Jangan Rusak Generasi Muda Nusantara
SATU tahun berlalu, tepatnya tanggal 26 Juni 2015 menjadi hari bersejarah bagi kaum homoseks/lesbian untuk bebas melangsungkan pernikahannya di 50 negara bagian melalui keputusan Mahkamah Agung (MA) Amerika Serikat.
Keputusan tersebut merupakan kemenangan bagi aktivis kaum gay (homoseks) yang selama ini mengampanyekan legalisasi pernikahan kaum lesbian, gay, biseksual, transgender (LGBT) seakan-akan bebas untuk menunjukkan identitas mereka dengan penyimpangan seksual yang mereka miliki, bahkan didukung oleh Liberalisme.
Tentu apa yang diputuskan MA Amerika Serikat ini mengundang pro dan kontra. Masyarakat yang tergabung dalam aktifis HAM dan kaum LGBT menyambut suka ria. Namun tak sedikit masyarakat yang mencela keputusan yang sangat konyol tersebut. Khususnya Negara-negara yang masih memegang teguh moral dan etika menolak tegas keputusan tersebut.
Hingga saat ini masih terjadi pergolakan di negara-negara Barat, terutama kelompok konservatif yang memegang teguh nilai-nilai keluarga dan teologis yang secara gigih menentang praktek penyimpangan seksual tersebut. Lihat saja sikap pemimpin Gereja Katolik Perancis, Kardinal Phillipe Barbarin yang menyebut bahwa legalisasi atas pernikahan sejenis akan meruntuhkan tatanan hidup masyarakat.
Untuk Indonesia, sebagai Negara Pancasila jelas tidak sependapat dengan hasil putusan MA Amerika Serikat. LGBT adalah isu yang sangat sensitive. Dalam sila pertama Pancasila, menyatakan bahwa bangsa Indonesia mengakui Ketuhanan yang Maha Esa. Penjabarannya dalam pasal 29 UUD 1945 dimana Negara menjamin agar setiap warga Negara untuk melaksanakan ajaran agamanya. Ada 6 agama di Indonesia dan kesemuanya tidak setuju pernikahan sesama jenis.
Jelas apa yang diputuskan oleh pemerintah adidaya AS, sangat mengebiri budaya dan dan melanggar etika dan kodrat manusia. Apalagi manusia diciptakan sebagai laki-laki dan perempuan memiliki kodrat menikah untuk menghasilkan keturunan. Dimana hal itu tidak dapat dilakukan dalam perkawinan sesama jenis.
Isu LGBT telah mendulang perdebatan. Ada tiga kubu yang bermain. Pertama, kelompok pendukung. Kelompok ini berlindung pada HAM dan bertameng argumentasi saintifik yang menyebutkan bahwa orientasi seksual sejenis juga sama normalnya dengan orientasi heteroseksual.
Kelompok kedua sebaliknya, penentang. Kelompok ini menggunakan argumen agama bahwa tidak ada satu agama pun yang merestui hubungan seks sejenis. Isu Aids dikemukakan, bahwa mayoritas kasus Aids berasal dari hubungan seks sejenis. Oleh sebab itu, menurut kelompok kedua ini, LGBT harus diberantas.
Kelompok ketiga berada di tengah. Kelompok ini tidak menerima teori yang menormalkan LGBT. Akan tetapi, mereka masih menerima LGBT sebagai realitas. Kelompok ini tidak keras seperti kelompok kedua yang menuntut pengusiran. Kelompok ketiga meyakini, ada cara untuk mengatasi ini, seperti terapi.
Perdebatan yang terjadi tidak mempengaruhi ‘euphoria’ yang dirasakan kaum LGBT. Kegembiraan kaum LGBT ditunjukkan dengan tak henti-hentinya menampakkan aktivitas di ruang publik. Setelah sebelumnya, foto-foto aktivitas “pernikahan sejenis” di Bali. Menembusnya LGBT bahkan sampai ke kampus religi, hingga dukungan yang muncul dari penguasa. Kini, LGBT semakin deras dalam mengokohkan eksitensinya, ke level usia bawah.
Lahirnya twitter komunitas mereka yang beranggotakan remaja, menandakan pelaku LGBT bukan lagi milik orang dewasa. Apalagi bentuk penyebaran melalui sosial media begitu cepat merebak di segala lapisan.
Kini, generasi muda, terutama anak-anak akan semakin terancam dengan keberadaan ide LGBT. Sudah jelas disini, target yang diincar adalah anak-anak sebagai penerus bangsa. Jika generasi penerus telah rusak, maka sudah bisa dibayangkan apa yang akan terjadi pada negeri ini. Mari selamatkan generasi muda Indonesia untuk tidak menjadi LGBT.
Marilah kita membangun bangsa ini dalam kebersamaan tanpa harus saling menyakiti satu sama lainnya. Perlu ditekankan bahwa persoalan LGBT adalah persoalan kita semua. ***