Hotel Aryaduta Belum Serahkan Sertifikat
PEKANBARU (HR)-Ketua Komisi C DPRD Riau, Aherson mengungkapkan, pihaknya masih menunggu realisasi janji manajemen Hotel Aryaduta Pekanbaru. Hingga kini, pihak hotel belum kunjung memenuhi janji mereka menyerahkan sertifikat Hak Guna Bangunan hotel tersebut, seperti dijanjikan dalam hearing dengan Dewan, belum lama ini.
Permintaan untuk menyerahkan sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) tersebut dilontarkan Dewan, guna menanggapi rumor yang beredar, yang menyebutkan sertifikat HGB tersebut sudah digadaikan ke pihak lain. Dewan ingin memastikan benar atau tidaknya rumor tersebut.
"Kita ingin pastikan, apakah memang benar digadaikan atau tidak. Tapi sampai sekarang belum diserahkan. Nanti akan dikomunikasikan dengan sekretariat untuk mempertanyakan kepada pihak hotel," ungkap Aherson, Senin (9/2) di Gedung DPRD Riau.
Dijelaskannya, sertifikat Hotel Aryaduta tersebut ada dua, satu merupakan Sertifikat Hak Milik (SHM) dan HGB. Untuk SHM Hotel Aryaduta, dipegang Pemprov Riau. Sedangkannya HGB-nya dipegang manajemen Aryaduta. HGB itu dipegang pihak hotel, karena diperlukan untuk mengurus Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
"Waktu hearing kita sempat tanyakan, kata mereka tidak digadai. Kita tidak tahu, makanya kita mau lihat," terang Aherson.
Perjanjian Baru
Terkait royalti yang diberikan pihak hotel untuk kas daerah, Komisi C mendesak agar segera dibuat perjanjian baru tentang pembagian keuntungan. Dalam hal ini, Dewan ingin pembagian hasil itu disesuaikan dengan jumlah pengunjung hotel. Tidak lagi sebesar Rp200 juta per tahun, seperti yang telah berjalan selama ini.
"Kita minta Pemprov Riau selesaikan SOTK baru terlebih dahulu. Setelah itu selesai baru kita adakan RUPS, kemudian baru dibicarakan masalah adendum. Adendum royalti nantinya berdasarkan jumlah pengunjung," paparnya.
Diterangkannya, untuk adendum royalti tersebut harus ada audit investigasi dari akuntan publik. "Acuannya itu yang bisa membuat kita bisa menghitung berapa PAD (Pendapatan Asli Daerah, red) yang bisa diberikan. Nanti akan kita lihat dari 2014 sampai sekarang bagaimana perkembangannya," pungkasnya.
Tak Wajar
Sementara itu, pengamat ekonomi Riau, Viator Butar-Butar menilai, royalti Hotel Aryaduta sebesar Rp200 juta per tahun, dinilai tak wajar. Hal itu, sama artinya hotel itu dikategorikan masih merugi.
"Jika pihak hotel masih membayar royalti Rp200 juta per tahun, berarti hotel masih merugi. Untuk itu, perlu dilakukan audit sehingga akan tampak yang sesungguhnya, apakah benar hotel itu merugi atau tidak," ujar Viator.
Sesuai perjanjian, jika perusahaan itu telah memiliki keuntungan, maka pihak Aryaduta harus memberikan 25 persen dari keuntungan karena itu adalah hak Pemprov Riau.
Ditambahkannya, audit keuangan dan kinerja dinilai perlu sebagai bentuk evaluasi kerja sama antara Pemprov Riau dan Aryaduta. Apalagi selama kerja sama berlangsung, belum pernah dilakukan audit atas permintaan Pemprov Riau. Apalagi pengelolaan Aryaduta sempat diserahkan ke PT Sarana Pembangunann Riau (SPR), tetapi kembali ditarik Pemprov Riau setahun lalu.
Untuk itu, evaluasi sistematik perlu dilakukan atas perjanjian Pemprov Riau dengan Aryaduta. "Karena sebelumnya Gubernur telah mengintruksikan kepada Biro Ekonomi untuk mengoordinasikan evaluasi atas Aryaduta. Namun mungkin karena masalah waktu makanya belum bisa dilakukan. Kita tetap berharap mudah-mudahan dalam waktu dekat bisa dilakukan," ujarnya. (rud, nie)