Blusukan ke Timur Tengah
KENDATI dalam suasana politik dalam negeri yang belum ideal, kunjungan Presiden Joko Widodo ke luar negeri beberapa waktu lalu telah menumbuhkan harapan bagi masa depan Indonesia dalam pergaulan internasional, terutama dengan negara-negara besar dan ASEAN. Jokowi membuktikan diri sebagai tokoh yang pantas mewakili kepentingan dan harapan besar bangsa Indonesia di kancah internasional.
Bagaimana hubungan Indonesia dengan negara-negara di Timur Tengah? Jokowi selama ini dikesankan kurang lekat dengan simbol Timur Tengah. Ia juga belum berbicara banyak mengenai hubungan Indonesia dengan negara-negara Timur Tengah. Namun, ia dan menlunya telah menyampaikan garis besar kebijakan luar negeri secara cukup jelas. Secara khusus dalam debat pilpres (22/6/14), Jokowi menyatakan komitmennya untuk mendukung perjuangan kemerdekaan Palestina.
Menilik garis kebijikan umum dan karakter kepemimpinannya, tokoh ini akan membawa hubungan Indonesia dengan negara-negara di kawasan itu ke arah hubungan yang lebih produktif dan bermanfaat nyata bagi Indonesia. Selama ini, hubungan Indonesia dengan kebanyakan negara di Timur Tengah terjalin dalam, penuh emosi, dan kadang dibumbui romantisme sejarah kental. Namun, hubungan itu miskin intensitas dan produktivitas. Salah satu sebab adalah kurangnya "silaturahim" (baca blusukan) pemimpin tertinggi kita ke negara-negara di kawasan itu.
Negara-negara di kawasan itu secara umum sangat paternalistik. Salah satu kunci membangun kerja sama yang luas dan produktif dengan mereka adalah hubungan emosional dan personal pemimpin kita dengan para pemimpin di sana.
Setidaknya diperlukan ada kesan baik para pemimpin kawasan itu terhadap pemimpin kita. Dan, itu hanya bisa terjadi jika pemimpin kita mau datang dan memulai silaturahim. Blusukan ke Timur Tengah menjadi wajib jika kita menginginkan hubungan yang membawa kemaslahatan luas dari kawasan itu bagi bangsa dan rakyat Indonesia.
Penulis membayangkan, Jokowi akan melakukan lawatan ke Timur Tengah beberapa bulan ke depan. Ia akan blusukan ke kawasan itu. Blusukan kali ini agak lain, naik kelas dari blusukan di daerah kumuh dan pasar tradisional, berpindah ke kota-kota penentu di Timur Tengah, seperti Riyadh, Doha, Abu Dhabi, Kairo, Rabat, Teheran, Ankara, dan Ramallah. Tujuan utamanya bukan untuk bertemu rakyat kebanyakan, melainkan bertemu para raja dan pemimpin tertinggi sebagaimana saat kunjungannya ke Cina, Myanmar, dan Australia.
Jika hubungan personal antarpemimpin ini menguat, gerbang kerja sama yang sangat produktif akan terbuka secara lebih mudah. Kemampuan Jokowi "menata" diri: tidak sombong dengan lawan bicara, sangat bersahabat dan cair dalam pergaulan, serta tak mudah marah dan terpancing emosi, sangat membantu komunikasi personal dengan para pemimpin kawasan itu.
Lanjutkan Sukarno
Dalam konteks membangun hubungan Indonesia dengan Timur Tengah, Jokowi memperoleh modal dari nama besar Sukarno. Bagaimanapun, ia dipandang sebagai penerus sosok Sukarno yang begitu mengagumkan di masyarakat Timur Tengah pada umumnya. Kebesaran nama Sukarno di kawasan itu hingga saat ini tak tergantikan.
Dengan modal itu, Jokowi memiliki pintu masuk bagus untuk membuka hubungan personal mendalam dengan para pemimpin di sana. Jika ia berhasil, itu berarti terbukanya gerbang kerja sama yang sangat luas dan bermanfaat untuk bangsa Indonesia.
Namun, pada saat yang sama, sebagai "penerus" Sukarno, Jokowi diharapkan menjalankan "politik tinggi" sebagaimana Sukarno. Ia harus tegak dan penuh percaya diri di hadapan para pemimpin negara-negara itu, sekaligus menjajaki peran yang bisa diambil dalam isu strategis di kawasan, seperti kemerdekaan Palestina, pencarian solusi perang saudara di Suriah, Irak, Libya, dan Yaman, serta persoalan lain. Perhatian sangat khusus tentu harus diberikan kepada kepentingan krusial bangsa ini di kawasan, khususnya perlindungan dan kesejahteraan para buruh migran kita di sana.
Untuk isu Palestina, di tengah upaya membangun kembali Gaza dan pencarian terobosan damai Palestina-Israel, tak salah jika Jokowi memberi pernyataan lebih lantang untuk membantu rekonstruksi Gaza dan mendesak kedua pihak kembali ke jalur negosiasi. Jokowi perlu menegaskan ulang komitmennya untuk mendorong berdirinya negara Palestina merdeka berdampingan secara damai dengan Israel melalui perundingan sebagai solusi final menyeluruh.
Langkah konkret pembukaan kantor perwakilan Indonesia di Ramallah, ibu kota de facto Palestina sekarang, seperti dijanjikan, perlu segera dijajaki kendati langkah itu memiliki risiko tak mudah. Atau setidaknya, Pemerintah RI segera menunjuk konsul kehormatan di Palestina sebagai langkah awal.
Untuk isu Suriah, Jokowi sebaiknya membangun sikap yang tak terkesan berubah-ubah sebagaimana pemerintahan Indonesia sebelumnya dengan memberi tekanan pada penyelamatan kemanusiaan dan rekonsiliasi sektarian (antarmazhab). Bisa dikemukakan bahwa Islam di Indonesia adalah contoh Islam Suni sekaligus memiliki tradisi yang lekat dengan Syiah. Demikian pula kasus di Yaman, Libya, dan Irak.
Politik tinggi sepertinya bukan tipe "asli" kepemimpinan Jokowi selama ini. Namun, sebagai "penerus" Sukarno, ia diharapkan melanjutkan peran "gagah" semacam itu. Semangat ke arah itu sudah tampak pada dirinya.***
Penulis adalah pemerhati Timur Tengah dan Dunia Islam, Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Unwahas Semarang.