Pemuda, Pelopor Perubahan Bangsa
“KEMAPANAN melahirkan manusia yang individualis, nilai-nilai persatuan yang berkemanusiaan dan berkeadilan akan semakin menyempit ketika lahirnya kemapanan“ Setiap tanggal 28 Oktober kita kerap memperingati Sumpah Pemuda, sebuah momen kilas balik penajaman semangat nasionalisme berbangsa dan bernegara. Semangat membangun bangsa untuk meraih cita-cita ibu pertiwi di tangan pemuda.
Kesejahteraan dan keadilan menjadi simbol cita-cita bangsa dibalut dengan norma dan tatakrama berbangsa menjadi raihan sejati Pemuda Pelopor Harmonisasi Bangsa Jika ditanya, kepada siapa dipertanggungjawabkan masa depan bangsa ini, maka jawabannya kepada pemuda. Setidaknya itulah makna yang dipertajam dari ungkapan Bung Karno “Berikan Aku sepuluh pemuda, maka akan aku gunjangkan dunia. Soekarno”.
Kalimat ini sangat sakti bagi cita-cita bangsa Indonesia kedepannya. Sebab, masa depan bangsa ini ada ditangan pemuda.
Untuk itu, ada beberapa hal yang harus dilakukan pemuda untuk tetap menjaga keutuhan bangsa dengan segala cita-cita para pahlawannya. Mulai dari pendidikan, fikiran, wawasan serta cita-cita dan semua itu akan terlihat dari harmonisasi kebangsaan yang tercipta. Harmonisasi sosial, politik, ekonomi dan keagamaan.
Pertama, untuk menjaga harmonisasi kebangsaan dan memaknai cita-cita NKRI ini, maka yang perlu kita maknai adalah keterikatan dan kedekatan ke-pancasilaan bangsa Indonesia dengan demokrasi Indonesia.
Pasca Reformasi, dengungan demokrasi semakin menajam. Hangatnya semakin memuncak, bahkan tak jarang, demokrasi menuai nilai-nilai Hak Asasi yang pantas untuk diperjuangkan.
Namun, ada beberapa hal yang perlu difikirkan lebih jauh, apakah Demokrasi di Negara Pancasila ini sudah memberi nilai positif dalam perkembangan bangsa kedepannya. Hal ini yang sepertinya di khawatirkan Moh. Mahfud MD dalam bukunya Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu (Raja Grafindo Persada;2009).
Jangan sampai Indonesia yang berlatar belakang demokrasi menjadi “sasaran empuk” pencipta kekuasaan kedaerahan. Hal ini sangat terkait dengan berapa banyak “prilaku ngotot” yang ditunjukan oleh berbagai daerah di Indonesia untuk membuat peraturan yang sifatnya kedaerahan. Hal ini pula yang membuat prilaku kedaerahan menjadi dominan dalam prilaku masyarakat.
Para pemuda Indonesia harus mampu memaknai nilai-nilai demokrasi sebagai bias harmonisasi. Keberagaman pendapat, nilai sosial dan budaya seharusnya memberi efek hebat bagi nilai-nilai kebangsaan di masa depan.
Kita tidak sedang menyalahkan otonomi daerah sebagai imbas dari demokrasi.
Hanya saja, kita perlu mengkritisi lebih jauh, apakah memang “ pengkotak-kotakan” bangsa ini atas nama demokrasi itu sejalan dengan Pancasila sebagai filsafat Negara ini. Kontjoroningrat dalam sejarah teori antropologi mencoba menganalisis hal ini dengan mengalisis pendapatnya Montesquieu.
Menurutnya, gejala aneka warna masyarakat manusia merupakan akibat dari pengaruh sejarah masing-masing, tetapi juga pengaruh lingkungan alamnya dan sturktur internnya. Oleh karenanya, masyarakat akan kembali terperdaya dengan pemberian kesempatan untuk kembali ke kekuasaan dan kedaerahannya.
Begitu juga jika kita menyimak pendapatnya Prof. N.A. Fadhil, dalam Yurisprudensi Emansipatif bahwa sikap nasionalisme masyarakat akan terbentuk dari suasana yang terekam pada saat itu. Misalnya jika ada pertandingan PSMS lawan Persija, maka secara langsung sikap dukungan masyarakat Medan akan tertuju pada pemain PSMS, dan masyarakat Jakarta akan mendukung Persija.
Lain lagi ketika nanti Timnas Indonesia melawan Timnas Thailand, maka masyarakat Medan tak lagi akan memperdulikan siapa-siapa saja pemain di Timnas Indonesia, baik itu dari Surabaya, Medan, Jakarta dan sebagainya, dukungan tersebut akan diberikan ke pemain Timnas.
Sikap nasionalisme dan harmonisasi ternyata bisa menjadi bungkus yang kuat manakala sikap tersebut dibentuk melalui sistem kebangsaan melalui hukum, sosial dan pola demokrasi yang sedang diterapkan di Indonesia ini.
