Perihal Pilkada dengan Satu Pasangan Calon
SATU pertanyaan yang masih saja sering mengemuka adalah, apakah jika hanya 1 pasangan calon (Paslon) yang mendaftar, dan kemudian memenuhi syarat, Pilkada tetap diselenggarakan di daerah tersebut? Sebelum lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi (MKRI) No.100/PUU-XIII/2015 tanggal 29 September 2015, jawaban terhadap pertanyaan tersebut menjadi polemik dan kontroversi. Sebab UU No.8/2015 tentang Perubahan UU No.1/2015 yang menjadi dasar hukum Pilkada 2015 memang luput mengaturnya.
Dalam kekosongan hukum tersebut, KPU RI ketika itu cenderung bersikap menunda Pilkada ke Pilkada serentak berikutnya, bila setelah masa perpanjangan pendaftaran tidak ada juga Paslon baru yang mendaftar.
Di lain pihak, sejumlah pengamat dan lembaga pemerhati Pemilu mendesak Pilkada dengan satu pasangan calon tetap dilaksanakan dengan model pemilihan bumbu kosong. Dalam polemik demikian, tiga daerah dengan 1 Paslon pada Pilkada 2015 yakni Timor Tengah Utara (TTU), Blitar, dan Tasikmalaya sempat tidak menentu nasib Pilkadanya.
Prakondisi pilkada satu pasangan calon Syukurlah, MKRI kemudian membuat Putusan No. 100/PUU-XIII/2015 tanggal 29 September yang isinya bila ditafsirkan secara keseluruhan menyebut, pasal 49 (9), pasal 50 (9), pasal 51 (2), dan pasal 52 (2) UU No.8/2015 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (conditionally unconstitutional) sepanjang tidak dimaknai mencakup “menetapkan satu (1) Paslon gubernur dan calon wakil gubernur atau satu (1) Paslon bupati dan calon wakil bupati atau satu (1) Paslon walikota dan calon wakil walikota dalam hal hanya terdapat 1 (satu) Paslon gubernur dan calon wakil gubernur atau satu (1) Paslon bupati dan calon wakil bupati atau satu (1) Paslon walikota dan calon wakil walikota”.
Berdasarkan Putusan MK RI No.100/PUU-XIII/2015 tersebut Pilkada dengan satu Paslon menemukan alas konstitusionalnya. KPU kemudian menerbitkan PKPU No. 14/2015 tentang Pilkada dengan Satu Pasangan Calon. Pilkada 2015 di TTU, Blitar, dan Tasikmalaya pun akhirnya bisa diselenggarakan dengan baik. Belakangan, UU No. 10/2016 tentang perubahan kedua UU No.1/2015 tentang Pilkada juga mengakomodir Putusan MK RI No. 100/PUU-XIII/2015 dan PKPU No.14/2015 tersebut.
Pilkada dengan 1 Paslon dilaksanakan dalam hal memenuhi kondisi; Pertama, hanya ada 1 Paslonyang mendaftar sampai dengan berakhirnya masa pendaftaran reguler. Setelah penundaan tahapan dan perpanjangan masa pendaftaran (3 hari) tetap hanya terdapat 1 Paslon yang mendaftar, dan berdasarkan hasil penelitian, Paslon tersebut dinyatakan memenuhi syarat; Kedua, terdapat lebih dari 1 Paslon yang mendaftar, dan berdasarkan hasil penelitian hanya terdapat 1 Paslonyang dinyatakan memenuhi syarat, dan setelah dilakukan penundaan sampai dengan berakhirnya masa pembukaan kembali pendaftaran, tidak terdapat Paslon yang mendaftar, atau Paslon yang mendaftar berdasarkan hasil penelitian dinyatakan tidak memenuhi syarat, yang mengakibatkan hanya terdapat 1 Paslon yang memenuhi syarat.
Ketiga, sejak penetapan Paslon sampai dengan saat dimulainya masa Kampanye, terdapat Paslon yang berhalangan tetap, Partai Politik atau Gabungan Partai Politik tidak mengusulkan calon/Paslon pengganti, atau calon/Paslon pengganti yang diusulkan dinyatakan tidak memenuhi syarat yang mengakibatkan hanya terdapat 1 Paslon.
Keempat, sejak dimulainya masa Kampanye sampai dengan hari pemungutan suara, terdapat Paslon yang berhalangan tetap, Partai Politik atau Gabungan Partai Politik tidak mengusulkan calon/Paslon pengganti, atau calon/Paslon pengganti yang diusulkan dinyatakan tidak memenuhi syarat yang mengakibatkan hanya terdapat 1 Paslon. Kelima, terdapat Paslon yang dikenakan sanksi pembatalan sebagai peserta Pemilihan yang mengakibatkan hanya terdapat 1 Paslon.
