Pers Indonesia dan Tahun 2017
SEBUAH keniscayaan ketika Undang Undang No. 40 tahun 1999 menjadi tendensi utama kebebasan pers media di Indonesia. Undang-undang yang menjelaskan tentang kebebasan pers dan bertanggung jawab (Resposibillity) menjadi koridor dalam praktiknya di dalam dinamika masyarakat. Kebebasan pers media menjadi salah satu wujud kedaulatan nyata masyarakat yang berasas pada prinsip-prinsip demokrasi dan supremasi hukum.
Namun dalam beberapa dekade, pers media ini juga mangalami perjalanan panjang. Hal tersebut dapat dilihat dari filosofi perjalanan pers yang muncul pertama kalinya, mulai dari pers masa Orde Baru hingga Reformasi, dan sampai sekarang. Keberadaan pers media pada masa itu sangat mengalami dilematis secara mendalam. Pasalnya, kebebasan pers media yang ada masih sepenuhnya berada pada naungan pemerintah. Inilah sisi tragis yang ada pada masa itu, proses transisi politik juga tidak dapat dinafikan membawa pengaruh signifikan terhadap perkembangan pers media massa saat itu.
Pengaplikasian pers media yang bertanggungjawab sesuai dengan UU No. 40 tahun 1999 sebagai konsep pers pancasila pada masa kini, hal tersebut hanya sebuah ‘jargon’ semata. Pasalnya banyak pers media sekarang selalu disuguhi doktrin oleh pemilik media.
Sehingga, pers media dapat dijadikan sebagai Ideological State Apparatus (harapannya dapat berperan sebagai proses produksi dan menjaga stabilitas legitimasi penguasa).
Hal ini senada dengan kondisi pers media Indoesia sekarang. Dalam konteks pemberitaan, pers media selalu dikontrol oleh medioker medioker sebagai pemilik media. Sehingga, ideologi pers media yang sesungguhnya tergantikan dengan nuansa politis yang diinginkan oleh pemilik media. Segala bentuk pemberitaan yang ditampilkan secara otomatis akan menjunjung tinggi citra politik pemiliki media tersebut.
Pers tahun 2017
Tahun baru menjadi ajang bagi semua pihak di Indonesia, baik pemerintah, masyarakat, maupun lembaga pers untuk merefleksi diri dari tahun sebelumnya. Upaya refleksi tersebut dijadikan sebagai pengembalian jati diri dari dekadensi yang selama ini telah keluar dari koridor yang ditentukan, baik secara moril maupun konstitusional atau hukum.
Tahun baru 2017 harus dapat membuat resolusi konkret yang mampu memberikan sisi progresif pada semua elemen yang ada di negara Indonesia. Lembaga pers media yang dipandang sebagai sisi negatif oleh masyarakat, harus kembali menjadi elemen media yang mamapu merekontruksi pola pikir masyarakat yang lebih edukatif.
Pengembalian tersebut harus dimulai dari masyarakat agar mampu memilah tayangan yang berkualitas dan mendidik. Selain itu, pemerintah juga memberikan andil dalam proses pemberian kebijakan yang tegas, segala bentuk pelanggaran terhadap UU Pers harus ditindak tegas dan diberi sanksi secara konkret. Sedangkan pihak media, kondisi media yang sudah ‘rusak’ dengan nuansa politik, perlu koridor-koridor yang tegas dan upaya penyadaran diri. Sebab, hal tersebut memang sangat sulit ketika media sudah terkontaminasi dengan nuansa politis yang berujung kapitalis. Segala bentuk cara pasti dilakukan.
Harapan besar tahun baru, lembaga pers mampu kembali pada esensi yang sudah ditentukan sesuai dengan koridornya. Agar masyarakat mampu menjadi “masyarakat pintar” dalam dinamika sosial. Esensi lembaga pers media memang tidak hanya sekedar menyuguhkan suatu peristiwa, akan tetapi juga sebagai sarana hiburan dan kepentingan yang lain.
Dalam konteks pemberitaan, media sangat memberikan warna pola hidup dan pola pikir masyarakat. Pemberitaan yang positif akan berimplikasi positif dan membangun, begitu sebaliknya. Dalam Islam, pemberitaan sangatlah urgen. Oleh sebab itu, kita harus teliti dan memahami esensi pemberitan edan etika yang harus disampaikan. Hal ini dijelaskan dalam QS. Alhujurat ayat 31 yang berbunyi; “Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesali perbuatanmu itu.” (Al-Hujurat: 6)”.
Dalam ayat ini menjelaskan bahwa, etika pemberitaan dalam menyampaikan haruslah sesuai dengan realitas yang ada. Pembawa berita juga harus menjunjung tinggi amanat ilmiah, menetapi kejujuran, serta memiliki integritas yang tinggi sehingga ia tidak akan memotong berita untuk menimbulkan kekacauan di tengah-tengah masyarakat atau memberikan informasi yang bertentangan dengan realitas hanya ingin meraup keuntungan duniawiah. Semoga di tahun baru 2017 Indonesia mampu mengembalikan esensi “Roh” Pers media massa sesuai dengan UU No. 40 Tahun 1999. Marilah jaga media kita agar tetap ‘sehat’ dalam membantu mengembangkan pola pikir kita. Wallahu’alam bi As Shawab.
Penulis adalah Pemerhati Sosial dan Alumnus UIN Walisongo Semarang.