Korupsi di Komnas HAM
KOMISI Nasional Hak Asasi Manusia, lembaga yang berkonsentrasi pada penegakan HAM kini sedang diterpa kabar miring: sejumlah anggotanya diduga melakukan korupsi. Ini kabar pahit tentunya. Sepahit masalah HAM yang masih menggunung di republik ini dan tak kunjung diselesaikan.
Dugaan adanya korupsi di lembaga ini berawal dari opini disclaimer yang diberikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas laporan keuangan Komnas HAM pada 4 Juni 2016. Disclaimer merupakan peringkat opini paling rendah yang diberikan BPK untuk setiap laporan yang diaudit. Ini dikarenakan laporan tersebut tidak memenuhi azas-azas transparansi dan pertanggungjawaban yang lazimnya berlaku dalam organisasi milik pubik.
Dalam opini itu beberapa item penyelewengan ditemukan, antara lain, adanya dugaan penyelewengan dana reaisasi belanja barang dan jasa fiktif senilai Rp 820,25 juta serta biaya sewa rumah dinas salah seorang komisioner pada 2015 yang menyimpang dari ketentuan yang ada.
Selain itu disinyalir adanya pembayaran honorarium tim pelaksana kegiatan Komnas yang tidak didukung bukti pertanggungjawaban sebesar Rp 925 juta. Total dana yang bermasalah sekitar Rp 1,7 miliar.
Ini tentu bukan semata soal nominal yang dikorupsi, namun soal marwah dan gengsi lembaga negara. Maklum, berdasarkan pasal 1 angka 7 UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM, Komnas HAM merupakan lembaga mandiri yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lain yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan dan mediasi HAM.
Keterlaluan Publik tentu layak untuk mendesak, agar indikasi penyelewengan tersebut diusut oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Apalagi ini me32nimpa lembaga yang cukup terkenal dalam mengadvokasi nilai-nilai HAM di Indonesia.
Mereka, para anggota komisioner Komnas HAM tentu memiliki kewajiban moral untuk menjaga integritas lembaganya dari serbuan citra miring yang mereduksi kredibilitas dan ketajamannya dalam menjalankan fungsinya. Karena nilai-nilai kemanusiaan yang diperjuangkan dan dibela juga salah satunya memuat antikorupsi.
Siapa pun tak bisa menyangkal, korupsi adalah penyakit atau kejahatan kemanusiaan yang memporakporandakan keadilan, juga cermin runtuhnya peradaban orang atau institusi untuk memperjuangkan hal-hal baik dan positif di masyarakat.
Jika individu atau sebuah institusi sudah terjangkit virus korupsi, kita patut menyangsikan kesungguhan dan orisinalitas sikap lembaga tersebut dalam mempromosikan nilai-nilai kemanusiaan dan membela HAM.
Komnas HAM, bukan lembaga privat yang seenaknya memperlakukan urusan pertanggungjawaban keuangannya sesuka hati. Maka, wajar dalam beberapa hari terakhir banyak pihak mengecam dugaan korup di tubuh Komnas HAM. Publik sedang mengalami krisis panutan institusi bersih dan berwibawa, karena hampir seluruh lembaga di negeri ini tidak lagi imun terhadap korupsi, bahkan lembaga hukum sekalipun.
Sebagai organisasi milik publik, Komnas HAM harus patuh pada kaidah atau aturan universal (transparan, jujur, akuntabel) dalam menjalankan roda organisasinya.
Setiap uang rakyat yang dipakai untuk mengongkosi operasional lembaga ini pantang untuk diselewengkan dengan alasan apa pun, sebaliknya harus dibuktikan bahwa dana itu dipakai untuk mendukung kinerjanya demi kepentingan bangsa.
Selama ini Komnas HAM merupakan lembaga yang getol mengontrol kinerja lembaga-lembaga negara di koridor eksekutif, legislatif, ataupun yudikatif, terkait dengan tindakan atau kebijakan yang terkait dengan pelanggaran HAM.
Kita kerap melihat lembaga ini sangat getol menggonggong pemerintah untuk menyelesaikan persoalan pelanggaran HAM seperti yang terjadi di Papua, Aceh, kasus intoleransi beragama atau kasus-kasus HAM lama yang tidak disentuh pemerintah seperti pembunuhan Munir.
Belum lagi kasus-kasus kriminal lain yang terjadi sehari-hari yang menimpa kaum-kaum minoritas dan rentan (buruh migran, anak-anak, perempuan, kaum difabel, dan lain-lain).
Seruan-seruan kenabian lembaga yang dibentuk pertama kali oleh Soeharto pada 7 Juni 1993 ini memang dianggap memiliki kewibawaan karena didasari oleh panggilan humanitasnya untuk menjadi jawaban bagi pihak-pihak yang dizalimi. Karena itu mereka yang duduk di lembaga ini, tentu dianggap sebagai orang-orang bersih, yang dipastikan tak memiliki kepentingan, dengan tingkat intensi kepedulian dan militansi kemanusiaan yang tidak dipertanyakan lagi.
