BW: Kami Hadir, Gugatan Jangan Diubah Lagi
JAKARTA (HR)-Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto memastikan pihaknya akan menghadiri sidang gugatan praperadilan yang diajukan calon tunggal Kapolri, Komjen Budi Gunawan, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Namun Bambang mengingatkan materi gugatan Budi jangan sampai berubah lagi, seperti yang terjadi pada pekan lalu.
Bila tak ada aral melintang, sidang tersebut kembali akan digelar hari ini (Senin, 9/2) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Seharusnya, sidang pertama digelar pada Senin pekan lalu.
Namun ketika itu pihak KPK tidak hadir sehingga hakim tunggal Sarpin Rizaldi, menunda persidangan hingga hari ini.
Seperti diketahui, ketidakhadiran pihak KPK pada sidang pertama, karena adanya perubahan materi gugatan yang diajukan kubu Komjen Budi Gunawan. Sayangnya, perubahan gugatan baru diketahui pihak KPK beberapa saat sebelum sidang digelar. Karena tak sempat mempelajati materi, pihak KPK selaku tergugat akhirnya tak hadir pada sidang pertama.
Sidang praperadilan ini memiliki arti penting bagi Presiden Joko Widodo. Sebab, hasil sidang akan menjadi salah satu pijakan presiden dalam menentukan nasib Komjen Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri.
"Soal praperadilan, KPK memastikan akan hadir besok. Kami terus terang telah mempersiapkan dengan baik permohonan itu, jawaban kita. Mudah-mudahan jangan ada lagi perubahan," ujar Bambang Widjojanto di Kantor PP Muhammadiyah, Jakarta, Minggu (8/2).
Bambang mengaku khawatir pihak Budi akan kembali mengubah materi gugatan. "Itu kan nanti jadi nggak fair, karena kami harus persiapkan semuanya. Kami akan hadir, tapi jangan sampai kemudian dalam sidang diubah lagi, itu yang kami tidak mau," tambahnya.
Tak Bisa Digugat
Terkait materi gugatan, Bambang menilai, praperadilan hanya memberikan batasan yang sangat sempit akan hal-hal apa saja yang bisa digugat. Menurutnya, penetapan tersangka tidak termasuk dalam bagian terbatas yang bisa digugat melalui praperadilan.
"Kalau menggunakan KUHAP pasal 77 itu hanya untuk uji sah tidaknya penghentian penyidikan dan penuntutan, sah tidaknya penangkapan dan penahanan," jelasnya.
Bambang melanjutkan, ada beberapa kasus yang menggugat masalah penetapan tersangka seperti yang dilakukan Budi. Namun, Mahkamah Konstitusi sudah mengeluarkan keputusan bahwa praperadilan sangat terbatas dan dikembalikan lagi kepada UU KUHAP.
"Mudah-mudahan hakim berpegang pada KUHAP dan putusan MA yang meminta semua hakim tunduk pada KUHAP," ujar Bambang yang memimpin penyidikan kasus dugaan suap dan gratifikasi yang dituduhkan kepada Budi Gunawan itu.
Kasus Chevron
Di tempat terpisah, dosen hukum pidana Universitas Indonesia, Ganjar Laksmana Bonaprapta, mengingatkan hakim tunggal yang menangani praperadilan Komjen Budi Gunawan, melihat putusan praperadilan kasus bioremediasi Chevron.
Dalam kasus itu, hakim praperadilan yang mengabulkan permohonan atas penetapan status tersangka mendapat hukuman disiplin dari Mahkamah Agung.
"Dalam sidang praperadilan kasus Chevron, hakim mengabulkan permohonan. Tetapi hakim akhirnya dihukum MA, karena MA menganggap bahwa penetapan tersangka tidak bisa dipraperadilankan," terangnya.
Seperti diketahui, kubu Komjen BG mengkalim, tata cara pengajuan permohonan praperadilan diatur di dalam hukum formil dalam Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Dalam pasal tersebut, tidak memungkinkan penetapan tersangka dijadikan sebagai objek praperadilan. Sementara itu, dalam permohonan praperadilan yang diajukan Budi, ia menggunakan Pasal 95 KUHAP yang mengatur secara spesifik mengenai ganti rugi dan rehabilitasi.
"Dalam Pasal 95 KUHAP memang ada frasa, 'tindakan lain,' yang mungkin dianggap sebagai pintu masuk menguji sah tidaknya penetapan tersangka BG melalui mekanisme ganti rugi. Masalahnya, penjelasan Pasal 95 KUHAP mengatur secara limitatif frasa 'tindakan lain' tersebut yaitu, penggeledahan dan penyitaan, jadi jelas tidak ada penetapan tersangka yang dapat dimintakan ganti rugi sebagaimana disebut Pasal 95 KUHAP," ujarnya.
Ganjar menambahkan, dalam konteks teori hukum terdapat adagium yang menyatakan jika selama tidak ada larangan dan kewajiban berlakulah norma kebolehan.
Namun, konteks tersebut hanya berlaku pada hukum pidana materil atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). "Kita harus taat asas hukum, jadi jangan dibuat tafsiran yang berbeda dari yang sudah disebutkaan dalam aturannya. Intinya, untuk hukum acara atau hukum formil tidak dapat ditafsirkkan lain selain dari apa yang tertera di dalamnya," ujar Ganjar lagi. (bbs, kom, sis)