Cita-cita liliyana kecil tak biasa
Jakarta (riaumandiri.co) - Liliyana Natsir menceritakan bahwa sudah dari sejak kecil ia memiliki cita-cita yang tak biasa. Bahkan atlet bulu tangkis Indonesia yang baru saja pulang memenangkan medali emas dari ajang olimpiade Rio de Janeiro, Brazil itu mengaku sudah berniat menjadi tulang punggung bagi keluarga.
Bagi orang tua, memang tidak mudah menerima keinginan sang anak yang tidak ingin sekolah lagi. Hal itu seperti diungkapkan oleh orang tua Liliyana, saat menceritakan semasa putrinya baru tamat dari Sekolah Dasar (SD).
Ada suatu kejutan ketika sang ayah, Beno Natsir, bertanya kepada Liliyana untuk memilih sekolah atau pilih bulutangkis.
Jawabannya cukup mengagetkan. Di balik selembar tisu, Butet --sapaan akrab Liliyana-- justru menuliskan hal yang tidak biasa untuk anak dengan usia awal belasan tahun. Dia menulis: Saya ingin menjadi tulang punggung keluarga.
"Saya sempat agak lupa-lupa ingat. Mungkin saya dari kecil saya ketu (kecil tua) makanya bisa berpikir itu. Saya punya rasa optimis bahwa bisa membanggakan orang tua. Suatu kebanggaan itu tidak bisa didapat kalau bukan dari prestasi olahraga. kebetulan saya berprestasi di olahraga," cerita Butet.
Butet boleh dibilang lahir di keluarga pecinta bulutangkis. Dia sudah dimasukkan ke sebuah klub di Manado, Sulawesi Utara, sejak kelas tiga SD. Sedikit hiperbolis, Butet bahkan sudah diperkenalkan pada olahraga tepok bulu oleh ibunya, Olly Maramis, sejak dalam kandungan.
"Mama itu memang suka banget sama bulutangkis. Sejak kecil saya sudah dikenalkan oleh orang tua saya pada olahraga tersebut. Tak sekadar dikenalkan, saya juga didukung penuh, papa sama mama yang suka mengantarkan ke tempat latihan, sampai ikut jadi pelatih pribadi, hingga menyiapkan segala kebutuhan untuk bertanding," ungkapnya.
"Kalau tidak didukung mungkin saja saya tidak bisa seperti ini. Tapi orang tua saya mendukung penuh saya," ujar dia lagi.
Dukungan penuh itu pun membuahkan hasil. Butet berhasil menjuarai beberapa kejuaraan dan turnamen di Manado. Prestasi itulah yang akhirnya mengantarkan dia ke pelatnas Cipayung.
Selama di Cipayung, Butet juga sempat mengalami masa surut. Saat itu dia masih turun di nomor ganda putri karena dinilai permainannya tidak berkembang. Dia lantas ditampung oleh Richard Mainaky, pelatih ganda campuran yang dikenal mempunyai tangan dingin ini.
Saat itu, Richard melihat ada potensi besar di diri perempuan asal Manado tersebut. Dia pun disandingkan Nova Widianto untuk main di sektor ganda campuran pada tahun 2004. Pada tahun pertama dipasangkan, Nova/Butet bisa menjadi juara dunia 2005 di ajang yang berlangsung di California, Amerika Serikat.
Bersama Nova, Butet berpasangan hingga 2010. Contoh gelar lain yang diraih pasangan ini ada medali perak di Olimpiade Beijing 2008. Keduanya akhirnya harus pisah jalan usai Nova pensiun.
Sebelum berpasangan dengan Tontowi, Richard sempat memasangkan Butet dengan beberapa pemain putra Devin Lahardi dan Muhammad Rizal. Namun, Richard menilai Tontowi punya sorot mata juara. Karenanya, pemain asal Banyumas itu lebih dipilih menjadi pasangan untuk Butet.
Keputusan Richard itu terbukti tepat, sejauh ini Owi/Butet sudah mengoleksi 12 gelar juara Superseries, sekali menjadi juara dunia, sekali menjuarai kejuaraan Asia, satu emas di ajang SEA Games 2011, dan puncaknya emas Olimpiade di tahun ini.
Meski banyak sudah meraih banyak gelar, Owi/Butet juga sempat mengalami masa pasang surut. Selama beberapa turnamen grafik perfoma mereka menurun, termasuk di beberapa turnamen Superseries menjelang Olimpiade. Di tahun ini, mereka cuma sekali juara, saat berlaga di Malaysia Open Superseries. Oleh karena itu, pantas kalau ada keraguan mereka bakal mampu meraih medali emas.
Owi/Butet bisa menjawab keraguan itu dengan penampilan oke. Mereka meraih emas dengan penampilan mantap. Enam kali bertanding dengan rekor selalu menang dalam dua gim.
"Ya, jujurlah dari wartawan juga pasti sempat ragu dengan saya dan Owi. Indonesia Open saja seperti itu," kata Liliyana.
"Tapi semua perjuangan keras kami terbayarkan, tidak bisa tidur, tegangnya juga akhirnya bisa kami bayar di Olimpiade ini," kata dia lagi.
Kerja keras keduanya pun mendapatkan apresiasi yang tinggi setibanya di tanah air. Selama dua hari pasangan ganda campuran ini diarak menggunakan bus beratap terbuka. Tak hanya diarak, bonus dengan jumlah miliaran dari pemerintah hingga hadiah penerbangan gratis seumur hidup menjadi ganjaran untuk keduanya.
"Ya pokoknya salut dengan pemerintah. Terobosan-terobosan pemerintah itu sama empat tahun lalu memang secara kurs lain cuma tetap saja nilainya (besar)," kata Liliyana.
"Lalu Jaminan Hari Tuanya yang baru terealisasi kemarin. Saya kemarin kan ikut dapat karena mendapat medali perak. Itu jujur menjadi motivasi kita juga buat kami lebih berprestasi Tapi bukan berarti kami matrealistis, tahu sendiri kami sebagai atlet sudah mengorbankan pendidikan, kalaupun ada yang lulus SMA pasti tidak percaya dirilah mau bekerja. Tapi dengan begini akan jadi motivasi buat pemain atau orang tua lainnya juga," kata Liliyana, menyoal bonus dan JHT dari pemerintah.
"Gila siapa yang mau ngasih uang 15 juta per bulan. Belum kalau kitanya kerja. Ibaratnya makan tidak usah takut, sekolah anak. Jadi ada satu motivasi lebih," ujar dia lagi.
JHT dari pemerintah itu juga yang menjadi senjata Liliyana untuk bisa membakar semangat Owi.
"Itu saya bilang pas ke Owi saat terakhir di Cipayung sebelum berangkat ke Rio. Waktu itu sudah ada statment dari Bapak Menpora juga kalau JHT itu seumur hidup dan kalau orangnya meninggal tidak bisa diwariskan. Jadi ini suatu terobosanlah," tukasnya. (dtk/ivn)*