Saldi Isra Ingatkan Jokowi-JK
JAKARTA (RIAUMANDIRI.co) - Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Padang, Saldi Isra, meluncurkan bukunya "Hukum yang Terabaikan" di kantor Indonesia Corruption Watch (ICW), Kalibata, Jakarta Selatan, Selasa (18/10).
Buku yang terdiri dari kumpulan tulisan Saldi Isra itu mengkritisi kebijakan hukum pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) selama dua tahun menjalankan pemerintahan.
"Ada 26 tulisan di buku ini dan hampir 90 persen mengingatkan Jokowi-JK soal apa yang dijanjikan dulunya saat ingin menjadi presiden-wapres. Kalau dibaca judulnya bisa menjadi hukum yang terabaikan, hukum KPK yang terabaikan, KPK yang terabaikan," ujar Saldi, dalam acara bedah bukunya tersebut.
Selain Saldi, bedah buku juga menghadirkan pembicara lainnya yakni Komisioner KPK Laode Muhammad Syarif, Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar dan Koordinator ICW, Adnan Topan Husodo.
Menurut Saldi, apabila dibaca uraian Nawacita, sebenarnya banyak pihak berharap Jokowi-JK melakukan lompatan besar di bidang penegakan hukum. "Akan tetapi, selama dua tahun memerintah hukum dan penegakan hukum masih tertatih-tatih. Bahkan, belum menjadikan hukum sebagai prioritasnya," ujarnya.
Namun demikian, Saldi bisa memahami mengapa hukum belum menjadi fokus pemerintahan Jokowi-JK dalam menjalankan pemerintahan selama dua tahun ini. Tahun pertama pemerintah fokusnya pada konsolidasi politik dan tahun kedua fokus ke bidang ekonomi dengan menerbitkan belasan paket bijakan ekonomi.
"Ada 3.000-an lebih Perda dibatalkan, tidak tahu bagaimana implikasinya. Ada enggak agenda hukum yang bekerja? Ada. Bagaimana melihat produk hukum daerah yang menghambat investasi," kata Direktur Pusat Suti Konstitusi (PU-SaKO) Unand Padang itu.
Karena itu dia beharap, masa pemerintahan Jokowi-JK yang masih tersisa selama tiga tahun ke depan, harus memberikan fokus lebih besar pada sektor hukum dan penegakan hukum.
"Untuk itu, diperlukan peta jalan reformasi hukum dan penegakan hukum sehingga mampu menggerakan semua institusi penegak hukum yang berada di bawah wewenang mereka," kata Saldi.
Dengan peta jalan itu pula, menurut Saldi, presiden mendorong lembaga penegakan hukum seperti Mahkamah Agung, melakukan pembaharuan internal. Tidak kalah pentingnya, dengan peta jalan itu pula masyarakat bisa melacak strategi presiden mempertahankan eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK dalam desain besar pemberatasan korupsi.
Sebab Saldi melihat kondisi KPK sempat memprihatinkan. Bahkan, sikap pemerintah pada awal 2015 menjadikan tahun kritis bagi KPK. "Kalau tidak di-backup civil society, mungkin sudah tidak ada lagi KPK. Situasi itu menjadi ujian paling penting bagi KPK kalau disandingkan dengan janji-janji Nawacita," ucapnya.
Komisioner KPK Laode M Syarif mengakui bahwa lembaga yang dipimpinnya itu hampir tinggal nama saja saat itu yang ketika itu dia belum menjadi pimpinan KPK.
"Sebagai akibat krisis itu, ketika komisioner KPK dilantik kami bicara dengan presiden, index persepsi korupsi harus mencapai angka 50. Tapi itu terlalu besar, sehingga pak Jokowi menyatakan mendukung 1000 persen. 40-an lebih kasus yang sampai saat ini terus terang belum bisa diselesaikan semua. Kedua, krisis semacam itu tidak baik untuk KPK, penegak hukum dan mental pemberantasan korupsi di negeri," papar Laode.
Menurut Laode memang untuk mencapai angka 50 di indeks prestasi korupsi, maka pungli harus diberantas. Dia berharap agar Jokowi benar-benar beri istruksi tegas untuk berantas pungli.
"Pemerintah harus memperhatikan betul-betul masalah korupsi ini. Oleh karena itu dalam Nawacita dalam poin ke-4 cukup jelas dinarasikan yaitu menolak negara lemah dengan mereformasi kebijakan hukum," pungkas Laode. (sam)