Akankah Hukum Tambahan Bagi Koruptor Membuat Jera?
ADA ungkapan di dalam masyarakat Aceh: Na nyang pajoeh gajah habeh gadeng-gadeng, na nyang pajoeh kareng ka teuglong aneuk mata (Kata kiasan yang bermakna ada orang yang karena kepiawaiannya sanggup menelan gajah berikut dengan gadingnya, tapi ada yang karena tidak lihai, tertelan ikan teri tersangkut di kerongkongan sampai mata terbelalak).
Ungkapan ini menandakan betapa kalau pelaku korupsi itu adalah orang-orang lihai dan di dalam penanganan kasus korupsi terlihat bahwa yang terjerat kebanyakan yang belum lihai bermain.
Korupsi memang tergolong white collar crime (kejahatan kerah putih) yang pengungkapan dan penanganannya relatif sukar, karena terkadang kemampuan “sumber daya manusia” (SDM) Korupsi itu lebih tinggi dari SDM aparat penegak hukum. Dalam white collar crime pelakunya memang orang-orang terpelajar dengan modus yang canggih.
Pelaku dapat membuat skenario bahwa apa yang dilakukan bukanlah pelanggaran, pelaku dapat membungkus kesalahan dengan seolah-olah benar. Sebagai white collar crime dan digolongkan ke dalam kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), kejahatan ini sangat dikutuk oleh semua masyarakat dunia, karena terbukti bahwa korupsi sudah menjadikan perekonomian Negara menjadi hancur, sasaran pembangunan yang dicita-citakan menuju masyarakat adil dan makmur menjadi punah karena perilaku korupsi dari segelintir orang, apalagi kalau di Indonesia sering dikatakan korupsi itu dilakukan secara “berjamaah”.
Dari karakternya memang korupsi itu sepertinya sedikit kemungkinan dapat dilakukan secara tersendiri, kalaupun ada, dapat dipastikan “pahalanya” kecil, atau korupsi kecil-kecilan, namun dalam skala yang besar tentu akan melibatkan pihak lain dan semakin banyak jamaahnya tentu semakin banyak “pahalanya”, barangkali terlalu berburuk sangka kalau kita katakan bahwa di Indonesia korupsi dilakukan secara massif, yakni satu pola korupsi yang disebut dengan corruption by design, pada pola corruption by design ini dibuat aturan-aturan sedemikian rupa, sehingga melalui aturan itu dilakukan suatu perbuatan yang dianggap tidak corrupt karena sudah ada aturannya.
Sistem pemidanaan di dalam hukum pidana terdiri dari dua, yaitu, pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok yang dikenal antara lain pidana mati, penjara dan denda, sedangkan pidana tambahan antara lain di dalam KUHP Pasal 10 huruf a angka 1 yang menyebutkan bahwa pidana tambahan dapat berupa “pencabutan hak-hak tertentu”.
Hak tertentu yang dimaksud dapat berupa hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu yang diatur dalam Pasal 35 ayat (1) angka 1 KUHP, atau hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 35 ayat (1) angka 3 KUHP.Di dalam UU korupsi, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pada Pasal 18 ayat (1) huruf d ditegaskan bahwa: “Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), sebagai pidana tambahan adalah pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana”.
Hak-hak tersebut adalah seperti hak untuk menduduki jabatan tertentu dan hak politik.Dengan demikian, sebenarnya untuk memaksimalkan hukuman bagi koruptor dengan pidana tambahan tersebut sudah memiliki landasan yang kuat.
Selama ini hukuman tambahan belum banyak diterapkan dalam kasus-kasus korupsi, baru pada akhir-akhir ini ada beberapa kasus, yaitu antara lain putusan kasasi Mahkamah Agung yang memperberat hukuman mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq. Hukuman Luthfi ditambah menjadi 18 tahun penjara dari 16 tahun penjara.
Dalam putusan kasasinya, MA juga mencabut hak politik Luthfi untuk dipilih dalam jabatan publik. Kasus lainnya adalah Mahkamah Agung (MA) menjatuhkan hukuman 14 tahun penjara kepada mantan Gubernur Riau Rusli Zainal karena kasus korupsi yang menjeratnya. MA juga mencabut hak politiknya.
Mahasiswa Hukum Pasca Sarjana UIR