Peran PKK Dalam Peningkatan Kesejahteraan Rumah Tangga, Perlindungan Perempuan Dan Anak
PEKANBARU (RIAUMANDIRI.co) - Kualitas kehidupan perempuan masih jauh lebih rendah daripada laki-laki, untuk itu Riau perlu meningkatkan kualitas kehidupan dan peran perempuan serta anak. Secara umum, pembangunan pemberdayaan perempuan dan pelindungan anak telah menunjukkan hasil yang menggembirakan, tetapi berbagai permasalahan masih dihadapi, seperti masih tingginya tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta masih adanya kesenjangan pencapaian hasil pembangunan antara perempuan dan laki-laki, yang tercermin dari masih terbatasnya akses sebagian besar perempuan ke layanan kesehatan yang lebih baik, pendidikan yang lebih tinggi, dan keterlibatan dalam kegiatan publik yang lebih luas.
Selain itu, juga masih banyaknya hukum dan peraturan perundang-undangan yang bias gender, diskriminatif terhadap perempuan, dan belum peduli anak. Masalah lain adalah masih lemahnya kapasitas kelembagaan dan jaringan pengarusutamaan gender dan anak, terutama di tingkat kabupaten/ kota. Untuk itu, perlu diambil langkah-langkah kebijakan untuk mengatasinya dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan dan peran perempuan serta kesejahteraan dan pelindungan anak.
Masalah utama dalam pembangunan pemberdayaan perempuan adalah rendahnya kualitas hidup dan peran perempuan, terutama di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan politik.
Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2004 menunjukkan bahwa penduduk perempuan usia 10 tahun ke atas yang tidak/belum pernah sekolah jumlahnya dua kali lipat penduduk laki-laki (10,90 persen berbanding 4,92 persen). Penduduk perempuan usia 10 tahun ke atas yang buta aksara 11,71 persen, sedangkan penduduk laki-laki yang buta aksara 5,34 persen. Penduduk perempuan usia 10 tahun ke atas yang buta aksara di daerah perdesaan jauh lebih besar daripada perkotaan (15,42 persen berbanding 6,99 persen).
Angka partisipasi sekolah (APS) perempuan usia 7-12 tahun, 13-15 tahun, dan 16-18 tahun di daerah perdesaan lebih rendah daripada perkotaan. Selanjutnya, angka kematian ibu melahirkan masih tertinggi di ASEAN, yaitu 307 per 100.000 kelahiran hidup (SDKI tahun 2002-2003). Berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) tahun 2004, tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) perempuan masih relatif rendah, yaitu 49,23 persen, jika dibandingkan dengan laki-laki, yaitu 86,03 persen. Di bidang politik, data Komisi Pemilihan Umum (KPU) tahun 2004 menunjukkan bahwa keterwakilan perempuan di lembaga legislatif masih rendah.
Keterwakilan perempuan di DPR RI sekitar 11,6 persen dan di DPD sekitar 19,8 persen. Keterlibatan perempuan dalam jabatan publik, yang dapat dilihat dari persentase perempuan pegawai negeri sipil (PNS) yang menjabat sebagai Eselon I, II, dan III juga masih rendah, yaitu 12 persen (data BKN tahun 2003). Sementara itu, peran perempuan pada lembaga judikatif juga masih rendah, masing-masing sebesar 20 persen sebagai hakim, dan 18 persen sebagai hakim agung pada tahun 2004.
Tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Meskipun banyak upaya telah dilakukan oleh pemerintah, antara lain penyusunan Rencana Aksi Nasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan (RAN-PKTP), pembangunan pusat-pusat krisis terpadu di rumah sakit, pembangunan ruang pelayanan khusus (RPK) di Polda, Polres, dan di pusat pelayanan terpadu pemberdayaan perempuan (P2TP2) di daerah, serta penyebaran informasi dan kampanye antikekerasan terhadap perempuan dan anak, semua upaya tersebut belum cukup untuk menekan tingginya tindak kekerasan dan eksploitasi terhadap perempuan dan anak.
Data yang akurat belum tersedia karena banyak kasus kekerasan dan eksploitasi terhadap perempuan dan anak yang tidak dilaporkan, dengan anggapan bahwa masalah tersebut adalah masalah domestik keluarga yang tidak perlu diketahui orang lain. Data Pusat Krisis Terpadu (PKT) RS Cipto Mangunkusumo yang didirikan pada tahun 2000 menunjukkan bahwa jumlah kasus kekerasan terus meningkat dari 226 kasus pada tahun 2000 menjadi 655 kasus pada tahun 2003. Dari jumlah kasus tersebut, hampir 50 persen adalah korban kekerasan seksual, sekitar 47 persen korban adalah anak-anak (di bawah usia 18 tahun), dan sekitar 74 persen korban berpendidikan SD hingga SLTA.
Upaya pemerintah yang telah dilakukan selama ini belum sepenuhnya mampu meningkatkan kesejahteraan dan pelindungan anak. Di bidang pendidikan (Susenas tahun 2004), angka partisipasi sekolah (APS) anak usia 7-12 tahun, 13-15 tahun, dan 16-18 tahun masing-masing 96,77 persen, 83,49 persen, dan 53,48 persen. Pada tahun 2003, anak usia 3-4 tahun dan 5-6 tahun yang mengikuti pendidikan anak usia dini masing-masing hanya sekitar 12,78 persen dan 32,39 persen. Di samping itu, fasilitas dan layanan pendidikan khusus bagi anak-anak yang mempunyai kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki kecerdasan dan bakat istimewa belum tersedia secara memadai.
Di bidang kesehatan, angka kematian bayi, angka kematian balita, prevalensi gizi kurang pada anak balita, dan prevalensi gangguan akibat kekurangan yodium (GAKY) pada anak SD masih tinggi. Hasil Survei Konsumsi Garam Yodium Rumah Tangga tahun 2003, menyebutkan bahwa status gizi balita buruk di daerah perdesaan sebesar 9,46 persen, lebih tinggi daripada daerah perkotaan (7,16 persen). Berdasarkan Susenas tahun 2004, persentase penolong persalinan bayi oleh tenaga kesehatan di daerah perdesaan, yaitu 50,8 persen, jauh lebih rendah daripada di daerah perkotaan, yaitu 82,7 persen.
Masalah lain adalah masalah pelindungan anak, yang antara lain dapat dilihat dari masih banyaknya pekerja anak. Meskipun selama tahun 2001-2003 jumlah pekerja anak mengalami penurunan dari sekitar 949 ribu jiwa menjadi 567 ribu jiwa, tetapi angka tersebut masih tinggi. Penurunan jumlah pekerja anak terjadi di daerah perkotaan dan perdesaan, baik pada anak laki-laki maupun pada anak perempuan (Sakernas tahun 2001-2003).
Berdasarkan Sakernas tahun 2003, persentase anak yang bekerja sekitar 5,6 persen dari jumlah anak umur 10-14 tahun; sebagian terbesar dari mereka (73,1 persen) bekerja lebih dari 35 jam/minggu, dan bekerja di sektor pertanian (72,0 persen). Masalah lain adalah masih terdapat sekitar 58 persen anak yang tidak memiliki akta kelahiran (Susenas tahun 2004).(Adv)
Editor: Nandra F Piliang