Digitalisasi Pertanian
Indonesia adalah negara agraris,disebut sebagai negara agraris karena sebagian mata pencahrian penduduknya adalah bertani.
Di zaman yang serba online ini masih bisakah kita dikatakan sebagai negara agraris? Kalau menurut saya tidak sama sekali.
Sebab, katanya negara kita yang kaya, subur dan makmur ini ternyataditemukan penyakit gizi buruk dan busung lapar seperti halnya di Ethopia.
Orang-orang pinggiran atau masyarakat miskin kesulitan membeli beras bahkan semakin sulitnya, banyak dari mereka yang memakan nasi basi, nasi aking, atau pun mengais butir demi butir beras yang keluar dari karung beras di dealer atau toko-toko beras.
Sejauh ini, Indonesia masih kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pangan didalam negeri. Kesulitan inilah yang mengantarkan Indonesia menjadi negara pengimpor beras nomor 4 terbesar didunia. Sungguh ironis, dinegara yang katanya kaya akan sumber daya alam seharusnya kita bisa mencukupi kebutuhan pangan namun kenyataannya malah mengimpor beras.
Jika kita berbicara sejarah pangan di Indonesia, zaman orde baru adalah yang terbaik dalam hal ketahanan pangan. Di bawah kendali Presiden Soeharto saat itu, petani Indonesia secara gotong royong dan suka rela berhasil mengumpulkan 100.000 ton gabah yang kemudian disumbangkan untuk negara yang mengalami kelaparan khususnya negara-negara di Afrika.
Keberhasilan surplus inilah yang menjadikan Indonesia sebagai negara swasembada beras dan juga melakukan ekspor beras serta mendapatkan penghargaan dari badan pangan dunia PBB, yakni FAO.
Hanya dalam jangka waktu satu tahun pemerintah orde baru mampu menghasilkan 28,5 juta ton beras. Pada saat itu, pemerintah memasukkan sektor pertanian kedalam proses industrialiasi yang lebih memiliki prospek yang jelas ketimbang sektor industri.
Dengan tujuan, mencapai swasembada pangan, memperluas sumber devisa dari komoditi non migas, memperluas lapangan kerja di pedesaan, meningkatkan pendapatan, yang berarti menaikkan taraf hidup petani. Tujuan pertama terealisasi hanya dalam waktu satu tahun, pada tahun 1984 Indonesia berhasil swasembada beras.
Itulah sejarah singkat nostalgia daulat pangan Indonesia di masa lalu. Itu contoh konkrit jikalau kita ingin membandingkan keadaan pangan kita, cukup bercermin pada masa lalu saja tak usah bandingkan dengan negara lain seperti Vietnam atau Jepang.
Lantas, dimana letak perbedaan kebijakan dalam bidang pertanian pada zaman orde baru dan Indonesia pasca reformasi? Pada zaman orde baru sektor pertanian menjadi pusat industrialisasi.
Kebijakan rencana pembangunan lima tahun (Repelita) dengan titik tumpuannya adalah sektor pertanian pembangunan lebih di intensifkan pada perbaikan pola hidup petani dan pembangunan irigasi. Sedangkan Indonesia pasca reformasi , pembangunannya berada di ranah abu-abu. Corak pembangunan indonesia tidak begitu jelas, apakah negara industri atau agraris.
Saat ini, sektor agraris sudah mulai ditinggalkan. Tingkat kesejahteraan hidup petani yang rendah, jumlah petani yang kian menurun, dan laju konversi lahan pertanian menjadi perumahan atau gedungperkantoran merupakan bukti nyata bahwa kita bukan lagi negara agraris.
Revitalisasi Sektor Agraris
Ada beberapa persoalan utama yang membuat Indonesia terseok-seok dalam memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri.
Pertama, terkait dengan ketersedian lahan areal pertanian terutama bahan makanan pokok. Pasca reformasi, pemerintah Indonesia lebih gencar melakukan pembangunan fisik yang memerlukan lahan yang luas sehingga menyebabkan alih fungsi lahan pertanian menjadi perumahan atau gedung perkantoran begitu masif. Untuk mengatasi masalah laju konversi lahan pertanian, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan perlindungan lahan pertanian melalui UU No. 41/2009 dan UU No 19/2013.
Namun, kenyataannya di lapangan masih banyak ditemukan konversi lahan pertanian yang dilakukan begitu masif. Hal ini disebabkan lantaran buruknya koordinasi pemerintah pusat yang diwakili Menteri pertanian dengan pemerintah daerah dan buruknya pengaturan tata ruang atau rancangan tata ruang dan wilayah (RTRW). Pemerintah harus merevisi PP No 26/2008 tentang RTRW dengan mewajibkan semua daerah mesti punya RTRW. Sebab tidak semua daerah punya RTRW.
RTRW difokuskan untuk kejelasan peruntukkan ruang lahan pertanian dalam kerangka pembangunan suatu daerah yang meliputi penambahan areal baru, pemanfaatan lahan gambut rawa, hingga mobilisasi (transmigrasi) tenaga manusia untuk mengisi lahan pertanian yang cukup luas di luar Jawa.
Kedua, terkait intensifikasi produksi pertanian. Berkaca dari program ‘revolusi hijau’ zaman orde baru, pemerintah dituntut untuk mampu melakukan pemberdayaan terhadap petani di zaman sekarang ini.
Saat ini, Menkominfo Rudi Antara, tengah mengembangkan konsep digitalisasi pertanian untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan mewujudkan mimpi swasembada beras. Langkah awal dari digitalisasi pertanian tersebut, menkominfo telah mengeluarkan lima aplikasi pertanian yang bisa di unduh secara gratis di smartphone.
Adapun lima aplikasi yang diperkenalkan Menkominfo yaitu, aplikasi Tani merupakan layanan informasi terkait solusi permasalahan pertanian, tempat penjualan alat-alat pertanian, informasi pelatihan pertanian dan forum diskusi online sesama petani di seluruh Indonesia.
Aplikasi TaniHub yang berisikan layanan mengenai distribusi hasil pertanian dan perkebunan dari daerah ke kota. Aplikasi LimaKilo yang memungkinkan petani untuk langsung menjual hasil panennya ke konsumen dengan harga kompetitif.
Aplikasi PantauHarga merupakan tempat untuk tawar menawar dan melakukan jual beli antara penyedia bahan baku dengan petani.
Hal ini memudahkan dalam melakukan interaksi dikarenakan ada basis data harga yang menjadi acuan. Aplikasi Nurbaya Initiatives, yaitu layanan yang di sediakan bagi pelaku ekonomi rakyat baik petani maupun UMKM untuk membuat platfrom penjualan hasil-hasilnya.
Untuk mewujudkan konsep digitalisasi pertanian, maka pemerintah Pusat dan pemerintah daerah perlu berkoordinasi dalam penyediaan smarttphone berbasis sistem operasi android.
ketersediaan jaringan internet di daerah, dan sosialisasi penggunan aplikasi tersebut terhadap para petani demi pemerataan penyebaran manfaat teknologi tersebut. ***
Analis Hukum Teknologi dan Aplikasi FH Unand, Padang