Riau Siaga Darurat
Pemerintah menyatakan status Siaga Darurat atas peningkatan potensi kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau. Status itu membawa konsekuensi agar setiap pemangku kepentingan di tingkat daerah dan pusat waspada dan bertindak pada kesempatan pertama untuk memadamkan api sebelum membesar.
”Saya sudah meminta izin kepada Presiden untuk siaga darurat di Riau. Artinya, kami semua siap-siap agar tak terjadi hal darurat,” kata Siti Nurbaya Bakar, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Rabu (18/2), di Jakarta.
Awal pekan ini, Siti memimpin langsung rapat koordinasi daerah soal antisipasi kebakaran hutan dan lahan di Riau. Sejumlah bupati turut hadir pada pertemuan itu, selain dihadiri gubernur.
Berdasarkan sistem pengawasan dan pemantauan kebakaran hutan dan lahan Global Forest Watch yang dikembangkan World Resources Institute, dalam sepekan ini terdapat 34 titik api berkeyakinan tinggi di Bengkalis (25), Pelalawan (5), dan Rokan Hilir (4).
Sejumlah 17 titik api berada di lahan perkebunan, 2 titik api di areal konsesi hutan tanaman industri (HTI), 2 titik api di areal konsesi hak pengusahaan hutan (HPH), dan lainnya di lokasi lain. Sebagian besar titik api atau 94 persennya berada di kawasan bergambut.
Banyaknya titik api di lahan perkebunan kelapa sawit itu membuat Siti mengajak koleganya, Menteri Pertanian Amran Sulaiman, untuk bersama-sama melakukan pengawasan di lapangan. ”Saya surati Menteri Pertanian dan telepon langsung, dan beliau mendukung,” katanya.
Pengawasan di lapangan oleh pemerintah daerah dan kalangan internal pemilik lahan konsesi atau izin perkebunan diklaim Siti semakin meningkat pasca audit kepatuhan yang dijalankan Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) beberapa waktu lalu.
Audit itu membuat kepala daerah tak bisa lagi membiarkan dan harus sadar kewenangan serta kewajibannya dalam pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan.
Siti juga kembali menandaskan, hasil pemantauan udara di lapangan 16 Februari 2015 menguatkan kebakaran disebabkan faktor pembakaran.
”Seluruhnya pembakaran, ada 5-6 titik yang saya lihat. Di situ, ciri-cirinya area yang terbuka. Ada yang di lahan perkebunan dan ada yang di pinggir-pinggir HTI,” katanya.
Jajaki Hujan Buatan
Berdasarkan temuan itu, ia juga meminta Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), yang saat itu juga melakukan pemantauan udara, agar memulai skenario pembuatan hujan buatan yang telah dikuasai para peneliti dalam negeri. Itu agar api tidak membesar dan sulit dipadamkan.
”Di gambut tidak boleh ada api karena kalau menjalar sulit memadamkannya,” kata Siti. Karakter lahan gambut mirip spons, yakni penyimpan air yang baik apabila dijaga. Sebaliknya, sangat mudah terbakar apabila air kering.
Nur Masripatin, mantan deputi pada Badan Pengelola REDD+ yang kini menjadi anggota Tim Nasional Pengendalian Perubahan Iklim di Kementerian LHK, mengatakan, BP-REDD+ juga telah membangun Karhutla Monitoring System (KMS).
Ruang pemantauan itu memberi informasi yang lalu disebarluaskan kepada para pemangku kepentingan agar cepat dilakukan pemadaman.
Selain itu, kata Nur, resolusi tinggi dari sistem tersebut sangat membantu proses pembuktian dalam penegakan hukum kasus-kasus kebakaran hutan dan lahan.
Audit kepatuhan kasus kebakaran hutan dan lahan, seperti dilakukan pertama kalinya di Riau yang dinilai efektif, juga direkomendasikan agar dilakukan di provinsi lain yang juga rawan kebakaran.
Agenda BP-REDD+ sebelum dilebur ke Kementerian LHK adalah melakukan audit di Kalimantan Tengah dan Sumatera Selatan. Belum jelas kelanjutan atas rencana itu.***