Istilah OTT Kacaukan Hukum Acara
JAKARTA (RIAUMANDIRI.co) - Kuasa hukum Irman Gusman menghadirkan saksi ahli Leica Marzuki, dalam sidang praperadilan melawan KPK di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (27/10). Dalam keterangannya, Laica menyebut Operasi Tangkap Tangan atau OTT, tidak dikenal dalam hukum acara.
Di hadapan hakim tunggal I Wayan Karya, Laica menjelaskan Istilah perbedaan antara OTT dan penangkapan. Menurutnya, tidak bisa didahului dengan serangkaian kegiatan penelitian. Jika didahului penelitian, sedianya disebut penangkapan.
"Tidak termasuk tertangkap tangan apabila didahului dengan serangkaian upaya penelitian. Itu bukan OTT. Ketika upaya penangkapan, nah syaratnya ada surat tugas, ada surat perintah penangkapan karena bukan tertangkap tangan maka harus menunjukkan surat perintah penyidik, maka harus juga ada surat perintah penangkapan yang jelaskan identitas dan alasan-alasan penangkapan," terangnya seperti dilansir detikcom.
Laica mengatakan, penyelidik tidak punya kewenangan menangkap tanpa seizin penyidik. Jadi, penyelidik harus membawa surat tugas dan surat perintah penangkapan jika akan menangkap seseorang. Jika penyelidik menangkap tanpa surat, itu merupakan tindakan sewenang-wenang.
"Ketika ditangkap, harus diperlihatkan surat tugas dan surat penangkapan. Itu harus ada, kalau enggak, itu terjadi perampasan kemerdekaan," tambah pengajar di Universitas Hasanudin, Makassar tersebut.
Selain itu, lanjut Laica, penetapan tersangka tidak boleh dilakukan di tahap penyelidikan. Penetapan tersangka semestinya ada di tahap penyidikan, yakni setelah ditemukan dua alat bukti yang cukup.
Tanpa dua alat bukti yang cukup, kata dia, maka penyidik tidak dapat melakukan langkah apa pun, termasuk penangkapan. Hal itu sudah diatur dalam Pasal 184 KUHAP.
"Operasi tangkap tangan tidak dikenal dalam KUHAP. Kata itu tidak termasuk tangkap tangan apabila didahului serangkaian upaya penelitian, itu bukan operasi tangkap tangan," kata Laica.
Dia memaparkan bahwa operasi tangkap tangan adalah istilah yang mengandung makna kontradiksi atau berlawanan. "Saya mempertegas operasi tertangkap tangan tidak digunakan, itu mengacaukan istilah hukum karena istilah operasi dan tertangkap tangan itu kontradiksi, mengandung pertentangan," kata Laica.
Saat ditanya mengenai prosedur tangkap tangan, dosen Universitas Indonesia (UI), Universitas Padjajaran (Unpad), Universitas Parahyangan (Unpar) dan guru besar Universitas Hasanuddin (Unhas) itu menjawab bahwa hal tersebut dapat dilakukan tanpa surat perintah.
"Tertangkap tangan tidak perlu ada surat perintah penangkapan karena antara dilakukannya dan penangkapannya temponya bersamaan, jadi tidak lagi digunakan istilah operasi tangkap tangan, itu mengacaukan hukum acara," ujar Laica.
Terkait tidak dihadirkannya Irman Gusman di persidangan ini, alasan KPK belum menerima surat dari pengadilan untuk memanggil Irman Gusman sebagai saksi. "Bisa tidak dihadirkan sekarang?" tanya hakim tunggal I Wayan Karya.
Atas pertanyaan tersebut KPK meminta hakim mencari waktu lain untuk menghadirkan Irman Gusman karena hingga saat ini belum ada surat yang diterima oleh KPK.
"Mungkin kita cari waktu yang lainnya, karena tidak mungkin dilaksanakan, jadi sesuai prosedur KPK untuk tahanan atau tersangka keluar dari ruang tahanan, pihak pemasyarakatan akan bertanya dasar tujuan kami. Kemudian pada prisnsipnya kami menunggu surat itu," kata Kabiro Hukum KPK Setiadi.
Hakim I Wayan Karya memutuskan agar Irman dihadirkan pada persidangan Senin (1/11) mendatang.
"Dengan tidak dihadirkannnya Irman Gusman, kami akan pergunakan waktu di hari Senin. Kami minta Irman Gusman dihadirkan," kata I Wayan Karya. Hakim pun meminta panitera menyiapkan surat penetapan untuk memanggil Irman Gusman untuk memberi keterangan di persidangan. "Jadi kita lanjutkan pemeriksaan perkara dari pihak pemohon," lanjut I Wayan Karya.
Sementara itu pengacara eks Ketua DPD tersebut, Maqdir Ismail menjelaskan alasan pihaknya menginginkan Irman dihadirkan dalam sidang praperadilan. Maqdir mengatakan kesaksian Irman bisa membuktikan bagaimana proses penangkapan dilakukan, terutama berkenaan dengan keterangan dari Listyana Gusman dan surat penangkapan KPK yang tidak ada saat operasi tangkap tangan (OTT) pada Sabtu, 17 September lalu.
"Ya pasti, kami enggak tahu juga SOP (Standar Operasional Prosedur) mereka (KPK) ada atau enggak. Sebab hukum acara jelas kok seperti apa proses penangkapan, tangkap tangan itu seperti apa. Tangkap tangan itu kan kejadiannya tidak diketahui, ini kalau melihat jawabannya KPK mereka sudah ikuti Pak Irman, komunikasi Pak irman sejak Juni," kata Maqdir di persidangan.
Menurutnya, KPK telah menyalahi prosedur dalam saat melakukan OTT tersebut. "Penyelidik itu kan enggak punya kewenangan menangkap orang, kecuali ada izin, ada perintah dari penyidik. Nah, ini penyelidikan untuk orang lain, tapi yang ditangkap pak Irman," kata dia.
Dia beranggapan bahwa KPK tidak menghormati jabatan Irman terutama berhubungan dengan kedudukannya sebagai Ketua DPD, sehingga menurutnya ini seumpama jebakan yang disiapkan dengan sengaja untuk menangkap Irman.
"Kalau memang betul mereka tahu dari awal Bapak Irman mau diberi orang uang, mestinya pimpinan KPK beritahu Pak Irman, 'Pak Irman orang itu jangan diterima Bapak akan diberi uang'. Kan mereka tahu mau ada tangkap tangan karena ada informasi itu kan, bagaimana mereka mau tahu Pak Irman mau diberi uang kalau tidak ada informasi dahulu, sementara Pak Irman tidak tahu?" jelas Maqdir. Di samping itu, Irman melihat bahwa surat yang dibawa KPK ditujukan bukan untuk dirinya sehingga seharusnya bukan dia yang ditangkap KPK.
"Surat (yang dibawa KPK) ini untuk orang lain (Xaveriandy Sutanto) tapi kenapa kok dia (Irman) yang ditangkap, itu salah satu di antaranya untuk diterangkan Pak Irman," kata Maqdir.
Selain itu, Maqdir mengatakan Irman juga akan menjelaskan proses interogasi yang sudah dilakukan KPK. Pasalnya, Irman diinterogasi tanpa didampingi kuasa hukumnya.
"Ketentuan undang-undang itu orang kalau diperiksa sebagai tersangka ada kewajiban menghadirkan kuasa hukum atau didampingi penasihat hukum, ini yang tidak dilakukan KPK," tutupnya. (h/ald)