Politisasi Kebudayaan

Politisasi Kebudayaan

SELAIN kata atau peristiwa politik dan ekonomi, tidak ada kata yang lebih seksi dan sensitif melebihi kata kebudayaan. Kata tersebut dipergunakan dalam berbagai tujuan, kepentingan dan konteks yang berbeda-beda.

Ada empat tataran konteks dalam menggunakan kata kebudayaan. Pertama, kata atau konsep kebudayaan dipergunakan sebagai satu nilai dan norma kehidupan. Hal itu terlihat dari kata-kata, misalnya, mari kita junjung kebudayaan kita, hidup harus berbudaya, cara-cara seperti itu tidak berbudaya. Hal-hal berkaitan dengan nilai dan etik kehidupan masuk dalam kategori ini. Kedua, kebudayaan hampir identik dengan kesenian dan ritus-ritus sosial yang di dalamnya ada peristiwa 'seni'. Sekaten, merti desa, ruwatan bumi, dan sebagainya biasanya dianggap peristiwa budaya. Mulai direktorat kebudayaan hingga dinas kebudayaan dan segala lembaga/institusi yang menggunakan kata kebudayaan, secara umum memberi perhatian terhadap aktivitas tersebut. Ketiga, kebudayaan sebagai hasil cipta rasa, karsa dan karya manusia. Tapi, dalam praktiknya hal ini mengarah pada upaya pelestarian, pemeliharaan dan pengembangan artefak.

Ujung dari praktik berdasarkan pemahaman ini terlihat dari adanya museum-museum, kawasan cagar budaya, bangunan cagar budaya, dan sebagainya. Biasanya aspek tersebut tak lebih menjadi tempat 'pariwisata', belum menjadi ruang pengelolaan informasi dan pengetahuan budaya. Keempat, kebudayaan sebagai suatu sistem gagasan, ilmu, dan pengetahuan, dan sistem simbolik lainnya. Banyak praktik kehidupan yang tidak berdasarkan pemahaman ini sehingga hal-hal persoalan ekonomi, politik, dan teknologi seolah lepas dari pemahaman ini. Pada umumnya, hal-hal yang bersifat 'akademis' yang cukup konsisten berada dalam posisi ini. Dalam kehidupan sehari-hari, pengertian dan pemahaman kebudayaan itu tumpang-tindih.

Ketumpang-tindihan inilah yang membuat kata kebudayaan dipergunakan dalam pengertian bebas, bahkan tidak jarang mengalami politisasi berlebihan. Kata kebudayaan menjadi bola liar yang tidak jelas ujung pangkalnya. Misal, hal lain yang sering terjadi, penggunaan frasa seperti budaya politik, budaya ekonomi, budaya teknologi atau di sisi lain, politik kebudayaan, strategi kebudayaan, siasat kebudayaan dan sebagainya. Hal pertama dimaksudkan bagaimana hal politik atau budaya merupakan konstruksi kebudayaan. Namun, yang sering terjadi kajian/pembicaraan itu menjadi kajian politik atau ekonomi. Hal kedua dimaksudkan sebagai satu cara masyarakat, atau seseorang, melakukan berbagai tindakan berdasarkan kepentingan-kepentingan kebudayaan. Polemik dan pembicaraan yang berkepanjangan yang berkaitan dengan strategi dan siasat kebudayaan Indonesia menuju masa depan, merupakan praktik yang bisa dikatakan masuk dalam kategori ini.

Tetapi, dalam praktiknya, tidak jarang berbagai seminar, konferensi, kongres bertopik kebudayaan menjadi suatu cerita populer, justru karena ketidakjelasan tataran yang dipakai dalam membicarakan kebudayaan. Pembicaraan itu sendiri justru menjadi semacam ritus akademik atau bahkan ritus berbudaya itu sendiri. Dengan membicarakan itu, seolah kita telah berbudaya. Persoalan lain, misalnya, frasa budaya menulis, budaya korupsi, budaya antre, budaya berlalu-lintas. Tentu tidak ada yang salah dalam frasa tersebut dengan asumsi segala hal aktivitas kehidupan adalah satu sifat kebudayaan. Dengan frasa tersebut kita menjadi tahu bagaimana 'kualitas' kebudayaan kita. Di balik masalah politisasi kebudayaan, hal menarik untuk dilihat, istilah politisasi itu sendiri. Dalam arti, apa hal yang tidak mengalami politisasi di Indonesia. Dalam pengertian ini, politisasi adalah satu cara atau siasat memenangkan persaingan demi tujuan tertentu. Tujuan tertentu tersebut tidak jarang bersifat ekonomis, penguasaan terhadap sumber-sumber mata pencarian. Masalahnya adalah penduduk terus bertambah, generasi baru terus bermunculan.

Generasi baru juga belajar banyak dari generasi sebelumnya, dan dengan lebih canggih juga hidup dalam dan bersama politisasi kebudayaan itu. Sebagai akibatnya, yang terjadi adalah politisasi itu sendiri. Saya memperkirakan, untuk jangka yang relatif panjang, proses politisasi kebudayaan itu berjalan terus. Kecuali jika suatu ketika kita memiliki aktor-aktor kuat, tegas, cerdas dan visioner, yang memainkan peran penting dalam berbagai pengambilan kebijakan, dalam segala levelnya. Akan tetapi jika proses politisasi berjalan terus, aktor-aktor seperti itu akan sulit kita dapatkan. (kro)
Kepala Pusat Studi Kebudayaan UGM.