Berlomba dalam Kebaikan
RIAUMANDIRI.co - Kisah ini masyhur, tentang dua sahabat Rasulullah SAW, Abu Bakar RA dan Umar bin Khattab RA, yang selalu berusaha berlomba dalam kebaikan. Amal kebaikan Abu Bakar yang terlihat selalu ditiru dan dilampaui jumlahnya oleh Umar.
Suatu hari, Umar melihat Abu Bakar bergegas ke pinggiran kota selepas subuh. Esok harinya, hal itu dilakukan, rutin. Umar pun merasa penasaran dan mengikutinya. Ternyata Abu Bakar mengunjungi sebuah gubuk, seorang nenek renta buta yang menjadi pengisinya.
Tertegun Umar saat menyaksikan kondisi itu. Mengucapkan salam, lalu bertanya tentang apa yang dilakukan Abu Bakar kepada nenek tersebut. “Apa yang dilakukan pria itu di gubukmu ini, Nek?” Nenek itu pun menjawab: “Entahlah, tapi setiap pagi ia datang, membersihkan rumahku dan menyiapkan makan untukku.”
Umar pun menangis dan takut bila ia tak sanggup berbuat lebih baik dari itu. Ia pun bertekad melampaui kebaikan sahabatnya itu. Begitulah para sahabat terus menabung dan berlomba dalam kebaikan.
Mari kita melihat apa yang tengah terjadi di negeri ini. Sedih rasanya, ketika pentas kebaikan seolah kalah oleh kejahatan. Ruang publik diisi oleh kutuk serapah, kriminalitas dan tindakan amoral. Sementara, seruan kebaikan, kedamaian, kesantunan, dan prestasi membanggakan seolah tersisihkan.
Bangkit dan berlomba dalam kebaikan mengandung empat makna. Pertama, bergegas melaksanakan kebaikan. Tak boleh berleha-leha, menundanya nanti atau esok. Bagaimana kita yakin esok masih bernapas, sementara rahasia kehidupan milik Sang Pencipta.
Kedua, meningkatkan kualitas kebaikan. Kebaikan hari ini harus lebih baik kualitasnya dibanding waktu kemarin. Evaluasi, perbaiki, dan tingkatkan kualitas serta kuantitasnya. Kompleksitas persoalan semakin meningkat, bila kualitasnya tetap maka nilai manfaatnya semakin berkurang. Deret ukur waktu dari kualitas kebaikan harus diperhatikan. Memang dalam setiap kebaikan, niat dan keikhlasan menjadi utama, namun tentu kemanfaatan dari kebaikan harus juga diprioritaskan.
Ketiga, mengorientasikan sistem, kaderisasi, dan proyeksi jangka panjang dalam menyebarkan kebaikan. Manusianya boleh mati, tapi kebaikannya tak akan terputus. Inilah makna lain dari hadis yang menyatakan, ketika meninggal, anak Adam akan putus semua amalnya kecuali tiga hal, yaitu sedekah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang selalu mendoakan kedua orang tuanya. Itu tiga hal yang mengandung makna sistem, kaderisasi, dan proyeksi jangka panjang suatu amal saleh.
Bahkan sebagaimana diingatkan Rasulullah SAW, bila pun kita tahu bahwa esok hari akan kiamat, tetaplah tanam pohon. Ini mengandung makna, proyeksi jangka panjang suatu kebaikan harus disiapkan dan dilakukan sebaik mungkin.
Keempat, meluaskan sebaran kebaikan, sehingga benar-benar menjadi rahmatan lil'alamiin. Jangkauannya tak hanya untuk umat Islam, tapi seluruh umat manusia. Itu hanya mungkin bila sistemnya diorganisasi dengan baik.
Usaha sistematis, dengan proses kaderisasi yang baik, diproyeksikan jangka panjang untuk menebar manfaat dan melakukan perubahan sosial itulah yang menjadi esensi dakwah Islam. Jadi, berlomba dalam kebaikan itu, praksisnya berupa dakwah lisan dan perbuatan. Bila itu semua dikembangkan, amal terbaik dapat menjadi kenyataan.
Berlomba dalam kebaikan akan melahirkan amal terbaik. Amal terbaik itu pada umumnya selalu dikaitkan dengan iman. Seperti yang kita temukan dalam surah al-Baqarah ayat 25 dan al-Ashr ayat 3, yang mengandung makna bahwa perbuatan baik itu aktualisasi dari keimanan.
Sebesar apa pun kebaikan itu, walau hanya sebesar biji zarah akan dibalas oleh Allah SWT (QS az-Zalzalah: 7-8) dan tidak akan disia-siakan (QS at-Taubah: 105). Dengan segala kekuatan yang dimiliki, berlombalah dalam kebaikan, raihlah amal terbaik, maka kemuliaan di dunia dan akhirat akan menjadi capaian. Wallaahu a'lam.