Merancang Arsitektur Penanggulangan Karhutla
(RIAUMANDIRI.co)- Asap kini telah kembali menyelimuti sebagian wilayah di Indonesia. Titik api pun sudah mulai kembali bermunculan. Dan sebagian besar berada di wilayah konsensi beberapa korporasi.
Permasalahannya sederhana, yaitu disaat musim kemarau datang, membakar lahan menjadi alternatif paling menguntungkan untuk membuka lahan. Peluang itulah yang dimanfaatkan oleh korporasi, mereka sengaja membakar lahan, namun di atur sedemikian rupa bahwa kebakaran yang terjadi murni bencana alam.
Jika ditarik dari sudut pandang yang lebih luas, kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) merupakan gejala dari belum komprehensifnya pengaturan tentang penanggulangan Karhutla. Dari segi upaya pemberantasan, semangat yang dibangun penegak hukum terlihat ambigu karena belum adanya niat yang serius untuk menegakkan keadilan. Hal ini disebabkan oleh aturan yang lemah terhadap pelaku pembakar hutan dan lahan, serta minimnya pengawasan terhadap penegak hukum.
Putusan Kontroversial Disamping itu, terdapat beberapa putusan kontroversial yang semakin menggambarkan bahwa penegakan hukum terhadap Karhutla masih sebatas usapan jempol belaka. Pertama, Keputusan Polda Riau memberhentikan penyidikan terhadap 15 perusahaan yang diduga membakar hutan dan lahan pada 2015.Keputusan itu menggambarkan kurangnya keseriusan pemerintah dalam upaya untuk menegakan hukum kasus karhutla.
Karhutla sepanjang 2015, menghanguskan 2,61 Hektare (Ha) hutan dan lahan dengan dana penanggulangan mencapai 720 Milyar, ratusan ribu orang menderita infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) dengan rincian per provinsi; Jambi 150 ribu jiwa, Sumatera Selatan 115 ribu jiwa, Riau 14.566 jiwa, Kalimantan Selatan 40 ribu jiwa, 24 jiwa meninggal, 60 juta jiwa terpapar asap, dan kerugian finansial diperkirakan mencapai 221 Triliun. (Sumber: Republika/antara/bnpb).
Karhutla yang terjadi tahun lalu juga menimbulkan konflik dengan beberapa negara tetangga. Asap dari kebakaran hutan hebat kala itu sempat membuat gelap Singapura, Thailand dan Malaysia. Bahkan malaysia sempat menutup 7.000 sekolah di Sabah akibat asap kiriman dari Pulau Sumatera dan Kalimantan.
Kedua, Pengadilan Tinggi Palembang akhirnya mengabulkan materi banding Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) atas putusan Pengadilan Negeri Palembang yang memenangkan PT Bumi Mekar Hijau (BMH) terkait perkara kebakaran hutan dan lahan seluas 20.000 Ha di Kabupaten Ogan komering Ilir pada 2014 lalu.
Namun, putusan itu hanya mengabulkan1 persen dari total ganti rugi yang dituntut. Dalam pokok perkara ini, tergugat hanya dituntut menganti ganti rugi sebesar 78,5 Milyar, sementara tuntutan KLHK sebesar 7,8 Triliun.
Tentu putusan ini menggambarkan bahwa penegakan hukum terhadap kasus karhutla masih setengah hati. Nilai ini tidak dapat mencukupi untuk memulihkan hutan dan gambut yang mengalami kerusakan akibat kebakaran didalam Konsesi Perusahaan, yang luasan izinnya mencapai 250.000 Hektar atau 5 kali luas kota Palembang. Putusan ini secara garis besar belum cukup untuk memberikan efek jera kepada PT. BMH, karena selama 5 tahun terakhir didalam konsesinya selalu ditemukan kebakaran. (Walhi Sumsel)
Dinamika Penanggulangan Bila kita berbicara mengenai Karhutla, sejatinya tidak dapat dilepaskan dari adanya peran serta Korporasi. Sebab sebagian besar Karhutla berada diwilayah izin perusahaan-perusahaan yang berbasis didaerah tersebut.
Namun, bila belajar dari pengalaman terhadap penegakan Hukum pidana karhutlah tahun 2015 yang ditangani Kepolisian sumsel, Aparat penegak hukum hanya bernyali mempidana Rakyat/Petani dan masyarakat adat namun takluk berhadapan perusahaan. Maka harus ada tindakan lainnya dari Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), yaitu melakukan langkah hukum lainnya sesuai Undang Undang 32 Tahun 2009 berupa pemberian sanksi Administrasi terhadap Korporasi yang melakukan pembakaran, yaitu pencabutan izin.
Kegagalan dalam mencegah terjadinya karhutla setiap tahunnya merupakan akibat dari belum konprehensifnya hukum dalam menjerat pelaku. Hukum masih sekedar menjadi aksesoris indah namun tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Hukum masih belum mampu menyentuh akar persoalan dari kasus karhutla setiap tahunnya.
Hal ini menjadi bukti bahwa, arsitektur penanggulangan karhutla belum tertata secara komprehensif. Perlu rasanya kita merancang kembali arsitektur penanggulangan karhutla yang lebih baik. Dibutuhkan terobosan lebih dari sekedar konsep aturan yang tertumpu kepada upaya penanggulangan.
Pertama, negara harus merumuskan aturan yang tegas terhadap pelauku pembakar hutan dan lahan. Aturan tersebut bukan aturan yang hanya mampu menjerat masyarakat, namun juga korporasi. Yang harus ditekankan dalam aturan tersebut adalah menuntut korporasi bertanggung jawab terhadap segala bentuk kerugian yang ditimbulkan akibat kebakaran yang terjadi diwilayah konsensinya.
Kedua, meningkatkan pengawasan terhadap aparat penegak hukum. Hal ini dirasa perlu dilakukan, sebab sejauh ini aparat penegak hukum seolah tidak berkerja maksimal. Sebab, Aparat penegak hukum hanya bernyali mempidana Rakyat/Petani dan masyarakat adat namun takluk berhadapan perusahaan.
Ketiga,meningkatkan pengawasan kawasan hutan oleh polisi hutan. hal ini bertujuan agar adanya pengawasan berkala yang dilakukan oleh polisi hutan terhadap daerah rawan kebakaran. Dengan begitu pula, aparat penegak hukum dapat dengan segera menangkap setiap pelaku pembakaran atau yang sedang berusaha untuk membakar hutan.
Mengingat karhutla itu tidak hanya berdampak terhadap kehidupan sekelompok orang belaka, namun talah mengesampingkan kesepakatan bersama (Social Contract) yang berdasarkan pada keadilan yang dicita-citakan dalam membentuk negara. Maka sudah sepatutnya kasus karhutla digolongkan kepada jenis kejahatan luar biasa (Extraorginary crime). Karhutla merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) karena telah membahayakan jutaan orang, seperti gangguan kesehatan, gangguan bekerja, serta mengancam keselamatan transportasi masal. Hukuman berat seperti hukuman mati atau pidana penjara seumur hidup dirasa perlu untuk pelaku. Kemudian terkusus bagi korporasi perlu ditambahkan, hukuman tersebut harus dapat dijatuhkan kepada pimpinan tertinggi atau kepada onum terkain berdasarkan struktur kepengurusan, kemudian korporasi juga harus mengganti segala bentuk kerugian yang ditimbulkan. Dengan demikian, individu dan korporasi diharapkan lebih takut untuk melakukan pembakaran hutan dan lahan.***
Penulis adalah Aktivis UKM Pengenalan Hukum dan Politik Universitas Andalas