Pendapatan RAPBDP Tahun 2016 Lebih Besar Pasak dari Tiang
PERATURAN Daerah Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan Provinsi Riau tahun 2016 akhirnya resmi 'diketok palu' pada angka Rp10.365 triliun. Dengan struktur belanja tidak langsung Rp5.443 triliun dan belanja langsung Rp4.921 triliun.
Sementara pendapatan daerah sebesar Rp7.233 triliun, meliputi Pendapatan Asli Daerah Rp3.496, dana Perimbangan Rp3.729 triliun, ditambah dari sumber lain-lain pendapatan daerah yang sah Rp7.285 miliar.
Jika dicermati, jumlah anggaran pada RAPBDP tahun 2016, semua Satuan Kerja Perangkat Daerah mengalami perubahan. Anehnya, justru di pos pendapatan tidak bergerak dari target APBD murni.
PAD pada APBD murni tahun 2016, target anggaran pendapatan daerah Rp3.495 miliar. Pada nota kesepakatan antara Pemerintah dan DPRD yang dituangkan di PPAS Rp3.496 miliar. Angka ini tidak berubah alias 'sami mawon' sampai ketok palu pada hari Kamis, 13 Oktober tahun 2016 lalu.
Maknanya, pendapatan daerah dan SKPD yang mengelola pendapatan tidak ada duit masuk tambahan, tetapi pembiayaan pada program dan kegiatan justru bertambah. Logika untung rugi dalam ilmu bisnis, jika pendapatan tidak bertambah sementara pembiayaan naik maka yang didapat tidak lain hanyalah kebangkrutan.
Dalam politik anggaran memang tidak ada istilah bangkrut. Lebih halus namanya kurang tepat sasaran atau lebih kasar sedikit disebut pemborosan. Apa sanksinya? Kalau dalam bisnis sudah gulung tikar, di pemerintahan paling dapat catatan dari Badan Pemeriksa Keuangan.
Menyorot pendapatan Pemprov Riau yang tidak ada kenaikan, maka perlu dipertanyakan segigih apa Dinas Pendapatan Daerah dan SKPD yang mengelola pemasukan. Apakah sebanding antara duit pembiayaan dengan pemasukan. Tanggungjawab moril dipertaruhkan jika biaya kegiatan lebih gede dibandingkan dengan hasil yang didapatkan. Jika demikian betul kata pepatah 'Lebih Besar Pasak Daripada Tiang'.
Mudah diketahui bahwa penetapan target pajak dan retribusi dapat berkorelasi perkiraan pertumbuhan ekonomi tahun 2016. Maka akan diketahui potensi pendapatan serta realisasi penerimaan yang akan dicapai dengan mengacu realisasi pada tahun sebelumnya.
Sebagai informasi bahwa keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 tahun 2016 tentang pedoman penyusunan APBD tahun 2016, peningkatan pajak dan retribusi daerah mengalami tren kenaikan.
Pada lima tahun terakhir dari tahun anggaran 2011 sampai 2015 secara nasional meningkat rata-rata untuk tingkat provinsi mencapai Rp17,65 triliun atau 24, 21 persen. Artinya, jika Pemprov Riau melakukan upaya gigih dan penuh tanggungjawab tidakpun dikalikan dengan asumsi 24, 21 persen, taruhlan diambil angka damai 20 persen saja, PAD tahun 2016 dari pos pajak dan retribusi darah seharusnya memasang target angka kenaikan.
PAD dari pajak dearah diketahui realisasi tahun 2015 Rp 2,572 triliun dikalikan 20 persen maka diperoleh duit Rp3.086 triliun. Begitupun dari retribusi daerah di mana tahun 2015 Rp21.571 miliar seharusnya tahun 2016 naik menjadi Rp 25.885 miliar.
Dengan kenyataan tersebut maka Pemprov Riau belum mengoptimalkan PAD dari pos atau sumber pajak dan retribusi. Di sisi sisi anggaran SKPD yang mempunyai program dan kegiatan terkait pendapatan memiliki anggaran yang gemuk.
Dinas yang diharapkan dapat meraup pendapatan lebih besar ini boleh jadi hanya 'Macan Ompong' tatkala sekarang tetap dibiarkan oleh Gubernur dengan dijabat oleh seorang Pelaksana Tugas, Tak terkecuali kursi Ketua DPRD yang dibiarkan kosong lebih satu tahun. Walau Ketua DPRD adalah jabatan politis tetapi juga bermuara ke Gubernur Riau yang notabene adalah Ketua Parpol yang berhak atas keberadaan Ketua DPRD Riau.
