan pers dan masih memberlakukan berbagai pembredelan. Bahkan melalui pencabutan SIUPP, tak hanya melarang penerbitan pemberitaannya tetapi juga menutup perusahaan persnya sehingga banyak wartawan dan karyawan pada perusahaan pers kehilangan pekerjaannya.
Era reformasi muncul pada 1998 terjadi euforia kebebasan pers. Pers muncul bak cendawan di musim hujan, apalagi untuk mendirikan pers tak perlu lagi persyaratan SIUPP. Pers yang sudah ditutup pada era Orde Baru pun hidup kembali.
Hingga kini kebebasan pers benar-benar dinikmati oleh pers nasional, membuat Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang menerapkan kemerdekaan pers yang sangat baik.
Sebagai industri, persaingan pers merebut pasar di Tanah Air membuat sebagian pers mati secara alami, sebagian lain justru membentuk korporasi dengan kekuatan modal besar, dan sebagian lagi membentuk jaringan kelompok media.
Perkembangan teknologi informasi digital tak kuasa dibendung, memaksa pers berubah format ke bentuk yang "multiplatform" untuk memanjakan publik dalam kemudahan mengaksesnya. Berbagai pemberitaan kini dengan mudah diperoleh melalui telepon seluler.
Sebagian masyarakat tak perlu lagi membentangkan kedua tangan untuk membaca lembaran koran, menonton dari pesawat televisi, atau mendengarkan dari radio transistor.
Cukup dari telepon pintar dalam genggaman tangan, semua tampilan teks, video, dan audio bisa dinikmati.
Keberadaan beragam media sosial juga membuat siapa saja bisa berperan sebagai "wartawan" yang bisa mengabarkan apa saja tentang dirinya, lingkungan sekitarnya, atau berkomentar apa saja.
Pers nasional mengalami tantangan demi tantangan dalam mempertahankan eksistensinya, termasuk kini pada era globalisasi yang menuntut kemampuan bersaing dengan pers dunia dalam menyajikan berbagai pemberitaan tercepat, terlengkap, terakurat, ataupun terpercaya.
Apapun yang sedang dan akan terjadi, media massa tak akan pernah mati, kecuali "platform" media yang kerap mengikuti perkembangan zaman. Persaingan tetap sengit dan pers nasional pasti mampu menghadapi berbagai tantangan. Bagaimanapun tantangan adalah peluang dan mesti dihadapi secara optimistik tanpa meninggalkan peran, fungsi, dan tanggung jawabnya.
Dirgahayu pers nasional, jayalah di negeri sendiri hingga mendunia.