Dewan: Penegakan Hukum Masih Tumpul
PEKANBARU (riaumandiri.co)-Polda Riau mengakui adanya sejumlah perusahaan yang proses penyidikannya dihentikan dalam kasus kebakaran hutan dan lahan selama tahun 2015 lalu. Jumlahnya mencapai 15 perusahaan. Salah satu penyebabnya adalah, kebakaran itu terjadi di lahan yang yang disengketakan antara pihak perusahaan dan masyarakat.
Kebijakan itu mendapat sorotan dari anggota Komisi A DPRD Riau, Sugianto. Ia menilai, kondisi itu menunjukkan proses penegakan hukum di Riau masih tumpul alias belum maksimal.
Perihal proses penghentian penyidikan (SP3, red) terhadap perusahaan tersangka Karhutla tersebut, disampaikan Direktur Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Riau, Kombes Pol Rivai Sinambela didampingi Wadir Reskrimsus AKBP Ari Rahman Nafarin, Rabu (20/7).
Dikatakan, dari hasil peninjaun di lapangan, kebanyakan lahan milik perusahaan yang terbakar, adalah lahan yang bersengketa dengan masyarakat. Berdasarkan kondisi itu penyidik akhirnya menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).
"(Dalam proses penyidikan) 15 perusahaan ini, banyak kekurangan atau belum memenuhi unsur. Mulai dari pemeriksaan saksi ahli, hingga penyidikan di tempat kejadian perkara. Sehingga kita berkesimpulan kasus itu patut dihentikan," ungkapnya.
Dewan
Lebih lanjut ia menerangkan, selama tahun 2015 lalu, Polda Riau menangani 18 perusahaan yang diduga melakukan pembakaran lahan. Tiga di antaranya yakni PT Langgam Inti Hibrindo, PT Palm Lestari Makmur dan PT Wahana Subur Sawit, berlanjut hingga proses persidangan. Hal itu disebabkan penyidik menilai berkas untuk tiga perusahaan itu sudah lengkap. Seperti diketahui, dari ketiga perusahaan itu ada yang divonis bebas.
Sementara, untuk 15 perusahaan lainnya dihentikan proses penyidikannya. Perusahaan itu adalah PT Bina Duta Laksana, PT Perawang Sukses Perkasa Indonesia, PT Ruas Utama Jaya, PT Suntara Gajah Pati, PT Dexter Perkasa Industri, PT Siak Raya Timber, PT Sumatera Riang Lestari, PT Bukit Raya Pelalawan, PT Hutani Sola Lestari, KUD Bina Jaya Langgam dan PT Rimba Lazuardi.
11 perusahaan di atas adalah perusahaan yang bergerak di Hutan Tanaman Industri. Sementara tiga perusahaan lainnya yakni PT Parawira, PT Alam Sari Lestari, PT PAN United, dan PT Riau Jaya Utama bergerak pada bidang perkebunan.
Diterangkan mantan Dir Reskrimum Polda Riau ini, kebanyakan perusahaan yang di-SP3-kan tersebut terlibat sengketa dengan lahan masyarakat, sehingga mementahkan dua alat bukti yang sebelumnya dapat menjerat sebagai tersangka.
"Rata-rata perusahaan itu bersengketa dengan masyarakat. Saya ilustrasikan pada PT Dexter (Perkasa Industri). Perusahaan itu mendapat izin konsesi 15 ribu hektare, ternyata 3 ribu hektare bersengketa dengan masyarakat sekitar. Nah yang lahan terbakar ditemukan ada di lahan yang bersengketa itu," terang Rivai.
Ditambahkan Wadir Reskrimsus Polda Riau, AKBP Ari Rahman Nafarin, penetapan tersangka seluruh perusahaan itu pada awalnya memang berdasarkan sejumlah alat bukti. Bukti itu adalah dari keterangan saksi dan titik koordinat kebakaran yang diperoleh dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah Riau.
"Namun, setelah penyidik memeriksa ke lapangan ternyata lokasi kebakaran adalah lahan yang bersengketa dengan masyarakat. Sehingga tidak cukup bukti untuk dilanjutkan ke tahap penyidikan," ujarnya.
Selain itu, lanjut Ari Rahman, alasan penghentian penyidikan karena ada perusahaan ternyata tidak lagi beroperasi selama beberapa tahun. Dengan dasar tersebut, Dit Reskrimsus Polda Riau melakukan gelar perkara dan menyatakan tidak cukup sehingga dikeluarkan SP3. Total luas lahan yang dimiliki oleh perusahaan yang mendapat SP3 tersebut mencapai 387,985 hektare.
"Penyidik tidak mau memaksa kalau memang tak ada bukti. Nanti kalau dipaksakan bisa bebas lagi di pengadilan, seperti satu perusahaan itu (PT Langgam Inti Hibrindo)," tegas Ari.
Dalam kesempatan itu, Rivai juga membantah Polda Riau terkesan menyembunyikan informasi terkait penghentian penyidikan terhadap 15 perusahaan tersebut. "Tidak ada yang menanyakan sebelumnya. Kita terbuka saja kalau ditanyakan. Kalau ada yang menyebut 11 perusahaan di-SP3, Polda menyebut ada 15. Ini terbuka," ujarnya.
Masih Tumpul
Terpisah, kebijakan Polda Riau tersebut mendapat tanggapan dari anggota Komisi A DPRD Riau, Sugianto. Pihaknya menilai, hal itu menunjukkan proses penegakan hukum masih tumpul alias belum maksimal.
"Ini menjadi bukti bahwa hukum kita tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Meskipun dengan alasan tidak memenuhi syarat ataupun tidak cukup alat bukti, tidak ada unsur kesengajaan dan lainnya," ujarnya.
Atas persoalan tersebut, politisi PKB ini menyebut, kasus Karhutla di Riau tidak akan tuntas. Persoalan ini menurutnya bisa menciderai kepercayaan masyarakat terhadap instansi Kepolisian.
"Lagi-lagi kepercayaan masyarakat terhadap hukum diciderai, baik itu yang di-SP3-kan maupun yang divonis bebas saat persidangan, hasilnya nol-nol semua. Tidak sebanding dengan uang yang dikeluarkan untuk menangani kasus, ataupun untuk memadamkan api ketika sudah terjadi Karlahut," ungkapnya.
Lebih lanjut anggota DPRD Riau dari Dapil Siak-Pelalawan ini berharap, dengan dilantiknya Kapolri baru agar bisa menjalankan instruksi presiden dalam menjadikan hukum di Indonesia, lebih baik ke depannya. (dod, rtc)