Potret Nasib Petani Karet
"Berapo ogo gotah sakilo mak?" "Masih mugha nak,limo ribu, walaupun mugha totap dijalani nak, sebab ikolah matopencaharian ughang kampuong untuk mancai makan". Petikan di atas adalah penggalan dialog penulis dengan emak di kampung.
Menanyakan prihal harga karet yang terus-menerus menjunam dan tak naik-naik. Terhitung sudah enam tahun harga karet berada alam level terendah, bahkan harga 1 kilgram karet tidak bisa untuk membeli 1 kilogram beras. Sekarang harga karet berkisar 5.000 sampai 6000 per kilogramnya. Konsekuensi harga karet ini membuat nasib petani kian tidak menentu.
Kalau selama ini musuh petani adalah “hujan”, sekarang bertukar dengan harga. Bayangkan saja, petani yang memperoleh 60 kg karet per minggu dengan harga 5.000 per kilogram hanya bisa memperoleh 300.000 ribu rupiah. Itu pun belum dipotong antara 3-6 kg, sebab para pembeli biasanya setiap 10 kg dikurangi 1 kg.
Dan lebih miris lagi kalau kebun tidak milik sendiri, penghasilan tersebut harus dibagi lagi dengan pemilik kebun. Alhasil, tidak sampai 150.000 ribu yang diterima petani untuk dibawa pulang, guna menghidupi anak dan isteri selama seminggu. Mau tidak mau tetap dijalani, sebab tak ada pilihan lain lagi.
Memotret dan merenung nasib petani karet sungguh sangat menyedihkan sekali, bahkan seakan menjadi anak tiri bangsa ini.
Pemerintah tidak terlihat antusias memperhatikan nasib petani karet. Padahal karet adalah kebun kedua terbesar setelah sawit dan berbasis rakyat. Apakah karena petani karet tidak bisa demonstrasi dan dari kalangan masyarakat bawah sehingga pemerintah kurang memperhatikannya? Entahlah, yang jelas petani karet terkesan dibiarkan dengan nasibnya sendiri. Dan rakyat terus dibiarkan dengan pertanyaan, kenapa harga karet tidak pernah naik?.
Pemerintah beralasan bahwa harga karet berkaitan dengan harga minyak dunia. Saat ini harga minyak dunia berkisar 46,9 dolar AS per barel.
Kalaulah alasannya harga minyak dunia, kenapa ketika harga minyak dunia mencecah 100 dolar AS per barel, harga karet tidak naik signifikan. Sehingga argumentasi turunnya harga minyak dunia membuat petani tidak percaya.
Kemudian pemerintah beralasan lagi, bahwa karet penggunaanya sudah tidak maksimal lagi, seperti untuk ban kenderaan. Nyatanya kenderaan kian bertambah banyak melintasi jalan raya. Selanjutnya alasan produksi yang melimpah, namun setelah dipangkas ekspornya oleh negara-negara yang tergabung dalamInternational Tripartite Rubber Council(ITRC) selama periode enam bulan, yaitu dari 1 Maret-31 Agustus 2016, harganya juga tidak merangkak naik.
Seharusnya pemerintah harus mencari solusi dalam negeri dalam upaya membantu menaikkan harga karet. Diantaranya membeli langsung karet-karet rakyat dan menggunakannya untuk berbagai kebutuhan dalam negeri. Selama ini pemerintah hanya menjadikan karet sebagai bahan baku untuk kebutuhan terbatas. Tidak ada inisiatif untuk menjadikan karet sebagai bahan baku dalam sektor-sektor industri dan pembangunan infrastruktur lainnya.
Potensi-potesi inilah yang seharusnya digali dan dilaksanakan oleh pemerintah, sehingga kebutuhan karet kian meningkat dan otomatis meningkatkan harga pasaran karet dalam negeri.
Selanjutnya memperbaiki dan mengontrol harga karet yang dibeli oleh pembeli maupun tengkulak. Selama ini harga karet memiliki selesih jauh sekali dibanding harga yang sebenarnya.Seperti harga karet dunia saat ini adalah 1,6 dolar AS per kilo, sementara harga di tingkat petani hanya Rp 5.000-6.000 per kilo. Demikian juga ketika harga karet mencecahUS$ 5,7 atau Rp57.000 per kilo, di petani hanya di hargai 15.000-20.000 ribu per kilo.
Harga-harga pembelian di petani seakan tidak ada kontrol dan ditentukan sepihak saja oleh pembeli. Ketika pembeli mengatakan harga di pabrik turun, turunlah harga karet. Namun turunnya berapa persen, petani tidak tahu, atau jangan-jangan pihak tertentu memainkan harga. Inilah yang kadang-kadang menyelubungi pikiran petani karet.
Kini, pergi selepas Subuh dengan mengayuh sepeda atau motor butut menyadap karet, hanyalah pilihan satu-satunya dalam menghidupi keluarga. Khusus pada daerah-daerah tertentu seperti di Kampar, mencari batu di sungai tidak bisa lagi, karena sudah penuh dengan Kuari. Mau mengolah hutan, hutan yang mana mau diolah, semuanya telah berubah menjadi hutan sawit. Hanya karetlah satu-satunya yang menjadi tulang punggung dan itu pun luasnya terbatas.
Padahal biaya hidup kian hari kian tinggi dan melangit. Namun, selagi batang karet itu mengeluarkan susu, selagi itu pula langkah kaki petani tidak akan mundur. Sebab, keluarnya susu getah atau karet pertanda rupiah itu masih ada, walaupun harganya tidak seberapa. Apa mau dikata, begitulah nasib petani karet.
Semoga kesabaran petani karet akan berbalas dengan harga karet yang setimpal. Dan selanjutnya bisa mengukir senyum kembali, setelah bibir itu sudah lama tidak merekah akibat harga karet yang murah. Senyum petani karet, sejatinya adalah senyum kita semua. Sebab mereka adalah anak bangsa yang tidak pernah merecoki bangsa dengan segala ulahnya.
Mereka tidak banyak berharap pada bangsa ini yang sebentar lagi merayakan kemerdekaan yang ke-71. Mereka tidak bermimpi hidup seperti pejabat yang bergelimang harta, yang hidupnya tidak terganggu dengan fluktuasi harga. Mimpi dan harapan mereka hanyalah satu, yakni harga karet naik. Sehingga mereka bisa makan dan menyekolahkan anak-anaknya. ***
*) Alumnus Pascasarjana Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM)