Penguatan Peran Keluarga dalam Pendidikan Anak
Penguatan Peran Keluarga Dalam Pendidikan Anak Anak adalah peniru ulung. Sikap mereka di sekolah, di lingkungan dan masyarakat adalah cerminan bagaimana kehidupan mereka di rumah yang tentu tidak terlepas dari didikan orangtuanya.
Rumah merupakan madrasah (sekolah) pertama bagi tumbuh kembang anak dan orangtua adalah guru utama bagi tahun-tahun pertama kehidupan mereka. Disebabkan karena usia dini adalah usia meniru, maka orangtua adalah model bagi anaknya. Oleh karena itu, keluarga menjadi ujung tombak dalam perkembangan sosio-emosinya.
Setiap orangtua, memiiki gaya dan cara mendidik yang berbeda-beda, tentunya gaya-gaya tersebut akan berpengaruh dalam perkembangan anak. Hal yang perlu diperhatikan dalam memberikan kasih sayang kepada mereka adalah tidak berlebihan dan tidak pula kurang. Berikan pelayanan dan kasih sayang secara proporsional.
Ada masanya kapan seorang orang tua harus bersikap tegas dan kapan bersikap lemah lembut kepada anak. Apapun masalahnya, usahakan semampunya untuk tidak memarahi anak melampaui batas kewajaran; seperti mengumpat, menghardik dengan celaan terkutuk, apalagi sampai berlaku kasar, dan memukul anak hingga meninggalkan luka lebam di tubuhnya.
Pendidikan Islam dalam keluarga harus memperhatikan pendidikan akidah Islamiyah, di mana akidah itu merupakan inti dari dasar keimanan seseorang yang harus ditanamkan kepada anak sejak dini.
Sejalan dengan firman Allah yang artinya: Dan ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya di waktu ia memberi pelajaran padanya: Hai anakku janganlah kamu mempersekutukan Alloh benar-benar merupakan kedlaliman yang besar.
(Q.S. Luqman:13). Ayat tersebut menjelaskan bahwa akidah harus ditanamkan kepada anak yang merupakan dasar pedoman hidup seorang muslim.
Aspek pendidikan ibadah ini khususnya pendidikan shalat disebutkan dalam firman Allah yang artinya: Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah manusia untuk mengerjakan yang baik dan cegahlah mereka dari perbuatan munkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu, sesungguhnya hal yang demikian itu termasuk diwajibkan oleh Allah.
(QS. Luqman:17). Aqidah yang lurus, ibadah yang benar dan pekerti yang luhur, adalah komponen dasar membangun generasi penuh berkah, generasi madaniy yang kelak dewasanya akan tumbuh menjadi pribadi yang tangguh, teguh dalam kebenaran dan tak gentar dalam menentang kebathilan.
Tujuh tahun pertama merupakan fase golden age (usia emas) setiap anak. Di mana pada usia ini, satu-satunya otak yang baru berkembang sempurna adalah otak reptil yang juga dimiliki oleh hewan. Karakterisktik dari otak reptile ini adalah kemampuan pertahanan diri anak dari ransangan.
Hasil sebuah penelitian mengatakan bahwa sekitar 50 persen kapabilitas kecerdasan orang dewasa telah terjadi pada usia 4 tahun, 80 persen telah terjadi pada usia 8 tahun dan mencapai titik tertinggi pada usia 18 tahun (Direktorat PAUD, 2004).
Pada usia emas ini adalah usia dimana anak hiperaktif dengan tingkat emosional yang sangat tinggi dan tidak terkendali. Kemampuan meniru dan menyerap setiap yang disaksikan anak terjadi pada usia ini.
Maka dari itu, hindari pertengkaran orang tua di hadapan anak usia emas ini dan hal-hal negatif lainnya seperti; berbohong, mencela, mengumpat, berbuat kekerasan, berkata-kata kotor, dsb. Karena akan berdampak buruk pada pertumbuhan emosional anak, yaitu tumbuh dengan penuh kecurigaan.
Pakar psikologi anak mengamati, realitas anak dan remaja di era digital ini cenderung mudah bosan, stres berkepanjangan, selalu merasa kesepian meski di keramaian, takut dimarahi dan mudah lelah. Semua jenis layar, membuat otak dan mata anak menjadi fokus.