Maka kalau sampai mereka terseret korupsi, ini berarti sangat keterlaluan. Jika praktek korupsi itu memang kelak terbukti dilakoni oknum-oknum nakal di Komnas HAM, maka lembaga ini bakal mengikuti lembaga-lembaga lain: akan terus dicurigai oleh publik sebagai institusi paria yang makin menjauh dari spirit demokrasi.
Sebab demokrasi adalah sistem yang selalu menginklusi dan membela ditegakkannya prinsip keadilan dan hak azasi sebagai kerangka nilai universal. Sulit untuk menegakkan wajah dan menegakkan kepentingan penegakan kemanusiaan dan keadilan karena cibiran publik yang kesal dengan lembaga ini.
Itu berarti persoalan HAM yang mengindikasikan sejauh mana level kedewasaan demokrasi di republik ini mungkin akan terkubur dengan sendirinya, meskipun harga yang dibayar akan menjadi mahal.
Usut cepat Apalagi selama ini belum ada prestasi mencuat yang dipertunjukkan lembaga ini. Kasus kematian Munir misalnya belum menunjukkan tanda-tanda menggembirakan.
Memang bola panas penyelesaian kasus itu kini ada di pemerintah, namun mestinya sinergi progresif harus ditunjukkan Komnas HAM agar pemerintah terdesak untuk segera menuntaskan kasus tersebut.
Namun yang terjadi? Lembaga ini seperti lebih banyak menunggu itikad baik kekuasaan. Komnas sempat diharapkan bisa menuntaskan investigasi atas kematian tak wajar terduga teroris Siyono, beberapa waktu lalu, namun entah kenapa belum sempat mencapai upaya klimaks, lembaga ini sudah loyo, entah ke mana rimba kasus itu bergulir.
Sinyalemen ada susupan kepentingan politik di tubuh Komnas HAM sebenarnya sudah terdengar jauh-jauh hari sebelumnya. Indikasi sederhana bisa dilihat dari tata tertib perubahan masa jabatan Ketua Komnas HAM periode 2012-2017 yang sebelumnya 2,5 tahun menjadi 1 tahun. Pergantian ketua yang sering ini bisa melemahkan kinerja lembaga karena tidak adanya kesinambungan kerja dalam penyelesaian kasus HAM.
Karena itu, kasus dugaan korupsi ini harus diusut secepatnya hingga tuntas. Para komisioner dan semua unsur di Komnas HAM mesti mendukung upaya membersihkan lembaga ini dari kotoran korupsi. Apalagi pada tahun 2008 lalu, pasca menggelar audience dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tersembul sebuah wacana serius dari Komnas HAM untuk mengikutsertakan lembaga ini dalam proses peradilan korupsi.
Jadi, lembaga inilah yang akan memberikan opini terkait aspek-aspek pelanggaran HAM apa saja yang muncul dari sebuah kasus korupsi di peradilan. Kini, antusiasme menggigit komnas ini malah melempem dan bahkan masuk dalam perangkap kejahatan yang pernah ia kutuk sendiri.
Ternyata benar apa yang diwanti-wanti Francis Fukuyama bahwa hadirnya lembaga-lembaga demokratis di sebuah negara tak sepenuhnya menjamin demokrasi tumbuh sehat (2011: 5, 11, 459), kalau tak disertai keberanian mengeksekusi hal yang baik dan transformatif.
Sudah empat bulan BPK menjatuhkan putusan disclaimer tersebut ke Komnas HAM, dan sebagian staf di lembaga ini sudah mulai melakukan mosi tidak percaya, namum belum terlihat tindak lanjut yang menggembirakan.
Memang ketua komisionernya M Imadudin Rahmat sudah membentuk dewan kehormatan dan tim yang membantu Kesekjenan di Komnas HAM untuk menyelidiki kasus ini, termasuk menelusuri siapa-siapa saja oknum yang terlibat dalam penyelewengan dana dimaksud, namun kita tak tahu sampai di mana kerja tim tersebut.
Kita tak ingin tim tersebut ujung-ujungnya hanya sebagai pencuci dosa karena muara tanggung jawab dari persoalan di Komnas HAM sejatinya bertumpu di bahu ketuanya.
Kita tak ingin Komnas HAM menjadi institusi rapuh berhadapan dengan berbagai kompleksitas tugas dan fungsinya maupun agenda penuntasan ketidakadilan, diskriminasi pelanggaran HAM.
Apa pun itu, komisioner yang terbukti korup, harus dihukum seberat-beratnya untuk mensterilkan lembaga ini dari orang-orang oportunis dan pragmatis. Juga memperlihatkan pada publik bahwa lembaga ini masih punya roh, tidak sekadar lembaga tempat berkumpulnya orang-orang yang hanya ingin mencari sesuap nasi. ***
* Penulis adalah Magister Kenotariatan Fakultas Hukum UGM