SBY: Salah Apa Saya Disadap
JAKARTA (riaumandiri.co)-Sidang kasus dugaan penistaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, merembes ke permasalahan lain. Kali ini, reaksi datang dari Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono. Pria yang akrab disapa SBY ini akhirnya angkat bicara tentang percakapan telepon dia dengan Ketum MUI, KH Ma'ruf Amin. Hal itu sempat disinggung-singgung Ahok dan tim kuasa hukumnya. SBY menilai, hal itu merupakan sesuatu yang serius.
"Kalau betul ada percakapan saya dengan Pak Ma'ruf Amin, atau percakapan siapa pun dengan siapa, disadap tanpa perintah pengadilan, dan hal-hal yang tidak dibenarkan undang-undang, itu namanya ilegal," kata SBY, saat menggelar konferensi pers di Wisma Proklamasi, Jalan Proklamasi, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (1/2).
SBY mengaku sudah dua kali mendapat laporan dari orang dekatnya bahwa nomor teleponnya disadap. Pertama, sepulang dari Tour de Java pada pertengahan 2016. Saat itu SBY tak percaya atas laporan tersebut.
Kedua, ada seorang sahabat yang tak mau menerima telepon dari SBY karena merasa disadap. SBY pun tak percaya karena merasa tidak memiliki masalah.
"Salah saya apa disadap. Mantan presiden itu mendapatkan pengamanan oleh Paspampres, siapa pun mantan presiden itu, mantan wakil presiden itu, yang diamankan orangnya dan kerahasiaan. Jadi, menurut saya, antara yakin dan tidak saya disadap," kata SBY.
Seperti terungkap dalam persidangan Ahok, Selasa kemarin, Ahok menyebut ada percakapan telepon antara Ma'ruf Amin dengan SBY. Pihak Ahok pun menuding ada intervensi SBY untuk keluarnya pendapat dan sikap keagamaan MUI. Tak hanya itu, Ahok dan tim kuasa hukumnya mengaku memiliki transkrip rekaman tersebut.
Menurut SBY bila traksrip rekaman itu benar ada, berarti memang ada penyadapan. Jika hal itu dilakukan tanpa perintah pengadilan dan dengan tujuan tak jelas, maka penyadapan itu ilegal. Apabila penyadapan dilakukan dengan motif politik, maka itu adalah political spying.
"Kalau penyadapan itu punya motif politik maka istilahnya jadi political spying. dari aspek hukum masuk dari aspek politik juga masuk," tambahnya.
SBY Kemudian mencontohkan skandal Watergate yang terjadi di Amerika Serikat di kurun waktu 1972-1974. Skandal terbesar yang pernah terjadi di Amerika Serikat ini dimulai dengan penangkapan lima laki-laki yang berusaha membobol masuk ke kompleks perkantoran Komite Nasional Demokrat untuk memasang alat penyadap.
Penyadapan dilakukan oleh Richard Nixon untuk menyadap lawan politiknya di Pilpres Amerika Serikat. Memang akhirnya Nixon terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat. Namun skandal penyadapan itu membuat dia harus mengundurkan diri sebelum diimpeach.
"Teman-teman masih ingat skandal watergate, dulu kubu Presiden Nixon menyadap kubu lawan politik yang juga sedang dalam kampanye pemilihan presiden, memang presiden Nixon terpilih jadi presiden tapi skandal itu terbongkar ada penyadapan. Itulah yang menyebabkan presiden Nixen harus mundur resign kalau tidak beliau akan diimpeach," kata SBY.
Dalam kesempatan itu, SBY meminta Presiden Jokowi memberi penjelasan soal dugaan dirinya disadap. "Kalau institusi negara, Polri, BIN, menurut saya, negara bertanggung jawab. Saya berharap berkenan Pak Presiden Jokowi menjelaskan dari mana transkrip penyadapan itu siapa yang bertanggung jawab. Kita hanya mencari kebenaran. Ini negara kita sendiri, bukan negara orang lain, bagus kalau kita bisa menyelesaikannya dengan baik, adil, dan bertanggung jawab," ujarnya.
SBY menilai penyadapan politik itu sebagai kejahatan. Ia berharap siapa pun yang menyadap diusut oleh penegak hukum.
"Kesimpulan yang ingin saya sampaikan adalah dengan penjelasan saya ini berangkat dari pernyataan pihak Pak Ahok yang memegang bukti atau transkrip atau apa pun yang menyangkut percakapan antara saya dengan Pak Ma'ruf Amin itu adalah sebuah kejahatan karena itu penyadapan ilegal," kata SBY.
SBY menuturkan bola saat ini ada di tangan penegak hukum. Karena hal ini diatur di UU ITE, bukan sebagai delik aduan, penegak hukum tak memerlukan laporan dari SBY.
