Ampunan bagi Penyantun Anak Yatim
Di Kota Basrah hidup seorang laki-laki yang menghabiskan setiap waktunya untuk mabuk-mabukan. Semua harta yang dimilikinya habis untuk membeli minuman keras dan alkohol yang merupakan minuman kesukaan laki-laki ini. Berulang kali tetangganya melarang dan menasihatinya agar ia meninggalkan kebiasaan mabuk-mabukan, namun tidak pernah ia gubris sama sekali. Akibat kebiasaan yang tidak terpuji itu, akhirnya ia pun dikucilkan oleh masyarakat, sampai laki-laki ini meninggal dunia. Tak seorang pun yang mau melayat, mengurus jenazah dan menyalatinya.
Apa yang dilakukan penduduk Kota Basrah, membuat istrinya merasa seedih. Karena tidak ada pilihan lain akhirnya ia terpaksa mengurusi jenazah suaminya sendirian. Ia memandikannya. Ia kafani jasad suaminya tanpa bantuan seorang pun. Sesudah selesai memandikan dan mengkafani perempuan itu kemudian berkeliling Kota Basrah untuk mencari orang-orang yang sekiranya mau menyalati jenazah suaminya. Namun tak seorang pun yang bersedia. Di tengah keputusasaannya, tiba-tiba seorang ulama zuhud datang dan berniat menyalatinya. Apa yang akan dilakukan oleh ulama zuhud itu spontan menggemparkan masyarakat setempat.
”Mengapa ulama zahid itu sudi menyalatinya,” tanya seorang penduduk kepada salah seorang tetangganya.
”Mungkin dia tidak tahu bahwa si mayat yang dia salati semasa hidupnya suka mabuk-mabukan dan berbuat maksiat,” jelas tetangganya berusaha menjelaskan kemungkinan yang juga tidak dia pahami.
”Atau mungkin juga karena beliau merasa kasihan karena tak seorang pun di antara kita yang mau menyalati jenazah itu,” duga seorang lainnya.
Apa yang dibicarakan oleh para penduduk itu terdengar oleh sang ulama zuhud. Ia pun akhirnya menemui mereka dan berusaha memberikan penjelasan kepada mereka.
”Di dalam tidurku semalam, aku bermimpi mendapat perintah ke tempat ini untuk mendatangi jenazah seorang laki-laki yang hanya ditemani oleh istrinya. Dalam mimpi itu aku juga disuruh untuk menyalatinya karena dosa-dosa si mayat selama hidup di dunia telah diampuni oleh Allah SWT,” jelas ulama zuhud itu kepada penduduk Kota Basrah.
Jelas saja apa yang dikatakan oleh sang ulama membuat mereka kaget bercampur keheranan. Mereka saling menatap satu sama lainnya. Dari pancaran mata mereka jelas sekali tersirat rasa pensaran dan tanda tanya atas perkataan sang ulama tadi. Di dalam benaknya, mereka bertanya-tanya amal kebajikan apakah yang dilakukan oleh sang mayit sehingga Allah mengampuni dosa-dosanya.
Beberapa saat sesudah sang ulama menyelesaikan kalimatnya, istri si mayit datang menghampiri mereka. Di depan para penduduk itu sang ulama bertanya kepada isterinya:
”Kebaikan apakah yang dilakukan oleh suamimu semasa hidupnya,” tanya sang ulama kepada isteri si mayit. Isteri si mayit terdiam. Ia merunduk lama sekali untuk kemudia dia menatap sang ulama dan orang-orang di sekitarnya.
”Tidak ada,” jawabnya pendek, sambil menggelengkan kepalanya. ”Setiap hari aku menyaksikan dia mabuk-mabukan,” lanjutnya dengan nada pelan.
”Subhanallah,” komentar sang ulama. Sang ulama kemudian tercenung. Di dalam hatinya dia sama sekali tidak percaya kalau tidak ada kebaikan sama sekali yang dilakukan oleh si mayit semasa hidupnya. Karena dia bermimpi bahwa si mayit sudah diampuni dosa-dosanya oleh Allah SWT.
”Cobalah ingat-ingat lagi. Barangkali dia memiliki amal kebaikan yang biasa dia lakukan dalam hidupnya,” pinta sang ulama sekali lagi.
Perempuan di hadapannya terdiam. Ia mencoba untuk berpikir keras menyisir setiap waktu perjalanan suaminya semasa hidup bersamanya. Namun sesudah lama ia terdiam dia sama sekali tidak menemukan kebaikan yang dilakukan oleh sang suami kecuali kemaksiatan yang telanjang di depan masyarakat dan dirinya.
”Demi Tuhan tidak ada sama sekali kebaikan yang dia lakukan,” jelasnya berusaha menyakinkan sang ulama dan orang-orang di sekitarnya.
Tiba-tiba ia teringat sesuatu yang menjadi kebiasaan suaminya. ”Hanya saja apabila suamiku sadar dari mabuknya di waktu subuh dia langsung berganti pakaian dan berwudlu untuk kemudian salat berjamaah. Sesudah itu ia kembali melanjutkan kebiasaanya menenggak arak,” ujar sang istri panjang lebar.
Ulama itu masih terdiam. Dia belum bisa menerima penjelasan istri si mayit sebagai sebuah kebaikan yang bisa menghapus dosa-dosa seseorang dari kemaksiatan yang dilakukannya. Begitupun penduduk setempat, mereka sama sekali tidak percaya bahwa kebaikan seperti itu bisa menghapuskan dosa si mayit. Ketika mereka sama-sama sedang tercenung, tiba-tiba istri si mayit melanjutkan ceritanya:
”Dan ketika sadar di tengah keasyikannya menenggak arak. Ia menangis sambil menyesali diri dan perbuatannya, ’Ya Tuhanku, di manakah sudut neraka Jahanam. Apakah Engkau akan mengisi sudut neraka Jahanam dengan dosa-dosaku ini?’ Begitulah kalimat penyesalan yang sering diungkapkan oleh suamiku,” kisah perempuan itu dengan mata berkaca-kaca.
”Dan ada satu hal lagi yang dilakukan oleh suamiku,” orang-orang yang hadir dan sang ulama serasa tak sabar ketika perempuan itu menghentikan ceritanya. Mereka menatap perempuan itu. Pandangan matanya serasa meminta agar perempuan itu secepatnya melanjutkan ceritanya.
”Rumah kami tidak pernah sepi dari anak-anak yatim. Setiap hari anak-anak yatim mendatangi rumah kami. Suamiku menyayangi mereka dengan setulus hati melebihi kasih sayang yang ia berikan kepada anak-anaknya sendiri,” kisah perempuan itu.
Para penduduk yang sudah terlanjur mengecap si mayit sebagai pendosa dan tak pernah melakukan kebaikan sama sekali, merasa malu mendengar penuturan istri si mayit. Buru-buru dia meminta maaf kepada si mayit atas khilaf dan buruk sangka yang selama ini mereka lakukan.
Sang ulama mengangguk-anggukkan kepalanya, memahami apa yang membawanya ke si mayit. Sedangkan para penduduk yang hadir kemudian ramai-ramai mengambil air wudlu dan menyalati Sang Panyantun Anak yatim itu.***