Dewan Pertimbangan Dukung Sikap MUI
JAKARTA (RIAUMANDIRI.co) - Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia, mendukung sikap keagamaan yang diambil MUI terkait ucapan Ahok mengenai surat Al Maidah 51. Dewan ini juga mendukung proses hukum tentang dugaan penistaan agama oleh Ahok diproses hingga tuntas.
"Dewan Pertimbangan mendukung pendapat keagamaan MUI yang telah dikeluarkan 11 Oktober 2016 tentang
Dewan penistaan agama dan jelas di situ dinyatakan sebagai penistaan, maka itulah pandangan keagamaan," ujar Ketua Dewan Pertimbangan MUI, Din Syamsudin, Rabu (9/11).
Pernyataan itu dilontarkannya di sela rapat pleno XII Dewan Pertimbangan MUI di Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat. Anggota Dewan Pertimbangan MUI terdiri dari 70 ormas Islam dan 29 tokoh individual baik ulama, zuama maupun cendikiawan muslim. (6 rekomendasi Dewan Pertimbangan MUI terkait dugaan penistaan agama oleh Ahok, dapat dibaca pada hal 7).
Seperti diketahui, MUI pada Selasa (11/10) lalu, mengeluarkan sikap keagamaan resminya terkait kasus dugaan penistaan agama oleh Ahok. MUI menyatakan Ahok telah menistakan agama.
Menurut MUI, menyatakan kandungan surat Al-Maidah ayat 51 yang berisi larangan menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin adalah sebuah kebohongan, hukumnya haram dan termasuk penodaan terhadap Alquran.
Menurut Din Syamsudin, proses hukum yang adil dan transparan harus dilakukan untuk memastikan ada tidaknya dugaan pidana yang dilakukan Ahok. Hal ini juga penting supaya permasalahan ini tak melebar dan membuat pertentangan di tengah masyarakat.
"Kami meminta jalan keluar terbaik adalah penegakan hukum secara berkeadilan cepat transparan dan memperhatikan rasa keadilan masyarakat," tuturnya. Pihaknya menilai, tak perlu lagi diperdebatkan soal susunan kalimat atau penggunaan kata 'pakai' saat Ahok berbicara dengan warga Kepulauan Seribu dalam kunjungan pada 27 September lalu.
"Jadi mohon dipahami penistaan itu letaknya ada di penyalahan pemahamam orang lain dengan menggunakan kata peyoratif dengan 'dibohongi;. Berarti kan ada objek ada subjek yang membohongi. Jadi sudahlah, ini mohon tidak perlu diperdebatkan, justru kalau diotak-atik 'dipakai', 'pakai' tidak ada 'dipakai', tidak ada niat baik ini yang menimbulkan masalah," imbuh Din.
Dalam kesempatan itu, Din juga menegaskan, dugaan penistaan agama tersebut tidak ada hubungannya dengan agama lain dan etnis lain. Pihaknya juga mengingatkan semua pihak. untuk mengambil hikmah. Sehingga, permasalahan yang ditimbulkan Ahok tersebut jangan sampai membawa pertentangan antaragama atau etnis.
Kepada kaum muslimin di Tanah air, Din meminta jangan melihat persoalan tersebut sebagai persoalan perbedaan agama. "Saya minta umat Islam jangan melihat ini sebagai persoalan dengan seseorang yang kebetulan beragama lain, tidak ada urusan dengan agama lain dan etnis lain," tambahnya.
Terkait sikap Dewan Pertimbangan MUI, Din mengatakan, Taushiyah Kebangsaan akan diserahkan kepada MUI, ormas-ormas Islam dan juga kepada pihak-pihak terkait, khususnya pemerintah. "Lebih khusus lagi kepolisian yang sedang melaksanakan penegakan hukum," ujarnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Dewan Pertimbangan MUI, Didin Hafidhuddin menyesalkan pernyataan Presiden Jokowi yang menuding aksi damai 4 November 2016 ditunggangi aktor politik.
"Saya sangat menyesalkan pernyataan Presiden. Seharusnya Presiden jangan gitu lah, sudah tidak menemui kami para pendemo, malamnya malah membuat pernyataan yang menyudutkan," ujarnya.
Didin mengatakan, Dewan Pertimbangan MUI merasa tersinggung karena massa aksi yang juga masyarakat Indonesia itu berniat menyampaikan aspirasi dengan baik dan secara terbuka transparan serta penuh kedamaian.
"Sekarang jangan main tuduh lah, masyarakat sudah mengerti. Buktikan saja, siapa sebutkan, parpol mana, oknumnya siapa yang menunggangi kegiatan-kegiatan yang sangat masif ini. Jadi enggak usah lagi lah main-main dengan masyarakat, umat, rakyat ini," tegas Didin.
