Jangan Termakan Isu Kenaikan Harga
Pasca liburan tahun baru 2017, masyarakat disuguhi berita tentang kenaikan harga, khususnya perubahan biaya pengurusan surat-surat kendaraan bermotor, kenaikan tarif dasar listrik (TDL), atau BBM bersubsidi. Kondisi ini memicu anggapan negatif segelintir kelompok yang senang menyebarkan hoax bahwa pemerintah menuju kebangkrutan, program tax amnesty gagal, defisit anggaran, dan berbagai isu tidak berdasar lainnya. Apa benar demikian?
Dalam PP Nomor 60 Tahun 2016 yang mengatur kenaikan biaya kepengurusan STNK dan BPKB sebenarnya mengatur kenaikan harga tersebut. Dengan adanya pengesahan PP tersebut, maka pengurusan STNK yang sebelumnya gratis, maka akan dikenai tarif Rp25 ribu untuk roda dua dan empat, dan Rp50 ribu bagi roda empat atau lebih.
Sebagai ilustrasi, jika seseorang memiliki pajak motor sebesar Rp. 300 ribu setiap tahunnya, maka hanya ada kenaikan Rp.25 ribu pertahunnya. Sedangkan jika seseorang membayar pajak mobil pertahunnya sebesar Rp.1- 3 juta, maka akan dikenai tambahan biaya sebesar Rp.50 ribu pertahunnya. Lantas, mengapa ada orang yang tega menyebar fitnah bahwa kenaikan mencapai 300 %?
Isu hoax lain yang sengaja dilebih-lebihkan adalah kenaikan BBM pasca keluarnya keputusan PT Pertamina (Persero) pada 5 Januari 2017. Seperti diketahui, kenaikan tersebut hanya sebesar Rp. 300,- yang berlaku untuk BBM Non Subsidi seperti Pertalite, Pertamax, Pertamax Turbo, Pertamax DEX dan Dexlite. Kebijakan ini langsung dimanfaatkan oleh kelompok anti pemerintah yang ingin mengopinikan bahwa negara sedang defisit anggaran, rezim yang mencekik rakyat, atau imajinasi liar lainnya.
Kenyataanya, pengguna subsidi tersebut bukan berasal dari kalangan menengah ke bawah namun justru berasal dari kelas menengah atas sehingga kenaikan tersebut tidak akan berdampak luas pada masyarakat kecil maupun sektor sektor industri. Di sisi lain, kenaikan harga BBM mengacu kepada harga minyak dunia sehingga lumrah jika mengalami fluktuasi harga.
Terkait dengan tarif listik, Direktur Utama PLN, Sofyan Basir menjelaskan bahwa yang terjadi bukan kenaikan tarif listrik, melainkan penurunan tarif. Hal ini dapat dipahami bahwa saat ini PLN sedang berupaya mencabut subsidi listrik bagi golongan rumah tangga yang menggunakan tarif sebesar 900 volt ampere (va). Alasannya sederhana, yakni golongan rumah tangga tersebut dinilai tidak laik mendapat subsidi sehingga dana subsidi pemerintah akan diarahkan kepada kelompok masyarakat yang lebih berhak, khususny kepada penyediaan listrik di daerah terpencil.
Selama di subsidi pemerintah, pelanggan tersebut hanya membayar Rp 585 per kilowatt jam (kWh). Nilai ini kurang dari separuh tarif normal yang berlaku, yakni Rp 1.352 per kWh. Oleh sebab itu ketika subsidinya dicabut, pelanggan yang dinilai mampu ini harus membayar lebih mahal. Kendati demikian, pemerintah masih memberikan subsidi untuk sebagian pelanggan 900 va dan 450 va.
Sementara itu, kenaikan harga cabai di pasaran mencapai 50% juga ikut menyita perhatian masyarakat, khususnya di awal tahun. Jika dibandingkan dengan bulan November 2016, yang hanya berkisar Rp. 60 ribu, harga cabai saat ini telah menembus harga Rp. 90 ribu perkilo bahkan lebih. Menurut Menteri Pertanian Amran Sulaiman, kenaikan harga ini dipicu oleh hujan sepanjang tahun 2016 yang menyebabkan potensi busuk cabai semakin besar. Kondisi ini berpengaruh pada minimnya stok cabai di pasaran sehingga turut mengerek harga di tingkat pengecer. Selain itu, Amran Sulaiman mengatakan bahwa stok cabai dalam negeri masih aman sehingga tidak perlu mengimpor cabai dari luar.
Reproduksi berita yang dipelintir sedemikian rupa oleh media abal-abal justru menebar teror tersendiri di masyarakat. Hal tersebut diperparah dengan provokasi dari media sosial kelompok puritan yang senantiasa bermimpi Presiden Jokowi segera lengser melalui isu kenaikan harga. Permainan kelompok ini juga sangat mudah terbaca, yakni dengan menyebarkan isu melalui medsos dengan merujuk pada media abal-abal buatan mereka sendiri. Dan pada akhirnya, masyarakat diharapkan termakan oleh isu yang sengaja mereka lempar.
Dengan angka pengguna internet yang terus bertambah setiap tahunnya, masyarakat Indonesia diharapkan mampu menggunakan media sosial dan memilih refensi berita online secara bijaksana. Kegiatan pengecekan silang terhadap sebuah informasi juga perlu untuk dilakukan dalam rangka meminimalisir penyebaran hoax, hasut, dan fitnah. Hal itu dilakukan agar informasi yang kita sebarkan tidak menjadi bumerang bagi kita di kemudian hari. Di sisi lain, sudah saatnya kita untuk kembali bekerja bagu membahu bersama pemerintah untuk membangun Indonesia ke arah yang lebih baik sesuai harapan bersama. Karena jika bukan kita yang mempercayai pemerintah, lantas siapa lagi?
Penulis adalah Kontributor LSISI