Keadilan Pilkada
TEGAKNYA keadilan dalam penyelenggaraan pilkada adalah suatu keharusan. Keadilan pilkada digunakan untuk menjamin kedaulatan pemilih. Sebagai paradigma baru, keadilan pilkada merupakan turunan dari sistem keadilan pemilu (electoral justice system).
Istilah ini diperkenalkan oleh International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA). Instrumen tersebut digunakan untuk mengukur demokratis tidaknya suatu pemilu yang diselenggarakan di suatu negara.
Keadilan dalam pilkada akan terwujud, jika mekanisme dalam pilkada mampu menjamin kemurniaan hak pilih pemilih atau hak warga negara. Dimana, suara yang diberikan dalam pilkada terfasilitasi dengan baik oleh penyelenggara (KPU). Begitu juga peserta pilkada harus menghormati kehendak bebas pemilih untuk memilih wakilnya yang akan duduk sebagai pemimpinnya di daerahnya.
Jika hak pilih pemilih termanipulasi oleh peserta pilkada, maka sistem keadilan pilkada harus mampu mengembalikannya. Bahkan, jika penyelenggara pilkada telah lalai mengakomodir hak pilih, maka tidak ada alasan untuk tidak mengembalikan hak pilih tersebut.
Intinya, hak pilih pemilih harus dijamin dan terjaga kemurniannya. Karenanya, tujuan keadilan pilkada itu meliputi: jaminan agar setiap tindakan, prosedur dan keputusan terkait proses pilkada sesuai dengan kerangka hukum; melindungi atau memulihkan hak pilih; dan memungkinkan pemilih yang hak pilihnya dilanggar bisa melakukan pengaduan, persidangan, dan mendapatkan keputusan yang seadil-adilnya.
Salah satu instrumen keadilan pilkada, yakni melalui penegakan hukum dengan desain kerangka hukum yang mengatur mekanisme dan penyelesaian yang efektif di undang-undang pilkada. Berkaca pada kasus pilkada Pekanbaru, rekomendasi yang dikeluarkan oleh panita pengawas (panwas) kepada KPU Pekanbaru menjadi kajian sebagaimana dimaksud dalam sistem keadilan pilkada ini.
Desain kerangka hukumnya adalah pelanggaran administrasi. Berdasarkan kerangka hukum ini, rekomendasi adalah berupa saran bukan bersifat final dan mengikat. Norma final dan mengikat, menurut desain kerangka hukum pilkada ada pada kerangka sengketa pemilihan dan sengketa hasil pemilihan.
Kurang tepat, jika memahami norma ‘wajib ditindaklanjuti’ ditarik pemahaman sebagai ruang terakhir sehingga dimaknai final dan mengikat. Sesungguhnya ketika rekomendasi dibalas dengan keluarnya surat tindaklanjut atas rekomendasi, norma ‘wajib ditindaklanjuti’ sudah gugur atau terpenuhi.
Pemaknaan paling lama dalam waktu 7 (tujuh) hari, bukan dimaknai memberikan kesempatan dalam rentang waktu 7 (tujuh) hari agar rekomendasi tetap harus dijalankan seutuhnya. Tapi, norma limitatif (pembatasan) waktu pelaksanaan dengan penyebutan ‘paling lama’.
Kembali lagi ke bahasan desain penegakan hukum pilkada, dimana telah membagi menjadi dua mekanisme besar. Yaitu penyelesaian sengketa dan penangganan pelanggaran. Penyelesaian sengketa pilkada dibagi menjadi dua, yakni sengketa di tahapan penyelenggaraan dan sengketa hasil pilkada. Sedangkan penangganan pelanggaran dibagi menjadi tiga; yakni administrasi, pidana dan etik.
Sengketa pemilihan atau disebut juga sebagai sengketa tahapan. Pasalnya, sengketa ini terkait dengan dikeluarkannya pedoman, petunjuk teknis, berita acara oleh penyelenggara (KPU) di setiap tahapan pilkada.
Lihat pengaturannya di Pasal 142 – 144 UU No. 1/2015 tentang pilkada. Intinya, sengketa pemilihan memberikan ruang kepada peserta pemilihan (paslon, parpol dan gabungan parpol) untuk menguji prosedur yang dikeluarkan dan dijalankan oleh KPU.
Hasil sengketa ini bersifat mengikat, yaitu wajib dijalankan oleh KPU dan peserta pilkada. Serta bersifat final, yaitu tak ada ruang upaya lain sesudah sengketa pemilihan diputuskan oleh Panwaslu.
Sengketa tata usaha negara (TUN) merupakan ruang untuk menguji terhadap keputusan KPU tentang penetapan pasangan calon. Yang mengajukan adalah peserta pemilihan yang merasa dirugikan. Bisa saja karena tak memenui syarat calon dan syarat pencalonan sehingga tak ditetapkan. Lihat pengaturannya Pasal 154 – 155 UU No. 1/2015. Obyeknya dibatasi hanya mengenai penetapan pasangan calon.
Meski KPU banyak mengeluarkan surat keputusan sepanjang tahapan pilkada –objek TUN--, tapi undang-undang membatasi mengenai penetapan pasangan calon yang dapat diadukan sebagai sengketa TUN. Sifat putusannya belum final dan mengikat, karena masih menyediakan ruang upaya hukum selanjutnya.