Dinginkan Suasana Masih terkait permasalahan yang sama, pada Rabu kemarin, Presiden Jokowi kembali mengundang para tokoh dari 17 ormas Islam ke Istana Merdeka.
Dalam kesempatan itu, Presiden kembali menegaskan sikapnya atas aksi massa yang menuntut penegakan hukum atas kasus dugaan penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama tersebut. Ia menyatakan, pemerintah tak akan melindungi Basuki Tjahaja Purnama. Karenanya, Presiden berharap masyarakat tak merisaukan hal tersebut dan memercayakan proses yang sedang berjalan.
"Saya mengajak kepada seluruh pimpinan organisasi massa Islam untuk mendinginkan suasana, membangun kedamaian serta mempererat tali persatuan, mempererat ukhuwah kita sehingga ketegangan-ketegangan di masyarakat bisa kita redakan secepatnya," kata Jokowi.
Terkait hal itu, para pimpinan ormas Islam sepakat untuk menenangkan umat Islam dan menunggu proses hukum Ahok. Mereka berkomitmen mengawasi proses hukum perkara itu.
Namun, apa respons ormas Islam jika proses hukum nantinya membuat keputusan yang tidak mereka inginkan? "Kita lihat nanti. Kan keputusan belum ada. Kami tidak bisa menganalisis keputusan apa yang terjadi," ujar Ketua Jami'atul Wasliyah Yusmar Yusuf, seusai bertemu Presiden.
Yusuf menegaskan, yang penting proses hukum Basuki harus dilakukan secara adil, sesuai kaidah hukum, dan transparan. Terlebih lagi, Presiden Jokowi sudah berjanji tidak melindungi Ahok dalam perkara itu.
"Kami sudah sampaikan agar pemerintah dan aparat penegak hukum bisa menunjukkan proses hukum yang adil. Apakah besok, bagaimana besok, ya kita lihat besok. Kita lihat saja nanti," ujar Yusuf.
Terpisah, Ketua DPR RI Ade Komarudin mengatakan, demo damai 4 November lalu terjadi karena umat Islam di Tanah Air tidak terima dengan pernyataan Ahok, yang dinilai telah melecehkan ajaran Islam. "Ini pelajaran bagi semua pejabat publik. Mulutmu itu bisa setajam pisau. Pelajaran buat kita semua," ujarnya.
Karena itu, Akom meminta pejabat publik menjadi contoh teladan dalam berprilaku santun. Terlebih lagi jika menyinggung soal keyakinan, harus hati-hati dan jangan sampai ada yang merasa disakiti. "Agama apa pun tidak ada yang mau dilecehkan," paparnya.
Akom mengatakan persoalan Ahok adalah ujian yang berat buat negara ini. Pemerintah diuji seberapa besar kemampuannya menghadapi tuntutan publik yang mendamba keadilan.
Pasalnya masyarakat penganut agama Islam sangat sensitif jika ajaran agamanya disinggung, terlebih lagi bertepatan dengan momentum politik, pilkada serentak. "Kalau soal agama alarmnya sangat peka. Kita tidak boleh main-main," ujarnya.
Akom mengharap pemerintah bisa mengelola permasalahan ini dengan bijak. Tidak ada pihak yang dirugikan. Pemerintah menghadapi tuntutan publik juga harus proporsional, dan tidak bersikap keras. "Jangan ada kesan umat Islam memusuhi pemerintah, juga sebaliknya. Jangan sampai ada kesan pemerintah memusuhi umat Islam," jelasnya.
Dilaporkan ke MKD Sementara itu, empat anggota DPR dilakukan ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR oleh Koalisi Penegak Citra DPR mengadukan empat wakil rakyat ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Pengaduan tersebut dibuat anggota koalisi Ahmad Hanafi dari Indonesia Parliamentary Center (IPC) dan Gurnadi Ridwan mewakili FITRA, Rabu (9/11).
Keempat anggota dewan itu adalah Ruhut Sitompul dari Fraksi Demokrat, dan tiga anggota Fraksi PDIP, Junimart Girsang, Trimedya Panjaitan dan Charles Honoris. Mereka menilai para wakil rakyat tersebut melakukan pelanggaran etika karena ikut mengawal Gubernur nonaktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok ke Bareskrim Polri.
"Kami melaporkan dugaan pelanggaran kode etik terkait empat anggota DPR dalam proses pemeriksaan BTP. Karena mereka dilarang ikut kegiatan beracara. Kami ingin MKD memproses," kata Hanafi.
Mereka khawatir kehadiran anggota Dewan membuat proses hukum tidak berjalan secara independen. "Kami mempertanyakan kenapa ada anggota DPR, kan tidak diperbolehkan. Sebaiknya DPR fokus sebagai fungsi pengawasan dan menghindari konflik kepentingan baik tugas DPR maupun d luar tugas DPR," jelasnya. (bbs,sam, rol, dtc, kom, ral, sis)