Pemerintah Harus Klarifikasi Berita Hoax di Medsos Tanpa Bungkam Kebebasan Berpendapat
JAKARTA (RIAUMANDIRI.co) - Pengamat politik Pangi Syarwi Chaniago mempertanyakan sikap pemerintah yang hingga kini tidak mengklarifikasi tentang sejumlah isu yang dianggap hoax atau berita bohong.
"Hingga saat ini apa yang dianggap hoax, seperti tenaga kerja asing (TKA), Partai Komunis Indonesia (PKI), logo palu arit dan buku Jokowi Undercover harus diungkap, apakah hoax atau tidak?," kata Pangi dalam diskusi 'Kawal Kebhinnekaan Jelang Pilkada Serentak, Waspada Berita Hoax' di Media Center DPR RI.
Isu TKA ilegalnya lanjutnya, terkait langsung dengan dokumen perjalanan yang dimiliki TKA tersebut. Jadi bukan masalah banyak, tapi ini menyangkut pelanggaran Undang-Undang Keimigrasian. Sedangkan keberadaan PKI ujarnya, tidak cukup hanya dijelaskan dengan telah runtuhnya komunis di berbagai negara.
"Malah, ketika ada dugaan PKI akan melakukan rapat dan dibubarkan oleh TNI, kenapa ada pihak tertentu yang menyebut larangan itu sebagai pelanggaran hak asasi manusia?," tanya pengajar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah itu mempertanyakan. Posisi pemerintah untuk menjelaskan semua hal tersebut.
Menurut Pangi, menjadi sangat penting sebagai salah satu upaya untuk menggusur hoax di negeri ini. "Masalahnya sekarang, justru rezim berkuasa membiarkan carut-marutnya berbagai masalah di negeri ini," tegasnya.
Pangi juga menilai over-reaktif aparat keamanan belakangan ini terhadap berita hoax di media sosial sebagai bentuk kepanikan. Seharusnya kepolisian itu menjadi pengayom masyarakat, sesuai dengan tupoksi Polri.
"Benar pesan Bung Karno bahwa jangan sekali-kali melupakan sejarah (jas merah), aparat keamanan dibentuk dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat. Artinya, jangan menjadi alat kekuasaan tetapi mengayomi masyarakat," ujar Direktur Eksekutif Voxpol Center Research & Consultan itu.
Anggota DPR Yandri Susanto dan Arwani Thomafi yang juga jadi pembicara dalam diskusi ini menilai, aparat keamanan terlalu reaktif menanggapi tayangan berita-berita yang dianggap hoax, yang pada gilirannya mereduksi kebebasan berpendapat sesuai konstitusi Pasal 28 UUD 1945.
"Aparat keamanan seharusnya lebih bijak menyikapi kemunculan berita-berita bohong berbentuk hoax baik di media massa berupa situs-situs online maupun media sosial serupa tweeter, facebook, hingga whatsapp," ujar Yandri Susanto, sekretaris Fraksi Partai Amanat Nasional.
Dia mencontohkan sejawatnya sesama anggota Fraksi PAN Eko Patrio dipanggil polisi lantaran munculnya pernyataan yang ditayangkan situs online terkait isu teroris di Bekasi sebagai pengalihan kasus Ahok sebagai penista Al-Qur'an Surat (QS) Al-Maidah ayat 51.
"Kami (anggota DPR) punya imunitas dilindungi UU. Kalau polisi mudah memanggil maka dikhawatirkan anggota DPR tidak akan lagi mengkritisi pemerintah, yang berarti membahayakan demokrasi," jelasnya.
Namun keduanya setuju berita hoax itu memang harus dicegah oleh pihak terkait, terutama dalam Pilkada karena akan terjadi saling menyerang dengan berita hoax di media sosial.
Berita hoax di media sosial akan lebih gencar lagi pada Pemilu dari pada Pilkada. "Karena akan terjadi persaingan yang bukan saja antar partai peserta pemilu, tapi juga sesama caleg dari partai yang sama," kata Arwani.
Reporter: Syafril Amir
Editor: Nandra F Piliang