Kinerja Gubri Dinilai tak Maksimal
PEKANBARU (HR)-Masih rendahnya serapan anggaran pada 10 Satuan Kerja Perangkat Daerah di lingkungan Pemprov Riau, masih terus mendapat sorotan dari sejumlah pihak.
Seperti dituturkan Presiden BEM Universitas Riau, Abdul Khair, Rabu (14/9), kondisi itu menunjukkan bahwa kinerja Pemprov Riau tidak maksimal. Tidak saja untuk 10 SKPD tersebut, hal itu juga terkait dengan Gubernur Riau.
Dikatakan Khair, saat ini serapan anggaran di 10 SKPD tersebut masih di bawah 33 persen. Sementara untuk tahun ini, hanya tersisa lebih kurang tiga bulan lagi.
"Jika dilihat dari serapan anggaran, kinerja Gubri dan 10 SKPD tersebut sangat tidak maksimal," ujarnya.
Kinerja Untuk itu, perlu tindakan dan langkah tegas dari Gubri. Jika perlu, Gubri perlu mengambil tindakan dan langkah tegas. SKPD tersebut yang dinilai tidak mampu menjalankan tugasnya, harus dievaluasi.
Tanggung Jawab Gubernur Sementara itu, Wakil Ketua DPRD Riau Noviwaldy Jusman, menilai, apa yang terjadi di 10 SKPD tersebut, juga merupakan tanggung jawab Gubernur Riau selaku atasan. Karena itu ia menyarankan, bila kepala 10 SKPD itu dinilai tak mampu, sebaiknya diganti saja.
"Kalau kepala SKPD tidak mampu bekerja, ganti saja, apa pun persoalannya, yang namanya kepala SKPD, tanggung jawab berada pada gubernur. Sebab pembangunan yang dinanti-nanti masyarakat ada di pundak mereka, kalau mereka tidak mampu, dari pada masyarakat kecewa dan dirugikan, silahkan mengundurkan diri," tegas Dedet.
Secara resmi, pihaknya belum menerima laporan resmi terkait 10 SKPD rapor merah tersebut. Pasalnya, Pemprov Riau belum menyerahkan laporan per semesternya. Dengan demikian bila pemerintah provinsi belum juga menyerahkan laporan yang dimaksud, Dewan menganggap seluruh SKPD di Pemprov Riau mendapat rapor merah.
"Kalau belum diserahkan, bagaimana Dewan bisa mengetahui SKPD mana saja yang mendapat rapor merah, artinya, kalau tidak juga diserahkan, berarti seluruh SKPD di Pemprov dapat rapor merah," tambahnya.
Noviwaldi juga menyesalkan persoalan itu terjadi, pasalnya, menurut laporan yang diterima, SKPD yang mendapat rapor merah justru pada anggaran yang besar dan ditungu-tunggu masyarakat. Karena itu, dia sangat menyetujui kalau memang kepala SKPD tidak mampu, dalam kloter berikutnya akan menjadi evaluasi.
"Saya sarankan gubernur untuk mengganti, jangan ragu-ragu meski prosedur tidak gampang, tapi silahan diusulkan dan sampaikan kepada Komisi Aparatur Sipil Negara, bahwa mereka- mereka tidak sanggup duduk menjabat di esselon II. Saya bicara dengan data, kalau berdasarkan data, serapan anggaran, kinerja, tidak bagus, orangnya harus diganti karena sama saja ingin menggulingkan dirinya sendiri. Kalau dipertahankan, bisa membuat malu karena Riau selalu Silpa. Malu kami dengan kawan-kawan dari daerah lain," tambahnya.
Disinggung terkait 10 Satuan Kerja yang mendapat rapor merah dari gubernur, karena rendahnya serapan anggaran, Usman menyebut, apapun alasan itu karena gubernur kurang selektif menentukan orang- orang di dalam SKPD. Karena setiap kepala SKPD yang ditunjuk melalui mekanisme asesmnet tidak dilakukan dengan transparan, akuntabel dan partisipatif, dalam artian tak ada uji kepentingan publik.
" Saya kira ketika Gubernur ingin menempatkan orang- orang terdekat disatu SKPD tentu ada kaitannya dengan istilah " cari duit". Terkait SKPD yang banyak sakit hati karena terlalu banyak tekanan dari keluarga gubernur sendiri, juga menjadi perhatian publik. Karena ketika dia menjabat sebagai gubernur defenitif, tentu mandat itu akan digunakan sebaik mungkin oleh para keluarganya untuk kepentingan tertentu. Nah ketika SKPD sudah bisa dimobilisasi dengan cara- cara yang sistematis, tentu sangat mudah seorang gubernur dijadikan lahan bajakan bagi keluarganya," kata Usman.
Terpisah, Koordinator Forum Indonesia untuk Transparansi (Fitra) Riau, Usman, menilai, kondisi yang terjadi pada 10 SKPD itu memiliki maka negatif dan positif.
Dikatakan negatif, karena mereka yang menjabat kepala SKPD tersebut adalah orang-orang pilihan Gubernur. Sehingga kondisi itu bisa dinilai sebagai akibat lemahnya kebijakan yang dikeluarkan kepala daerah. Namun hal itu juga mengandung sisi positif. Karena dengan temuan itu, gubernur bisa dengan tegas melakukan evaluasi.
Usman juga tak menampik, tentang kemungkinan adanya intervensi dari pihak-pihak tertentu, yang dekat dengan kekuasaan. Khususnya terkait pelaksanaan proyek, sehingga kinerja di SKPD tersebut tidak bisa berjalan efektif.
Ia juga tak menampik tentang beredarnya rumor yang menyebutkan adanya pihak dari keluarga gubernur yang bertindak sebagai pembagi-bagi proyek.
Karena itu, pihaknya merekomendasikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera turun ke Riau. Sehingga aksi-aksi tersebut bisa ditekan lebih maksimal lagi.
Menurutnya, KPK jangan hanya menempatkan orang-orang di sini, tapi tanpa ada tindakan. Bila hal ini tidak dilaksanakan, dikhawatirkan Gubri akan mudah diperlakukan sebagai wayang oleh orang-orang dekat dalam mengatur proyek dan mencari keuntungan. (dod, her)