Pentingnya Kebijakan Pemerataan Ekonomi Nasional
SEMUA bangsa di dunia ini tentunya mengidam-idamkan agar setiap warga negaranya hidup dalam kondisi sejahtera serta makmur. Dengan kehidupan demikian, maka negara juga akan dapat lebih mudah untuk maju. Namun yang menjadi persoalan kemudian adalah bahwa upaya mewujudkan negara maju dan makmur bukanlah perkara mudah.
Kendati berbagai kebijakan telah digulirkan dalam rangka mewujudkan hal dimaksud, namun tidaklah selalu berhasil untuk mencapai kemakmuran tersebut. Bahkan yang terjadi tidak jarang bertolak belakang dengan kondisi yang ada. Rakyat justru semakin miskin dan hidup melarat.
Harapan akan kehidupan yang lebih baik sering hanya tinggal harapan dan bahkan hanya menjadi angan-angan belaka. Sementara itu, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah sering pula tidak tepat sasaran. Ketimpangan ekonomi antar penduduk, kesenjangan antara kelas atas, kelas menengah, dan kelas bawah, adalah musuh bebuyutan bangsa ini.
Ketimpangan yang kelewat tajam rawan memicu kecemburuan sosial yang dapat berujung pada perpecahan, huru-hara, dan disintegrasi bangsa. Karena itu, pemerintah terus berupaya mengatasi ketimpangan dan berupaya melakukan pemerataan ekonomi, baik antar penduduk maupun antar wilayah.
Apalagi pemerataan dan keadilan ekonomi telah diamanatkan para founder negeri ini dan dituangkan secara gamblang dalam konstitusi serta dasar Negara kita. Pasal 33 UUD 1945 menyatakan perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Semangat yang sama ditegaskan sila Kelima Pancasila (Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia). Itu sebabnya, selain menargetkan penurunan angka kemiskinan dan pengangguran, pemerintah setiap tahun menargetkan penurunan rasio ketimpangan pengeluaran penduduk (rasio Gini).
Karena itu pula, rasio Gini menjadi salah satu barometer keberhasilan pemerintah di bidang ekonomi. Semakin rendah rasio Gini, semakin sukses pemerintah mengurangi kesenjangan. Berdasarkan data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), rasio Gini pada Maret 2016 sebesar 0,397, turun dibandingkan dengan Maret 2015 dan September 2015 masing-masing 0,408 dan 0,402.
Dengan kata lain, rasio ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia kian mendekati target rasio Gini yang dipatok dalam APBN-P 2016 sebesar 0,390. Membaiknya rasio Gini antara lain ditopang kenaikan upah buruh harian dan buruh bangunan, peningkatan jumlah pekerja bebas pertanian, serta peningkatan rata-rata pengeluaran per kapita per bulan kelompok penduduk terbawah.
Faktor lainnya adalah penguatan ekonomi kelas menengah-bawah karena pembangunan infrastruktur pemerintah yang menyerap banyak tenaga kerja serta pengembangan usaha sektor manufaktur, jasa, dan pariwisata sebagai dampak paket ekonomi yang telah diterbitkan pemerintah. Tapi membaiknya rasio Gini pada Maret 2016 tak serta-merta menunjukkan berkurangnya ketimpangan pengeluaran antarpenduduk secara masif.
Sebab, jika diukur berdasarkan distribusi pengeluaran, perbaikan tingkat ketimpangan terjadi akibat anjloknya pengeluaran masyarakat kelas atas. Penyebabnya jelas, dunia usaha sedang lesu akibat lemahnya permintaan komoditas sejalan dengan perlambatan ekonomi.
Sisi Positif Di luar itu, membaiknya tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia pada Maret 2016 tetap saja menyimpan sisi positif karena ternyata pengeluaran kelompok menengah naik seiring meningkatnya kegiatan ekonomi kreatif seperti usaha kecil dan menengah (UKM).