Kedua, mengedepankan semangat berjuang, bertarung dalam meraih prestasi. Kemajuan bangsa. Jika pemuda bangsa Indonesia pintar dan cerdas, maka kecerdasan itu akan melahirkan kemapanan dalam penerimaan perbedaan.
Melahirkan perjuangan kemandirian dan siap untuk menjaga keutuhan NKRI dari penjajahan social, budaya, dan sisi lain yang bisa saja berkembang di bangsa ini. Karena pemimpin bangsa kedepannya adalah para pemuda yang dididik oleh keadaan bangsa itu sendiri. Seorang pemuda harus identik sebagai petarung.
Pemuda yang siap merubah keadaan menjadi lebih baik, bukan pemuda yang “ndompleng” pada keadaan yang sudah tidak baik. Bukan pemuda yang manja yang bersandar pada kehebatan keluarga dan kerabat. Pemuda yang dikenal karena prestasinya, bukan karena siapa dibelakangnya. Inilah cita-cita Sumpah Pemuda itu.
Ketiga, pemuda yang memiliki semangat bertanah air, adalah semangat menjadikan tanah air dengan segala wilayah yang ada menjadi ladang berusaha, menggali potensi alam, bukan memberikannya pada orang-orang asing.
Bertanah air satu, itu juga menyadari bahwa siapapun orangnya, selama ia tinggal di wilayah Indonesia, maka orang tersebut menjadi bagian dari saudara setanah air. Semangat kebersamaan tidak diskriminatif dan semangat menjaga kehormatan masing-masing.
Keempat, pemuda yang memiliki Semangat berbangsa, yaitu semangat untuk mengembalikan perjalanan berbangsa ini ke simpul nasionalisme. Persamaan dan kebersamaan.
Pemerintahan yang dijalankan berasaskan kepentingan rakyat, bukan kepentingan pribadi dan golongan. Mengendalikan dan mengelola bangsa ini dengan semangat kolektifitas. Itu pula yang dirangkum pada semangat kemanusiaan yang adil dan beradab.
Jadikanlah bangsa Indonesia sebagai sarana menyatukan keragaman. Menjadikan bangsa Indonesia menjadi alasan untuk tidak diskriminatif terhadap siapapun yang berada dimanapun.
Dan semangat berbangsa itu pula melahirkan semangat untuk menjaga kewibawaan bangsa di mata Internasional. Ini pula yang harus menjadi landasan mengapa kita perlu menjaga tata budaya dan adat istiadat kita untuk tidak di klaim oleh bangsa lain. Seperti batik dan tari pendet yang pernah diklaim sebagai bagian dari tata budaya Malaysia.
Kelima, pemuda yang memiliki semangat mencintai bahasanya, bahasa Indonesia adalah identitas semangat persatuan Indonesia. Sikap kedaerahan harus diminimalisir demi tercapainya semangat persatuan Indonesia.
Indonesia sebagai Negara kepulauan memang cukup unik, sebab, wilayah-wilayah yang dipisahkan oleh lautan tidak menjadi alasan perbedaan itu. Maka, bahasa Indonesia, harus menjadi alat pacu untuk menjaga kebersamaan dan semangat persatuan itu.
Oleh karenanya, sebagai warga Negara yang baik, pemuda yang energik adalah pemuda yang menjadikan bahasa Indonesia sebagai titik awal menjaga persatuan Indonesia dan menepis perbedaan yang ada. Semoga wawasan kebangsaan dan cita-cita bangsa ini lebih baik lagi kedepannya Cita-cita Bangsa di Tangan Pemuda
Peran pemuda dalam membangun bangsa akan menjadi prioritas utama. Sebab, kedepannya bangsa ini akan disibukkan dengan rekayasa sosial yang di dalamnya membutuhkan keampuhan dan kehebatan para pemuda Indonesia menghadapinya.
Kehebatan teknologi, informasi dan perkembangan ekonomi akan menjadi bagian yang teramat penting bagi pembenahan pemuda kedepannya agar siap menghadapi semua permasalahan bangsa.
Nilai harmonisasi bangsa akan terjaga dengan baik jika dikelola oleh pemuda yang cerdas dan terdidik oleh bangsanya sendiri. Pluralisme yang ada di Indonesia bisa menjadi salah satu identitas tersendiri dalam melahirkan nilai-nilai persatuan. Semoga kita bisa menjadi pemuda yang siap memperjuangkan nilai-nilai kebangsaan dan keharmonisan di tengah kemajemukan. Amin
Mewujudkan pemuda berfikir dan bertindak Pancasilais memakai nilai-nilai spiritual, kemanusian yang beradab, nasionalisme, demokrasi, dan nilai keadilan social dalam kehidupan berbangsa dan bertanah air. Setidaknya hal inilah yang menjadi harapan kepada pemuda pada peringatan Sumpah Pemuda ini. Jayalah negeriku.