Sengketa hasil pemilihan biasanya merupakan sengketa terakhir. Yaitu setelah KPU menetapkan hasil penghitungan dan rekapitulasi hasil peserta peraih suara terbanyak. Sama seperti sengketa pemilihan, sengketa hasil pemilihan diajukan oleh peserta ke MK terhadap keputusan KPU.
Bedanya, sengketa ini objeknya hanya dibatasi pada surat keputusan penetapan hasil penghitungan dan rekapitulasi hasil peserta peraih suara terbanyak. Putusannya sama, final dan mengikat. Lihat pengaturannya di Pasal 156 – 158 UU No. 8/2015 perubahan pertama atas UU No. 1/2015 tentang pilkada.
Pelangggaran administrasi adalah pelanggaran mengenai prosedur, mekanisme, juknis dan pedoman yang dikeluarkan dan dijalankan oleh KPU. Lihat pengaturannya di Pasal 138 – 141 UU No. 1/2015 tentang pilkada.
Obyeknya dapat berupa berita acara, surat keputusan, juknis dan pedoman tahapan pilkada. Sifatnya, tak mengikat. Hanya saran dan anjuran. Yang dimaknai tidak wajib dijalankan secara bulat seperti bunyi rekomendasi. Sepanjang sudah ditindaklanjuti, KPU sudah lepas dari kewajibannya.
Jika rekomendasi setelah dicermati memang terdapat kesalahan administrasi yang dilakukan KPU, maka wajib melaksanakan sesuai rekomendasi. Tapi, jika rekomendasi itu membuat KPU jusru menabrak undang-undang, peraturan dan prosedur, maka berisiko jika rekomendasi itu dijalankan sepenuhnya.
Pelanggaran kode etik adalah pelanggaran terhadap sumpah dan jabatan sebagai penyelenggara. Rumusan kode etik sudah dirinci secara tegas dalam bunyi teks ucapan sumpah jabatan penyelengara saat akan dilantik. Lihat pengaturannya di Pasal 136 – 137 UU No. 1/2015 tentang pilkada.
Selain itu, pelanggaran kode etik juga dimaknai pelanggaran terhadap undang-undang dan seluruh peraturan terkait penyelenggaraan pemilu dan pilkada. Pelanggaran terhadap undang-undang dan peraturan sudah tentu sebagai pelanggaran kode etik.
Tapi, pelanggaran kode etik belum tentu sebagai pelanggaran terhadap undang-undang. Intinya, sikap, tindak-tanduk, perbuatan seorang penyelenggara harus dijaga sebaik mungkin. Pengambilan putusannya melalui persidangan di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), yang sifat putusannya final dan mengikat.
Pelanggaran pidana pilkada adalah pelanggaran terhadap delik pidana sebagaimana di atur oleh undang-undang ini. Ini sesuai dengan asas ‘legalitas’ yang dianut oleh sistem hukum Indonesia. Sepanjang delik itu tak diatur oleh undang-undang ini sebagai perbuatan pidana pilkada, maka perbuatan tersebut bukan perbuatan pidana. Lihat Pasal 145 – 198 UU No. 1/2015 tentang pilkada. Pelanggaran terhadap pidana pilkada sanksinya komulatif, yaitu berupa hukuman badan dan membayar denda.
Pengaturan pelanggaran politik uang dalam pilkada merupakan desain kerangka hukum baru dalam pemilu. Baik UU No. 8/2012 tentang Pileg, UU No. 42/2008 tentang Pilpres maupun UU No. 1/2015 tentang pilkada tak mengaturnya. Kerangka desain hukum baru muncul saat perubahan pertama atas UU No. 1/2015 melalui UU No. 8/2015 tentang pilkada. Norma itu sudah muncul, tapi tak diikuti dengan perintah ditindaklanjuti dengan peraturan pelaksana. Akibatnya, pada pilkada 2015 isu politik uang mengemuka, tapi sulit ditindaklanjuti.
Barulah pada pembahasan perubahan kedua atas UU No. 1/2015 muncul kembali menghidupkan Pasal 73 di UU No. 8/2015. Meskipun tak ada norma baru di perubahan kedua melalui UU No. 10/2016, tapi ada komitmen baru dari para pembuat undang-undang untuk menurunkan di peraturan pelaksana, yaitu di Peraturan Bawaslu (Perbawaslu).
Penulis tak akan mengupas lebih lanjut proses penangganannya. Karena ini berada di wilayah badan pengawas, sementara KPU sifatnya hanya menjalankan saja hasil dari proses penangganan di badan pengawas. Saat ini sedang dilakukan proses pembahasan melalui rapat dengar pendapat (RDP) di Komisi II DPR dengan Bawaslu RI, terutama terkait proses penangganannya oleh Bawalu dan jajarannya.
Yang nantinya dituangkan dalam Peraturan Bawaslu (Perbawaslu) pelanggaran politk uang. Memang penegakan pelanggaran terhadap politik uang dapat berakibat sampai kepada pembatalan pasangan calon.
Demikian sekilas tentang sistem keadilan pilkada. Sebagai suatu mekanisme pemilihan umum, pilkada menggunakan prinsip-prinsip penyelenggaraan pemilihan umum pada umumnya. Logis, jika sistem keadilan pilkada juga menjadi salah satu indikator untuk melihat demokratis tidaknya suatu pemilihan di Indonesia, selain dari Pilpres dan Pileg.***