"Saya hanya mohon hukum ditegakkan. Bola sekarang bukan di saya, di Pak Ma'ruf Amin, bola bukan di Pak Ahok dan pengacaranya. Bola di tangan Polri, kejaksaan, dan penegak hukum lain. Dan kalau yang menyadap institusi negara bola di tangan Presiden," kata SBY.
Tanggapan senada juga datang dari Ketua Dewan Pertimbangan MUI, Din Syamsuddin. Menurut Din, adanya percakapan yang diyakini kebenaran oleh Ahok dan tim pengacaranya, menunjukkan mereka tahu atau memiliki pengetahuan tentang kejadian itu.
Menurut Din, hal ini potensial membawa masalah hukum bagi Ahok sendiri. "Karena mereka harus menjelaskan dari mana tahu adanya percakapan, dan timnya patut diduga melakukan penyadapan secara ilegal," ujarnya.
Jika bersumber dari badan resmi milik negara, semisal BIN atau Mabes Polri, kata Din, maka dapat dianggap adanya pembocoran rahasia negara, atau adanya kesan lembaga-lembaga negara ikut campur dalam proses hukum atau pilkada untuk memenangkan calon gubernur tertentu.
Din menegaskan, jika ini benar, itu merupakan bentuk pencideraan demokrasi dan peradilan dinilai tidak adil dan berkeadilan.
"Oleh karena itu, semua pihak terkait perlu memberi klarifikasi, dan kepada umat Islam agar dapat mengendalikan diri untuk tidak bereaksi berlebihan," kata Din.
Jauh Hari
Terpisah, tim kuasa hukum Ahok, Humphrey Djemat ketika ditanya dalam konferensi pers tentang bukti percakapan itu, tidak memberikan jawaban pasti.
Humphrey tidak menyebut bahwa itu berbentuk rekaman. Pihaknya menunggu 'tanggal main' untuk mengungkap buktinya itu.
"Saya bilangnya komunikasi ya bukan rekaman. Ini sudah jauh hari sebelum persidangan. Kita akan berikan kepada majelis hakim, belum bisa kita pastikan di persidangan kapan tunggu tanggal mainnya aja," papar Humphrey.
Apakah bukti itu didapat dari Polri atau BIN?
"Enggak ada kaitannya sama yang lain-lain, itu dari Tuhan. Dari Tuhan semuanya. Sekarang siapa yang lebih berkuasa? BIN, polisi atau Tuhan ? Tuhan dong, ya kan?" jawabnya.
Dikatakan, saat ini pihaknya akan terlebih dahulu memberikan isi komunikasi tersebut kepada majelis hakim.
"Sebenarnya kita bisa omong sebelum persidangan, tapi takutnya pasti dianggap fitnah, hoax, nanti malah jadi gak ada nilai pembuktiannya di pengadilan," ujarnya.
Sedangkan Menteri Komunikasi Informasi (Menkominfo) Rudiantara, ketika dikonfirmasi terkait hal itu, mengatakan pihaknya ingin mencari kejelasan kabar itu alias ber-tabayyun.
"Makanya tabayyun itu penting, jangan malah nanti jadi hoax. Tabayyun itu klarifikasi, cek dulu seperti apa," ujarnya.
Menurutnya, terkait penyadapan, hal itu hanya diperkenankan apabila dilakukan oleh penegak hukum. "Karena penyadapan itu hanya bisa dilakukan berdasarkan Undang-undang. Contohnya, KPK. Kalau saya selidiki, itu harus kasus hukum dulu," kata Rudiantara.
Dia menyebut, misalnya, KPK atau Badan Intelijen Negara (BIN) boleh merekam pembicaraan telepon dengan cara menyadap. Namun orang biasa tidak bisa menyadap pembicaraan telepon, kemudian dijadikan alat bukti di persidangan.
Sementara pengamat hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hajar menilai, Ahok pasti memperoleh rekaman percakapan tersebut dengan cara yang ilegal.
Fickar menilai situasi negara saat ini sudah sangat kacau. Sebagai bukti kekacauan tersebut adalah bagaimana Ahok bisa mendapat rekaman telepon orang lain, padahal dia tidak memiliki hak penyadapan. "Negara ini sudah kacau. Orang kok bisa mendapatkan rekaman telpon orang lain secara tanpa hak," ucap Fickar.
Menurut Fickar, Ahok bisa dituntut balik karena memperoleh rekaman percakapan telpon tersebut. Selain itu, instansi dan pihak-pihak terkait yang memberi rekaman tersebut kepada Ahok juga bisa dituntut.
"Perolehan rekaman itu bisa dituntut balik oleh korban terhadap Ahok, istansi pemberi rekaman dan pihak-pihak yang memberikan rekaman. Selain itu, operator telpon yang merekam juga bisa dituntut pidana dan perdata," terang Fickar. (bbs, kom, dtc, rol, ral, sis)