Perubahan Seorang Presiden Jokowi
Berdasarkan catatan yang ada, pribadi Presiden Jokowi selama ini adalah sosok yang banyak senyum, sederhana.
Sejak menjadi Walikota Solo, kemudian Gubernur DKI Jakarta, lalu terpilih menjadi Presiden, Jokowi masih kokoh utuh tipe lelaki yang sederhana suka senyum, lembut dan santai. Bukan tipe pemarah. Namun belakangan Presiden mulai mengeluarkan marahnya. Jokowi tidak hanya bisa senyum.
Cepat kali Presiden berubah. Berkata marah, lantang, tegas dan sungguh sungguh. Tetapi, marahnya Presiden tidak perlu kita ragukan. Bahkan sikap demikian manusiawi itu amat diperlukan.
Bagaimana tidak. Ada unjuk kegaduhan kabinet. Marah akibatnya meruncingnya pertikaian dan kegaduhan para Menteri dalam kabinet. Ditandai dengan sindir menyindir antar Menteri yang disampaikan secara terbuka di muka umum. Ya, tentu memancing kemarahan.
Karena hal itu berpotensi menghambat kinerja kabinet. Siapapun menjadi Presiden akan bersikap seperti demikian. Hanya saja yang kita risaukan adakah kemarahan Presiden tersebut akan menghentikan kegaduhan? Ataukah kemarahan sebagai biasa biasa saja, dianggap angin lalu. Kemudian, kegaduhan antar Menteri terus berlangsung ?
Seperti dinyatakan oleh Johan Budi, Juru Bicara Presiden, bahwa Presiden memang marah akibat meruncingnya pertikaian dan kegaduhan para Menteri dalam kabinet.
“Karena berpotensi menghambat kinerja kabinet,” katanya. Tak bisa ditutup tutupi kemarahan Presiden tersebut. Sebab, tidaklah pertama kali hal itu dialami.Kegaduhan dalam tipe serupa terjadi berulang-ulang.
Blok Masela
Kembali kepada penjelasan Johan Budi, bahwa Predside Jokowi minta jangan bikin gaduh. Peringatan belakangan ditujukan kepada Menteri Koordinator Bidang Maritim dan ESDM, yaitu tentang blok Masela on shore (lanjut), berbeda dan bertikai dengan Sudirman Said Menteri ESDM berpendapat Blok Masela off shore (stop).
Termasuk sikap menyampaikan di muka umum haruslah apa yang sudah diputuskan. Jangan menyampaikan soal kebijakan yang belum diutuskan oleh pemerintah. Demikian Johan Budi.
Sebelumnya, yang amat krusial, adalah ketika Rizal Ramli bersikap menyatakan menentang dan siap berdebat delakangan, dengan wakil Presiden Yusuf Kala tentang konsep pembangunan bidang energi kelistrikan.
Belum berhenti disitu, Rizal Ramli yang mantan Menteri Ekuin masa Presiden Abdurahman Wahid, bertikai pula dengan Menteri BUMN Rini Soewandi tentang penambahan armada pembelian pesawat Garuda.
Rizal Ramli tidak sendirian bikin gaduh di kabinet. Faktanya Pramono Anum Menteri Sekab asal partai PDIP itu, juga ikutu ikutan. Paling belakangan adalah sindiran Mensekab Pramono Anum terhadap Marwan Menteri Pembangunan Desa Tertinggal, bahwa ada Menteri minta dilayani berlebihan oleh penerbanagan Garuda.
Karena Menteri Pembangunan Desa Tertinggal minta Direktur Maskapai Garuda dipecat. Lantaran tidak mampu me-menej Garuda dengan pelayanan yang baik.
Selalu tidak on time dan selalu delay. Yang jelas ini soal masalah kekompakan tim kerja kabinet. Agaknya berkaitan dengan asal latar belakang sosok Menteri yang mencerminkan hal berikut.
Pertama faktor ego, menampakkan ingin unjuk kemampuan. Merasa seolah-olah lebih kompeten karena pendidikan dan jaringan konspirasi.
Termasuk juga mau menunjukan duduknya sebagai Menteri atas dukungan power politik yang kuat. Dalam ungkapan lain dapat dikatakan, belum menunjukkan sebagai loyalis Presiden, namun masih hendak menunjukan ia orang siapa. Yang membeking dan mendukung telah mendapat tugas kepercayaan penuh.
Kedua adalah masalah etika cara berpikir, seorang Menteri. Masih seolah-olah sebagai pengamat. Berdiri di luar pemerintahan. Bukan orang dalam kabinet yang harus seayun selangkah.
Terikat oleh etika kebersamaan dalam posisi bekerja dalam pemerintahan. Secara spesifik ini akan membedakan antara pengamat boleh mengatakan apa saja yang dianggap benar.
Bisa disampaikan kepada umum. Tetapi lain sebagai birokrasi Menteri, entah harus kerja pemerintah boleh tetap pada sikap apa yang dianggapnya benar, namun tidak serta merta semua boleh leluasa disampaikan kepada umum. Karena, posisi sebagai Menteri dibatasi yaitu keharusan menyesuaikan posisi sebagai pembantu Presiden.
Dengan kendala di atas, yaitu ego dan etika dari sosok Menteri, bisa ditarik satu kesimpulan bila dua faktor ego dan etika Menteri belum berubah, maka kekompakan kabinet akan terus menjadi krusial. Dengan kata lain kegaduhan, pertikaian terus terjadi.
Persoalannya menjadi terserah kepada Presiden Jokowi. Bila ada yang tidak mau menyesuaikan diri dengan 'policy' Presiden, maka harus diganti oleh yang lain. Kita risau, jika tiap waktu melihat Menteri bergaduh, bertikai di muka publik. Sebab sesuai tema kabinet kerja dan kerja. Yang pasti kegaduhan bukan saja masalah, tapi taruhannya adalah efisiensi pemerintah dalam memberi pelayanan kepada masyarakat.
Akhirnya, hemat saya pilihannya adalah, pertama terus bergaduh maka pemerintah akan terseok-seok menaggung beban. Pilihan alternati kedua, hentikan kegaduhan, yaitu cari figur baru mengisi jabatan Menteri yang bertikai. Jalan itu adalah reshuffle kabinet. ***
Penulis Dosen Universitas Muhammmadiyah Prof Dr Hamka (UHAMKA) Jakarta.