Faktor pendukung lain juga masih dipertanyakan pada peningkatan mutu sumber daya manusia di Dinas Pendapatan Daerah. Maka diperlukan tindakan yang kongkrit untuk menempatkan pegawai yang sesuai dengan keahliannya.
Peran Badan Kepegawaian Daerah sangat besar untuk terbentuknya Pegawai Negeri Sipil profesional dan memiliki visi ke depan. Pemprov Riau juga harus berkomitmen yang sungguh-sungguh terutama pada SKPD yang mengelola pendapatan daerah dengan membuat program dan kegiatan yang terukur dan jelas. Yakni dengan menetapkan sasaran dan target.
Dengan diberikan penetapan angka dan target akan menjadi langkah tepat untuk bahan evaluasi keberhasilan SKPD. Yaitu, untuk membandingkan biaya operasional dengan hasil pendapatan yang diperoleh.
Satu pos lagi yang diharapkan mampu menyumbangkan pendapatan yaitu Badan Usaha Milik Daerah. Hanya saja kelahiran BUMD tidak seperti yang dimimpikan. Jangankan membagi deviden malahan sebaliknya membebani anggaran setiap tahunnya.
Kendatipun demikian harus ada upaya agar BUMD bangkit sebagaimana optimisme pada saat menyodorkan proposal untuk 'menjolok' tambahan anggaran. Ketegasan juga harus disematkan kepada BUMD. Diawasi dan dituntut target kinerjanya.
Jika tidak berhasil tidak usah malu untuk membubarkan diri daripada dibekukan. Berani bertangggungjawab dalam setiap keputusan. Akan lebih hebat apabila ada fakta integritas dari Gubernur dengan SKPD- SKPD tentang tanggungjawab terhadap percepatan program dan kegiatan. Dengan demikian akan mudah memberikan penilaian mereka yang berhasil mendapat penghargaan dan yang teledor dan buruk kerjanya secepatnya diganti.
Mencermati tiga tahun anggaran APBD murni dan perubahan, mulai tahun 2014, 2015 dan 2016. Sektor pendapatan tidak ada peningkatan yang signifikan. Begitupun pelaksanaan program dan kegiatan tidak maksimal. Berakibat pada besarnya SilPa. Berkemungkinan, tersebab SilPa yang menumpuk di Bank Riau Kepri, mempengaruhi tingkat kinerja SKPD yang mengelola pendapatan, berleha-leha tidak bekerja keras. Karena sudah ada saving dana.
Jika pembiayaan SKPD lebih besar dari pada hasil pendapatan. Lebih besar pasak dari pada tiang. Maka lebih baik pemerintah mengambil keputusan populer. Yakni membebaskan masyarakat dari pungutan pajak dan retribusi.
Tentang dana yang tersimpan di bank, sejatinya menunjukkan kelemahan Pemprov Riau dalam mengelola keuangan. Dan yang pasti itu bukan pendapatan dari prestasi kerja SKPD, justru itu menggambarkan kelemahannya.
Keberadaan SilPa menjadi viral yang buruk bagi prestasi Riau. Tidak saja menjadikan efek buruk pada SKPD karena serapan anggran yang rendah tetapi juga terhadap masyarakat. Kenapa, karena tidak mendapatkan manfaat akibat kegagalan kegiatan yang pro pelayanan dan tidak tepatnya sasaran dari perencanaan awal.
Yang lebih fatal lagi adalah, pemerintah pusat akan mengambil langkah tegas yakni dengan sanksi tunda salur dana ke Riau. Dan logika politik anggaran ketika Riau menuntut dana tambahan, Pemerintah Pusat akan dengan gampang menjawab tidak perlu karena duit yang ada di Riau tidak bisa dihabiskan.
Jangan cemburu terhadap provinsi lain yang berhasil menarik dana tambahan dari APBN. Sebab mereka lebih piawai mengelola keuangannya. Politik anggarannya defisit menjadi duit nganggur alias SilPa, melainkan karena keberhasilan melaksanakan program dan kegiatan yang berjalan sukses. Mereka terus kekurangan dana dan Pemerintah Pusat dengan senang menambah duit karena produktif dan realisasi pengerjaan sesui target.
Bersamaan dengan itu pos pendapatan juga digeber terus menerus. Maka penggabungan pendapatan asli daerah ditambah dana dari APBN membuat provinsi lain lebih sehat dan maju. Rasanya tidaklah salah dan malu, jika 'membebek' kehebatan dan kemajuan provinsi tetangga. Kecemburuan itu perlu jika untuk memotivasi agar negeri yang kota cintai Riau tidak tertinggal. Sehingga menjadi negeri yang kuat dan jaya.
Penulis: Bagus Santoso, Anggota Komisi D DPRD Riau dari Fraksi PAN
Editor: Nandra F Piliang