Bukan fokus aktif, melainkan fokus pasif. Sehingga, anak tidak lagi aware dengan lingkungan. Maka dari itu, perlu rasanya digalakkan durasi sehat digital; 15-20 menit bagi anak usia 3-5 tahun, 60 menit bagi anak rentang usia 6-7 tahun, dan 2 jam saja bagi anak usia diatas 7 tahun, tentu tidak dengan memberikan keseluruhan waktu itu untuk mereka menikmati gadget-nya, melainkan diselingi dengan aktfitas produktif mereka.
Keluarga Kelompok Sosial Terkecil Di semua masyarakat yang pernah dikenal, hampir semua orang hidup terikat dalam jaringan kewajiban dan hak keluarga yang disebut hubungan peran (role relations).
Seseorang disadarkan akan adanya hubungan peran tersebut karena proses sosialisasi yang sudah berangsung sejak masa kanak-kanak, yaitu suatu proses dimana ia belajar mengetahui apa yang dikehendaki oleh anggota keluarga lain daripadanya, yang akhirnya menimbulkan kesadaran tentang kebenaran yang dikehendaki.(Goode, 1983).
Perkembangan karakter seorang anak dipengaruhi oleh perlakuan keluarga terhadapnya. Karakter seseorang terbentuk sejak dini, dalam hal ini peran keluarga tentu sangat berpengaruh.
Pendidikan dalam keluarga sangatlah penting dan merupakan pilar pokok pembangunan karakter seorang anak. Pendidikan dasar wajib dimiliki tidak hanya oleh masyarakat kota, tetapi juga masyarakat pedesaan.
Seseorang yang memiliki tingkat pendidikan tinggi cenderung lebih dihormati karena dianggap berada strata sosial yang tinggi. Kualitas seseorang dilihat dari bagaimana dia dapat menempatkan dirinya dalam berbagai situasi.
Sebagai lembaga sosial terkecil, keluarga merupakan miniatur masyarakat yang kompleks, karena dimulai dari keluarga seorang anak mengalami proses sosialisasi. Dalam keluarga, seorang anak belajar bersosialisasi, memahami, menghayati, dan merasakan segala aspek kehidupan yang tercermin dalam kebudayaan. Hal tersebut dapat dijadikan sebagai kerangka acuan di setiap tindakannya dalam menjalani kehidupan.
Seiring dengan perkembangan zaman, pendidikan moral dalam keluarga mulai luntur. Arus globalisasi menyerang di segala aspek kehidupan bermasyarakat, tidak hanya masyarakat kota tetapi juga masyarakat pedesaan. Dengan demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa peran kelurga sangat besar sebagai penentu terbentuknya moral manusia-manusia yang dilahirkan.
Fungsi Keluarga Sebagai sistem sosial terkecil, keluarga memiliki pengaruh luar biasa dalam hal pembentukan karakter suatu individu.
Pengertian keluarga juga dapat di lihat dalam arti kata yang sempit, sebagai keluarga inti yang merupakan kelompok sosial terkecil dari masyarakat yang terbentuk berdasarkan pernikahan dan terdiri dari seorang suami (ayah), isteri (ibu) dan anak-anak mereka. Sedangkan keluarga dalam arti kata yang lebih luas misalnya keluarga RT, keluarga komplek, atau keluarga Indonesia. (Munandar, 1985).
Keluarga menjalankan peranannya sebagai suatu sistem sosial yang dapat membentuk karakter serta moral seorang anak. Keluarga tidak hanya sebuah wadah tempat berkumpulnya ayah, ibu, dan anak.
Sebuah keluarga sesungguhnya lebih dari itu. Keluarga merupakan tempat ternyaman bagi anak. Berawal dari keluarga segala sesuatu berkembang. Kemampuan untuk bersosialisasi, mengaktualisasikan diri, berpendapat, hingga perilaku yang menyimpang.
Keluarga merupakan payung kehidupan bagi seorang anak. Keluarga merupakan tempat ternyaman bagi seorang anak. Beberapa fungsi keluarga selain sebagai tempat berlindung, (Mudjijono, et al., 1995).***
Pemerhati masalah pendidikan di Riau & Jurnalis di Provinsi Riau