“Setuju” dan “Tidak Setuju” Lalu apa yang membedakan Pilkada satu Paslon dengan Pilkada dengan lebih dari satu Paslon? Mengacu pada PKPU No. 14/2015 dan UU No.10/2016 perbedaan paling mendasar terletak pada ketentuan tahapan kampanye debat publik, pemungutan suara, dan penetapan calon terpilih. Pertama, karena hanya diikuti satu Paslon kampanye dalam bentuk debat publik nantinya akan melibatkan peran serta masyarakat. Masyarakat diberi ruang untuk mengajukan moderator dan panelis serta mengusulkan pertanyaan debat Publik yang disampaikan kepada KPU sebelum debat publik dilaksanakan.
Dengan mempertimbangkan usulan masyarakat tersebut KPU setempat kemudian akan memilih moderator dan panelis yang memenuhi syarat dan menyusun pertanyaan-pertanyaan debat publik. Kedua, pemungutan suara Pilkada dengan satu Paslon menggunakan surat suara bergambar Paslondan di bawahnya ada kolom pernyataan “setuju” dan “tidak setuju”.
Bila pada pemilihan dengan lebih dari satu Paslon, pemilih cukup mencoblos gambar salah satu pasangan dan dinyatakan sah maka pada pemilihan dengan satu Paslon pemilih tidak cukup hanya mencoblos gambar Paslon saja. Mencoblos gambar Paslon tanpa diikuti dengan mencoblos kolom tulisan “setuju” atau “tidak setuju” akan dinyatakan tidak sah!
Dengan demikian kategori suara sah dalam Pilkada dengan satu Paslon ada dua yakni, mencoblos kolom “setuju” saja atau mencoblos gambar Paslon disertai mencoblos kolom “setuju”. Sebaliknya, kategori surat suara tidak sah juga ada dua yaitu, mencoblos kolom “tidak setuju” saja atau mencoblos gambar Paslon disertai mencoblos kolom “tidak setuju”.
Mengapa ketentuannya seperti itu? Pertama, karena hanya 1 Paslon maka yang dinilai bukan sekedar pilihan pemilih, tetapi sikap “setuju” atau “tidak setuju” pemilih terhadap Paslon tersebut. Kedua, menjaga kemandirian dan integritas KPU. Sebab bila mencoblos hanya gambar Paslon dinyatakan sah maka KPU berpotensi dituding tidak mandiri karena dengan ketentuan itu KPU seolah menggiring pemilih untuk mencoblos Paslon.
Di pihak lain, belajar dari Pilkada 2015 format surat suara itu juga mendapatkan kritik karena dituding cenderung memfasilitasi pemilih untuk setuju mendukung paslon. Karenanya muncul desakan untuk merevisi PKPU 14/2015 dan mengubah format surat suara yang lebih berkeadilan berisi gambar paslon dan gambar kosong sehingga bisa memfasilitasi pemilih menggunakan pilihannya secara bebas.
Sayangnya, hingga tulisan ini dibuat revisi PKPU 14/2015 dan ketentuan baru format surat suara Pilkada dengan 1 paslon belum final karena masih terus digodok dan disimulasikan guna menghasilkan format surat suara yang lebih berkeadilan.
Ketiga, KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota menetapkan Paslon terpilih jika mendapatkan suara (“setuju”) lebih dari 50% (lima puluh persen) dari suara sah. Jika tidak, maka tidak ada calon terpilih.
Paslon yang kalah dalam Pemilihan boleh mencalonkan lagi dalam Pemilihan berikutnya yang diulang kembali pada tahun berikutnya atau dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan. Untuk mengisi pemerintahan maka Pemerintah akan menugaskan Penjabat Gubernur atau Penjabat Bupati atau Penjabat Walikota untuk daerah tersebut sampai terselenggaranya Pemilihan berikutnya.
Pertanyaan terakhir yang sering muncul adalah, bolehkah Pilkada dengan satu Paslon ditunda? Boleh, sepanjang terdapat kondisi antara lain.
Pertama,Paslon yang mendaftar dan telah dilakukan penelitian, dinyatakan tidak memenuhi syarat. Kedua, Paslonyang berhalangan tetap dan partai politik atau gabungan partai politik pengusung tidak mengajukan penggantian calon atau Paslon.
Ketiga, Paslon pengganti yang telah diajukan partai politik atau gabungan partai politik telah dilakukan penelitian dan dinyatakan tidak memenuhi syarat. Atau keempat, Paslon dikenakan sanksi pembatalan, yang kesemuanya mengakibatkan tidak adanya lagi Paslon yang memenuhi syarat.
Inilah sejumlah ketentuan Pilkada dengan satu Paslon berpedoman kepada PKPU No.14/2015 dan UU No.10/2016. Semoga para peserta Pilkada, pemilih, dan masyarakat yang daerahnya berpotensi menyelenggarakan Pilkada dengan 1 Paslon memahami ketentuan tersebut dan berpartisipasi aktif mengawal proses dan menggunakan hak pilihnya secara cerdas dan bertanggungjawab.***