Para Pendukung Donald Trump dan Hillary Saling Unfriend di Facebook
JAKARTA (RIAUMANDIRI.co) - Menjelang pemilihan presiden dan wakil presiden Amerika Serikat (AS), terutama pada jajak pendapat beberapa waktu lalu, argumen politik mulai berkecamuk di Facebook. Dan mereka terpantau saling 'menyerang' dan bahkan saling unfriend di Facebook.
Facebook mengatakan bahwa pemilihan presiden 2016 ini telah menghasilkan lebih dari 5,3 miliar posting, like, komentar, dan share--dengan hampir 110 juta warga AS berpartisipasi dalam debat online--antara Januari dan Oktober.
Bahkan, topik yang paling dibicarakan di seluruh dunia di Facebook pada tahun ini, baik kata-kata dan hashtag adalah tentang pemilihan presiden AS. Pun demikian, salah satu jejaring sosial terbesar di dunia itu tidak menjelaskan berapa banyak orang yang saling unfriend.
"Satu kali klik untuk meng-unfriend seseorang dapat memberikan begitu banyak kepuasan, bahkan sebelum seseorang melangkah di dalam kotak suara," ujar Christopher Shea, seorang clinical social yang berbasis New York City, sebagaimana dikutip dari laman Marketwatch, Selasa (8/11/2016).
Sekitar 7 persen dari pemilih melaporkan, mereka kehilangan atau mengakhiri persahabatannya karena pemilihan presiden tahun ini.
Demikian menurut sebuah jajak pendapat yang dilakukan oleh Monmouth University di New Jersey, melibatkan sekitar 700 pemilih yang memiliki akun media sosial.
Masih menurut survei tersebut, simpatisan Partai Demokrat lebih sering menekan tombol 'unfriend' (9 persen) yang merupakan pendukung calon presiden Hillary Clinton. Sedangkan saingannya yaitu simpatisan Partai Republik yang merupakan pendukung Donald Trump sekitar 6 persen, dan pemilih lainnya hanya 3 persen.
Fenomena ini disebut jarang terjadi di masa pemilu, di mana cuma 7 persen pemilih mengatakan bahwa mereka kehilangan persahabatan selama kampanye politik di masa lalu. Akan tetapi, lebih dari dua-pertiga pemilih mengatakan bahwa pemilihan presiden tahun ini telah membawa pengaruh buruk dan sebagian besar tidak menyetujui retorika kampanye yang keras.
Sejumlah pakar menuturkan, pemilihan presiden 2016 ini lebih 'brutal' dan memecah belah serta diwarnai dengan siklus berita tentang tuduhan korupsi dan kekerasan seksual ketimbang masalah ekonomi dan kebijakan.
"Ini mungkin pemilihan yang paling polarisasi yang saya ingat dan itu terus menjadi lebih buruk, berpengaruh ke dalam hubungan sosial kita," kata Susan Krauss Whitbourne, profesor psikologi di University of Massachusetts Amherst.
Ia menganjurkan untuk berhenti mengikuti teman-teman dan kerabat (ketika kamu menyembunyikan news feed seseorang) sebelum meng-unfriend, terutama jika mereka adalah kerabat terdekat kamu. (lpt/ivn)*