Pendidikan Agama dan Etika yang Menumbuhkan Akhlak Mulia
PEKANBARU (RIAUMANDIRI.co) - Pemerintah Provinsi Riau berkomitmen penuh membangun sumber daya manusia yang berbudaya, beriman dan bertaqwa sejak dini. Hal ini terbukti dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Riau tahun 2014-2019 yang menekankan pada 9 poin yang menyangkut keagamaan.
Sebagai upaya mewujudkan hal tersebut, oleh Pemprov Riau ditanamkannya motivasi-motivasi jiwa santri-santri menjadi agen perubahan yang beriman dan bertaqwa.
“Santri dituntut menjadi agent of change (agen perubahan). Di zaman persaingan global ini, santri harus bisa menyelaraskan ilmu pengetahuan teknologi (IPTEK) dan tetap menjadi pribadi muslim yang beriman dan bertaqwa,” ucap Gubernur Riau Arsyadjuliandi Rachman pada saat sambutan Apel Akbar Hari Santri Nasional diadakan di Halaman Kantor Gubernur Riau belum lama ini.
Diakui Gubernur Riau, Arsyadjuliandi Rachman dalam sambutannya mengatakan, eksistensi santri-santri dalam dunia politik dan kepemimpinan di Indonesia bisa dijadikan motivasi oleh para santri di Riau untuk terus membangun Indonesia lebih maju ke depannya tanpa lupa akan pendidikan agama. Seperti halnya, Menteri Ketenagakerjaan RI, M Hanafi Dahkiri dan Khofifah selaku Menteri Sosial RI yang kala itu juga menghadiri Hari Santri Nasional.
Menteri Ketenagakerjaan RI, M Hanafi Dahkiri, yang turut hadir pada saat itu menyebutkan santri harusnya merasa bangga karena banyak pejuang Indonesia yang berlatar belakang dari pondok pesantren. Menteri yang menghabiskan masa mudanya di pesantren ini juga mengajak kepada para santri untuk senantiasa bangga sebagai santri. Pasalnya, sejarah republik ini menunjukkan bahwa santri dalam hal ini Nahdlatul Ulama dengan pemahaman Islam ahlussunah wal jamaah-nya telah memberi kontribusi pada berdirinya bangsa ini, jauh sebelum Indonesia merdeka.
“Kita harus bangga sebagai santri. Kenapa bangga, Indonesia mungkin tak bisa seperti saat ini kalau tidak ada pondok pesantren. Dimana bersama kiayi dan santrinya yang telah berjuang melawan penjajah. Banyak pahlawan kita sesungguhnya berlatar belakang pondok pesantren,” ujar Hanafi kala itu.
Tidak hanya berjasa dalam kemerdekaan, berkat pondok pesantren juga telah berkontribusi mencerdaskan bangsa sebelum zaman kemerdekaan. Tidak sedikit para pejuang dan tokoh-tokoh asional berasal dari pondok pesantren.
Hanya saja dari catatan sejarah, terkesan 'menyembunyikan' latar belakang kesantrian banyak tokoh pejuang, dalam membela harga diri bangsa dari penjajah. Sebut saja Pangeran Diponegoro, yang selama ini hanya dikenal sebagai keturunan bangsawan dan terpandang.
Namun sesungguhnya, Pangeran Diponegoro merupakan berasal dari pondok pesantren. Bukti peninggalan perjuangannya pun jelas, yakni berupa Al Quran, tasbih dan kitab kuning. Masih banyak lagi para pejuang Indonesia yang berlatar belakang santri.
Kemudian dicontohkannya pula, bagaimana perjuangan rakyat Aceh dari keserakahan penjajah, semua berkat keteguhan agama Islam yang dianut. Mesjid Baitul Rahman di Banda Aceh adalah saksi bagaimana perjuangan rakyat Aceh dimulai.
"Karena itu saya menegaskan anggapan segelintir pihak yang menyebut pondok pesantren sebagai sarang teroris sangatlah tidak benar. Kalian harus bangga sebagai santri," ujar Menaker yang juga alumni santri di pondok pesantren di Salatiga, Jateng. Lebih lanjut, Menaker Hanif juga menyatakan apresiasinya kepada pemerintah pusat yang telah menjadikan 6 Oktober sebagai hari santri. Hal ini menurutnya sebagai bentuk pengakuan pemerintah bahwa pondok pesantren bagian dari Indonesia.
Menteri Hanif mengharapkan para santri memiliki daya saing yang kuat. “Untuk memiliki daya saing yang kuat, para santri harus memiliki tiga hal, yakni karakter yang kuat, memiliki kompetensi, serta memiliki kreativitas,” lanjut Hanafi.
Hanif mengingatkan karakter santri seharusnya berpegang pada tiga ciri, yakni tawasuth (moderat), tawazun (menjaga keberimbangan) serta i’tidal (tegak lurus). Jika berpegang pada tiga ciri tersebut, otomatis para santri memiliki daya tangkal dari arus zaman yang negatif seperti narkoba dan gerakan radikalisme.
Keseriusan dari program yang diancang Pemprov ditunjukan ketika Gubri mendampingi Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dakhiri meresmikan gedung asrama ponpes Al Mujtahadah di Jalan Handayani Kartama Pekanbaru dan Peletakan Batu Pertama pembangunan Masjid Pesantren Raudhatussalam binaan Pondo Psantren Gontor di Desa Mahato Tambusai Utara Kabupaten Rokan Hulu. “Saya merasa yakin kalau pesantren semakin banyak, maka Riau akan semakin aman,” kata Andi Rachman, sapaan akrabnya.
Selanjutnya, persoalan mendidik dan membentuk serta menumbuhkan akhlak mulia, moral, budi pekerti atau karakter peserta didik merupakan langkah paling fundamental dan dasariah untuk membentuk karakter bangsa. Akar krisis mentalitas, moral dan etika di lingkungan pendidikan. Pertama, arah pendidikan telah kehilangan objektivitasnya.
Selama ini, lembaga pendidikan seolah bukan lagi merupakan tempat peserta didik melatih diri untuk berbuat berdasarkan budi pekerti luhur, moral, dan akhlak mulia. Proses pendewasaan diri tidak berlangsung baik di lembaga pendidikan, yang bertugas mempersiapkan mereka meningkatkan kemampuan merespons dan memecahkan masalah dirinya sendiri maupun orang lain secara bertanggung jawab.
Pemecahan masalah secara tidak bertanggung jawab, seperti melalui tawuran dan kekerasan lain, merupakan indikator tidak terjadinya proses pendewasaan melalui sekolah. Ketiga, proses pendidikan di sekolah sangat membelenggu peserta didik dan, juga para guru.
Akibatnya, hampir tidak tersisa ruang bagi para peserta didik untuk mengembangkan imajinasi dan kreativitas kognisi, afeksi, dan psikomotoriknya. Interaksi sosial di sekolah hampir kehilangan human dan personal touch-nya hampir serba mekanistis dan robotis. Beban kurikulum berat yang masih saja hampir sepenuhnya diorientasikan pada pengembangan ranah kognitif.(Adv)
Editor: Nandra F Piliang