Saksi Sebut Terdakwa Terima Rp700 Juta
PEKANBARU (RIAUMANDIRI.co) - Sidang dugaan korupsi ganti rugi pengadaan lahan untuk Pelabuhan Dorak, Kabupaten Kepulauan Meranti, kembali dilanjutkan di Pengadilan Tipikor Pekanbaru, Kamis (17/11).
Dalam sidang kemarin, salah seorang saksi, Sugeng, menyebutkan, salah seorang terdakwa, Habibie, memperoleh keuntungan dari ganti rugi lahan sebesar Rp700 juta. Uang tersebut diserahkan saksi secara tunai di rumah terdakwa Habibie.
Sugeng dihadirkan sebagai saksi oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) bersama dua orang lainnya, yakni Yusnalita selaku notaris yang membuat surat kuasa menjual dan Simin, selaku pemilik tanah. Sidang kemarin masih mengagendakan pemeriksaan saksi, untuk para terdakwa.
Saksi Yakni terdakwa Zubiarsyah, mantan Sekdakab Kepulauan Meranti, Suwandi Idris, Kepala Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Kepulauan Meranti, Mohammad Habibi, PPTK, serta Abdul Arif, penerima kuasa dari pemilik lahan.
Menurutnya, Habibie ketika itu mendatangi Sugeng menanyakan apakah masih ada tanah yang sebelumnya akan dijual tersebut. Sugeng mengatakan masih ada dan harganya Rp1,1 miliar. Terdakwa Habibie kemudian mengatakan akan mencari donatur.
Selang beberapa hari, terdakwa Habibie datang ke rumah Sugeng menyerahkan uang sebesar Rp600 juta sebagai tanda jadi atau DP. Habibie kemudian meminta Sugeng untuk menyerahkannya kepada pemilik lahan. Sugeng kemudian menyerahkannya kepada Simin, pemilik lahan Rp150 juta, sisanya diberikan kepada Jussalatun, juga pemilik lahan.
Beberapa hari kemudian, Arif datang menemui Sugeng menyerahkan uang pelunasan sebesar Rp1,6 miliar. Sugeng mengaku terkejut, karena sisa pelunasan seharusnya hanya Rp500 juta saja.
Sugeng kemudian menghubungi terdakwa Habibie. Kemudian Habibie mengatakan ambil saja dulu, kemudian lunasi tanah tersebut, sisanya antar ke rumah terdakwa.
Saksi Sugeng kemudian melunasi harga tanah kepada Jussalatun dan Simin. Kemudian sekitar Rp150 juta untuk jasa saksi mengurus tanah tersebut. Sisanya Rp700 juta dibawa saksi ke rumah terdakwa Habibie di Banglas.
Keterangan saksi ini sesuai dengan dakwaan jaksa sebelumnya. Sesuai dakwaan Jaksa Penuntut Umum, Risky, di hadapan majelis hakim yang diketuai Rinaldi Triandiko SH, korupsi ini bermula pada tahun 2011 terdakwa Muhammad Habibi memperoleh informasi akan adanya pembebasan lahan untuk pembangunan pelabuhan Dorak, Selatpanjang.
Setelah diketahui akan dilakukan pembebasan tanah di lokasi Dorak tersebut. Terdakwa sekitar bulan April 2011 menemui Sugeng Santoso, penjaga tanah Jussalatun.
Abdul Rauf bertemu Edy Hartono untuk memberikan informasi bahwa ada tanah di sekitar Dorak yang luasnya sekitar 4 hektare dengan harga Rp2,1 miliar. Selanjutnya bulan April 2011 Edi Hartono bersama Abdul Arif mengantarkan uang tanda jadi pembelian tanah sekitar Rp 500 juta ke rumah Sugeng Santoso.
Pada Bulan Mei 2011, Edy Hartono menyerahkan uang pelunasan kepada Abdul Arif sebesar Ro1,6 miliar. Kemudian bulan Juni 2011, Abdul Arif baru menyerahkan uang kepada Sugeng Santoso pelunasan harga tanah sebesar Rp1,6 miliar.
Total harga tanah yang diserahkan Edy Hartono kepada Abdul Arif yang selanjutnya diserahkan kepada Abdul Arif kepada Sugeng Santoso adalah Rp2,1 miliar. Dari transaksi ini, terdakwa Muhammad Habibi meminta bagian sebesar Rp700 juta.
Kemudian September 2011 muncul Surat permohonan Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informasi Kabupaten Kepulauan Meranti Nomor 550/Dishub-Kominfo/IX/2011/168 tanggal 19 September 2011 dan surat nomor 550/Dishub-Kominfo/IX/2011/203 tanggal 10 November 2012, tentang pengadaan lahan Pelabuhan Dorak.
Tahun 2013, setelah Panitia pengadaan tanah untuk pelabuhan Dorak dibentuk, terdakwa H Zubiarsyah (Sekda), selaku Ketua Panitia, terdakwa Suwandi Idris, Sekretaris, dan terdakwa M Habibi, PPTK menerima surat-surat tanah yang akan diproses untuk diganti rugi tersebut. Di antaranya termasuk tanah Jussalatun yang seolah-olah sudah dibeli terdakwa Muhammad Habibi dengan perantara Abdul Arif.
Kemudian para terdakwa Suwandi Idris, H Zubiarsyah, tidak melakukan penelitian terhadap status hukum bidang tanah dan riwayat tanah yang akan dibebaskan atau diganti rugi.
Perbuatan ini disebut melanggar pasal 2 ayat 1 atau pasal 3 jo pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.(hen)