Cuma, kabar buruknya, pengeluaran kelompok bawah berdasarkan distribusi sedikit menurun. Dapat disimpulkan bahwa penurunan rasio Gini pada Maret silam terjadi bukan sepenuhnya karena keberhasilan pemerintah mengurangi ketimpangan pengeluaran antarpenduduk.
Penurunan itu lebih banyak disebabkan belum pulihnya kondisi perekonomian, di mana masyarakat kelas atas terpukul, kelas menengah tetap eksis, dan kelas bawah sedikit tertekan. Perbaikan tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk baru benar-benar mencerminkan penurunan kesenjangan dan pemerataan jika ekonomi kelas menengah dan kelas bawah tumbuh lebih cepat ketimbang kelas atas sehingga jarak antarkelas masyarakat terus menyempit.
Itu artinya, semua kelas mengalami pertumbuhan, dengan akselerasi paling tinggi terjadi di kelas bawah dan menengah. Dengan demikian pula, tak seharusnya kita terlampau bersuka cita atas perbaikan rasio Gini saat ini.
Bukankah masyarakat miskin ada di kelas bawah? Jika pengeluaran kelompok bawah menurun, berarti ada kemungkinan angka kemiskinan dan pengangguran naik atau setidak-tidaknya bertahan. Jangan lupa, jumlah penduduk miskin dan penganggur di negeri ini masih berlimpah.
Pada Maret 2016, penduduk miskin berjumlah 28,01 juta orang (10,86%), sedangkan jumlah penganggur pada Februari 2016 mencapai 7,02 juta orang dengan tingkat pengangguran terbuka 5,5%. Tahun ini, pemerintah menargetkan angka kemiskinan 9-10% dan pengangguran 5,2-5,5%. Rasa-rasanya, jika ke depan distribusi pengeluaran trennya masih seperti sekarang, target pengurangan angka kemiskinan dan pengangguran sulit dicapai.
Padahal, kita sudah cukup berlega hati karena jumlah penduduk miskin berkurang 500 ribu orang pada Maret 2016 dibandingkan September 2015. Begitu pula jumlah penganggur, turun 430 ribu orang pada Februari 2016 dari Agustus 2015. Agar jumlah penduduk miskin dan penganggur tidak bertambah, bahkan turun, pemerintah bisa menempuh sejumlah langkah. Paling utama, inflasi harus dijaga tetap rendah dengan cara mengendalikan harga pangan.
Harga pangan berkontribusi 50% terhadap laju inflasi dan 73,5% terhadap garis kemiskinan. Gagal menstabilkan harga pangan berarti gagal mengendalikan inflasi. Inflasi tinggi menggerus daya beli masyarakat. Penduduk hampir miskin akan jatuh miskin, penduduk yang sudah miskin bakal semakin miskin.
Pemerintah juga harus memperbaiki kualitas penyerapan belanja modal untuk infrastruktur. Dengan membangun infrastruktur, pemerintah bukan saja menciptakan ekonomi yang semakin efisien, tapi juga menyerap banyak tenaga kerja. Langkah lainnya adalah menggalakkan program padat karya, terutama di perdesaan, serta memperbanyak insentif kepada dunia usaha agar mereka tetap survive dan tidak mem-PHK karyawan.
Dalam jangka menengah-panjang, pemerintah perlu melakukan reformasi struktural dengan memperkuat industri manufaktur bernilai tambah tinggi dan menggenjot investasi demi memperluas lapangan kerja.
Semua langkah-langkah dimaksud dapat dipandang sebagai cara pemerintah dalam rangka mewujudkan pemerataan ekonomi nasional. Dengan adanya kebijakan demikian, kita yakin bahwa pemerataan ekonomi akan dapat lebih mudah diwujudkan. Rakyat miskin akan terangkat hidupnya menuju kehidupan yang lebih baik. Dengan demikian tingkat kesenjangan antara penduduk kaya dan miskin secara ekonomi akan dapat berkurang secara perlahan. Itu artinya, upaya perwujudan masyarakat Indonesia yang makmur dan sejahtera akan lebih mendekati realita.***