Belajar dari Hafiz Cilik
Ada kebanggaan yang ditoreh oleh hafiz cilik dari Indonesia dalam lomba Musabaqah Hifzil Quran International di Sharm El-Sheikh, Mesir, Musa bin Laode Hanafi karena berhasil menjuarai lomba sebagai peringkat ketiga dengan nilai hampir sempurna. Hebatnya, usia Musa belum genap tujuh tahun, sementara 80 peserta dari 60 negara rata-rata berumur di atas 11 tahun.
Hal ini menjadikan Musa terasa istimewa dan banyak apresiasi yang didapat dari berbagai pihak, termasuk dari Presiden Joko Widodo yang mengungkapkan kebanggaannya. Akan tetapi, lebih dari itu, prestasi ini mengharumkan nama Indonesia di mata negara-negara lain. Dunia kagum kepada warga Indonesia yang tidak bisa berbahasa Arab, tetapi banyak memunculkan hafiz, termasuk ratusan hafiz cilik seperti Musa.
Musa dan orangtuanya memang berjuang keras untuk bisa menjadi hafiz Alquran. Upaya ini dirintis bukan hanya saat masih kecil, melainkan saat Musa masih dalam kandungan. Bapaknya sudah sering mendengarkan ayat Alquran yang dia baca sendiri atau istrinya di depan anaknya yang masih dalam kandungan. Saat umur dua tahun, sudah mulai diperkenalkan huruf Hijaiyah dalam bentuk menarik yang ditempelkan di dinding atau tempat bermain Musa.
Dan, saat usia tiga tahun mulai diberi latihan menghafal Alquran. Usaha yang konsisten (bahkan dimulai sejak jam 02.30 WIB atau sebelum azan Subuh sampai menjelang tidur dengan pola dan pendekatan belajar yang menyenangkan) serta lingkungan yang kondusif menjadikan Musa berprestasi seperti sekarang ini.
Orangtuanya, Loode Abu Hanafi dan Yulianti, bukan penghafal Alquran. Profesi sebagai guru ngaji, penampilan yang bersahaja, dapat dilihat dari cara bicara dan berpakaian. Bapaknya yang berjenggot dan ibunya yang memakai cadar seolah ingin menjelaskan ke dunia luar bahwa tidak semua berpenampilan tersebut akan berkonotasi negatif seperti teroris yang harus diburu oleh Densus 88 Antiteror, layaknya nasib almarhum Siyono.
Tinjauan Neurosains
Kehebatan sang hafiz Musa bila ditinjau dari ilmu neurosains cukup beralasan. Para ahli neurosains dalam beberapa tahun terakhir mengungkap penemuan medis yang menerangkan fenomena tersebut. Perlu kita ketahui bahwa di dalam otak anak yang baru lahir terdapat sekitar 100 miliar sel otak (neuron) dan antar sel otak dihubungankan dengan hubungan yang sangat istimewa yang bernama sinaps. Sesungguhnya, saat bayi baru lahir, sinaps belum terbentuk secara sempurna (sel otak masih polos). Neuron yang masih polos terletak di bagian otak di permukaan.
Bagian otak tersebut dalam bahasa kedokterannya diberi nama korteks (lapisan luar otak). Korteks ini pada awalnya berwarna putih karena masih belum terpapar oleh stimulus dari luar dan apabila sudah dewasa maka korteks ini akan berupa menjadi warna keabuan (grey matter). Para ahli neurosain memperkirakan, paling tidak terdapat 1.000 triliun sinaps yang berkomunikasi terus menerus secara listrik, kimia, maupun yang lainnya.
Pada saat lahir bayi dan anak-anak apa pun paparan yang masuk ke dalam otak, baik yang melalui pancaindra (penglihatan, penciuman, pendengaran, peraba, dan perasa) maupun non pancaindra akan mengubah struktur neuron dan sinaps di dalam korteks menjadi sesuatu yang sesuai dengan stimulus didapat.
Stimulus yang terpapar sejak lahir sampai dewasa dapat berupa apa yang dilihat, didengar, dan dirasa, bahkan apa yang dimakan sehari-hari dan ini sangat berperan dalam perilaku hidup sehari-hari. Maka, langkah terbaik adalah memberi stimulus positif terhadap anak kita sejak dini. Dan, memberi lingkungan yang kondusif dengan cara membiasakan diri dengan memberi pendidikan anak sedini mungkin sangat diperlukan untuk membentuk korteks otak agar dibentuk pola struktur otak sempurna.
Bilamana sejak dari bayi kita dibiasakan mendengarkan ayat suci Alquran dan bayi melihat sendiri orang tuanya membaca Alquran setiap hari, maka akan terbentuk memori permanen di otak bayi tentang Alquran secara otomatis.
Sehingga, dia akan lebih cepat akrab dengan ayat Alquran. Dan, bila anak diberi pelajaran yang baik tentang membaca dan menghafal Alquran maka dia akan dengan mudah menjadi penghafal (hafiz) seperti Musa ini. Maka, prestasi anak, menurut tinjauan neorsains, sangat dipengaruhi arahan dan lingkungan yang diberikan dari orang tuanya. Selain Musa, beberapa waktu yang lalu kita dibuat terpesona oleh Joey Alexander sang pianis muda yang mengharumkan nama Indonesia di ajang Grammy Awards 2016 di Microsoft Theater, Los Angeles, Amerika Serikat.
Lingkungan yang kondusif
Namun, dalam kehidupan zaman sekarang, memberi lingkungan yang kondusif bagi tumbuh kembang anak sesuatu yang sangat sulit. Pengaruh media informasi dan lingkungan keseharian anak begitu kompleks dan sulit dikendalikan. Kalau zaman dahulu hanya televisi, sekarang media informasi semakin canggih, smartphone dan game (termasuk game online) sudah identik dengan kehidupan anak-anak zaman sekarang. Apalagi, kesibukan orang tuanya yang bekerja dan berkarier di luar rumah kadang menyita waktu untuk berinteraksi dengan anak-anaknya secara proporsional.
Akibatnya, akan ada dampak negatif yang akan mengancam anak, mulai dari dampak pornografi dan pornoaksi, kekerasanan seksual, sampai perilaku kekerasan, ancaman narkoba, serta kesantunan yang mulai luntur. Maka, tantangan bagi kita sebagai orang tua adalah membentuk anak dengan memberikan stimulus dan lingkungan yang "terbaik" agar tumbuh menjadi anak yang sholeh-sholehah, seperti hafiz cilik Musa. Semoga, ke depan, banyak lagi Musa-Musa baru yang bukan hanya mengharumkan bangsa Indonesia di dunia, melainkan lebih dari itu, mereka adalah anak yang baik yang menjadi generasi penerus dan menjadi amal jariyah bagi orangtuanya. ***
Dokter spesialis syaraf RS Saiful Anwar & dosen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, Malang.