Reshuffle Kabinet tak Ikuti Tekanan Politik
JAKARTA (riaumandiri.co)-Pengamat Ekonomi Dradjad Wibowo memuji Presiden Jokowi mengangkat menteri dalam reshuffle kabinet jilid II tidak mengikuti tekanan politik. Hanya saja dia menyayangkan masuknya Sri Mulyani dalam Kabinet Kerja.
“Reshuffle II ini Jokowi ingin menegaskan bahwa dirinyalah sebagai presiden, bukan sebagai petugas partai. Saya melihat Jokowi ingin menegakkan presidensial dengan menempatkan wapres sesuai dengan posisinya,
Reshuffle
” kata Dradjad dalam diskusi ‘Arah Politik Ekonomi Politik Jokowi Pasca Reshuffle II’, di Gedung DPR, Kamis (28/7).
Mengapa Dradjad menilai Jokowi melakukan reshuffle kabinet tidak mengikuti tekanan? Dia mencontohkan dalam reshuffle yang dilakukan itu juga melengserkan orang-orang kepercayaan Wakil Presiden Jusuf Kalla, Sudirman Said dan menggeser posisi Sofyan Djalil ke tempat yang tidak bergengsi.
Contoh lain disebutkan Dradjad yaitu Jokowi tetap mempertahankan Rini Soemarno sebagai Menteri BUMN. Bahkan menteri-menteri yang selama ini menentang dan berseberangan dengan Rini menjadi korban dalam reshuffle, seperti Rizal Ramli, Ignasius Jonan dan Thomas Lembong. “Ini menunjukkan Jokowi tidak mengikuti tekanan politik dan dirinya sebagai presiden,” kata Dradjad.
Hanya saja, Dradjad menyayangkan Presiden Jokowi yang mengangkatkan kembali Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan. Alasannya karena Sri Mulyani penganut mazhab Konsensus Washington (KW) atau neoliberalisme sebagaimana dilakukan mantan Wapres Boediono dan Laksamana Sukardi.
“Dampak KW itu adalah ketimpangan akan naik, pengangguran akan naik, dan seluruh perekonomian dan keuangan nasional dikuasai asing. Jadi, KW itu akan mempengaruhi banyak orang. Kita memang tidak bisa lepas globalisasi, namun harus cerdas,” tegas Dradjad.
Dengan KW tersebut kata Dradjad, pekerja, buruh, petani dan negara relatif akan tergantung kepada asing. Contohnya daging sapi. Begitu permintaan meningkat dan stok berkurang, solusinya selalu impor. Dengan impor maka akan memukul peternak dalam negeri.
Karena itu, ia meminta PDIP sebagai salah satu pengusung Jokowi pada Pilres lalu untuk mengawal Sri Mulyani dan menariknya ke tengah. “Kalau dia (Sri Mulyani -red) bisa dibawa ke tengah, maka saya pasti mendukungnya. Namun, kalau tidak, Indonesia akan drop, jatuh,” tegas Dradjad.
Sedangkan pengamat politik Siti Zuhro mempertanyakan alasan Presiden Jokowi melakukan reshuffle kabinet, baik reshuffle pertama maupun kedua. “Pak Wiranto diangkat justru rangkap jabatan dengan Ketua Umum Hanura. Ini menunjukkan bahwa Jokowi tidak konsisten. Untuk itu kalau dulu masyarakat berharap besar dengan Jokowi, maka kini seharusnya biasa saja. Sebab, janji-janjinya banyak yang diingkari. Kalau sampai akhir jabatannya ekonomi terus memburuk, maka akan memunculkan keresahan social yang tinggi dan itu membahayakan Jokowi,” tuturnya.
Sementara itu, politisi PDIP Eva Kusuma Sundari menilai kebijakan Jokowi mengangkat Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan semata-mata untuk memperkuat fondasi fiskal, namun tetap harus berpijak pada Nawacita yang menjadi dasar pembangunan ekonomi Jokowi.
“Jadi, SMI (Sri Mulyani) dalam menjalankan tugasnya akan dikawal dan dievaluasi melalui Nawacita yang menjadi dasar pembangunan ekonomi pemerintahan Jokowi. Dengan, fondasi kekuatan fiscal jangka panjang, maka diharapkan pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan akan membaik,” ujar Eva.
Ketika ditanya, apakah benar Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri makin ditinggalkan oleh Jokowi, karena tetap memilih SMI dan Rini Soemarno tidak dicopot, dia membantahnya. “Itu sama sekali tidak benar. Ibu Megawati orang yang sangat menjunjung tinggi protokoler, menghormati keadaban, dan komunikasinya dengan Jokowi sangat baik. Ibu Mega orangnya bukan ‘slonong boy’. Jadi, Pak Jokowi ingin menunjukkan bahwa reshuffle itu hak prerogatif presiden,” ujarnya.
PDIP pun kata Eva, akan tetap konsisten dengan sikapnya untuk mengawal Jokowi dan Nawacita. Termasuk dalam melakukan evaluasi kinerja para menterinya. “Jika keluar dari Nawacita dan Trisakti, PDIP pasti akan melakukan koreksi. Demikian juga untuk Presiden Jokowi yang memang diusung oleh PDIP. Jadi, PDIP tidak pernah berbalik arah, yakni konsisten,” pungkasnya.
Sementara itu politisi NasDem Irma Suryani mengatakan, NasDem sejak awal menyadari koalisi tanpa syarat. Karena itu jika ada kader NasDem direshuffle, semata berdasarkan basis kinerja, maka tidak masalah.
“NasDem tidak akan ribut, dan tidak pula mendekte presiden untuki reshuffle. Hanya saja reshuffle ini belum sentuh kesejahteraan sosial, karena Menteri Pertanian yang seharusnya mencetak sejuta sawah sampai saat ini, irigasi saja belum dibangun. Jadi, masih terkesan berbasis politik,” kata politisi NasDem itu. (h/sam)