KontraS Nilai Rekonstruksi tak Transparan
PEKANBARU (RIAUMANDIRI.co) - Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau KontraS, Haris Azhar, menyayangkan proses rekonstruksi yang dilakukan penyidik Polda Riau, terkait rusuh di Kabupaten Meranti beberapa waktu lalu.
Salah satunya adalah karena proses rekonstruksi yang digelar di Riau Safety Riding Centre Direktorat Lalu Lintas Polda Riau di Rumbai, Rabu (28/9) lalu.
Pihaknya menilai, seharusnya rekonstruksi digelar di lokasi perkara, yakni di Kabupaten Kepulauan Meranti. Karena itu pihaknya menilai rekonstruksi itu tak transparan.
Seperti dirilis sebelumnya, dalam rekonstruksi itu KontraS penyidik Polda Riau ingin mengungkap penyebab tewasnya Apri Adi Pratama, yang juga tersangka pembunuhan Brigadir Adil S Tambunan.
"Saya menyampaikan, kita keberatan. Saya kebetulan mengobrol dengan masyarakat, mereka keberatan rekonstruksi dilakukan di kantor Polda (Riau)," ungkap Koordinator KontraS, Haris Azhar, usai bertemu dengan Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Riau, Kombes Pol Surawan, Jumat (30/9) di Mapolda Riau.
Tudingan tersebut bukan tanpa alasan. Menurut Haris, banyak saksi yang tidak dilibatkan saat rekonstruksi digelar. "Menurut saya itu terlalu subjektif, sepihak, dan tidak transparan terhadap masyarakat. Dalam hukum acara, rekonstruksi itu alat menguji apakah peristiwa itu diselidiki dan disidik secara baik," terangnya.
Selain itu, Haris juga mempertanyakan uang duka yang diberikan pihak Kepolisian kepada keluarga korban sebesar Rp25 juta. Menurutnya, uang ini harus jelas sumbernya, dan dikhawatirkan menjadi pola-pola pendekatan subjektif yang memengaruhi keluarga korban.
"Saya mempertanyakan uang yang diberikan kepada keluarga korban Rp25 juta. Itu uang darimana, menurutnya itu dari pribadi Kapolda (Riau). Ini pendekatan subjektif yang bisa memengaruhi objektivitas atau tuntutan keluarga korban," lanjut pengungkap testimoni Fredy Budiman tersebut.
Pola seperti ini, sebutnya, akan berdampak pada trauma keluarga dan masyarakat Meranti. Dikatakannya, hal ini lah yang menjadi awal dari proses yang tidak transparan.
Lebih lanjut, Haris Azhar juga mempertanyakan proses hukum yang hanya dilakukan terhadap empat oknum polisi di Meranti yang telah ditetapkan sebagai tersangka. Seharusnya, kata Haris, terdapat puluhan oknum polisi yang diduga terlibat dalam perkara yang menjadi pemicu kerusuhan di kabupaten termuda di Riau beberapa waktu lalu.
"Kita juga Pertanyakan kenapa hanya 4 orang yang diproses. Mungkin menurut kita bisa 30-an orang," katanya.
Menanggapi hal ini, Dir Reskrimum Polda Riau, Kombes Pol Surawan, menyatakan sejauh ini proses hukum masih berlangsung. Tersangka bisa saja bertambah, semua tergantung pada keterangan, dan fakta-fakta.
"Apabila ada keterangan atau fakta baru terhadap anggota yang bisa dijadikan tersangka, dan pasti kita akan proses. Kita tidak menutup-nutupi," tegas Surawan.
Dalam kesempatan tersebut, Surawan juga mempersilahkan apabila ada masyarakat yang ingin memberikan kesaksian dalam proses penyidikan. Penyidik, kata Surawan, akan terbuka terhadap seluruh keterangan dan informasi yang diterima.
"Silakan saja apabila ada warga masyarakat yang ingin memberikan kesaksian. Kita sangat terbuka," sebut Surawan.
Terkait proses rekonstruksi yang dilakukan di luar lokasi kejadian, Surawan beralasan kalau Penyidik tidak ingin ada yang mengintervensi, dan ada yang menggangu proses tersebut. Situasi psikologis masyarakat di Meranti masih terpengaruh akan persoalan ini.
"Kita menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Menjaga situasi psikologis masyarakat di sana, dimana kejadian tersebut masih segar dalam ingatan warga," terangnya.
Sementara itu, empat orang oknum polisi menjadi tersangka dalam kasus ini. Keempatnya, DY, AS, EMS, dan DSH. Keempatnya menjadi tersangka dalam dugaan pengeroyokan yang menyebabkan seorang tersangka tewas, dan dijerat dengan 170 ayat (2) ke-3 Jo Pasal 351 ayat (3) KUHP, dengan ancaman pidana selama 12 tahun penjara. (dod)