Riau Segera Miliki Drone Pemantau Kebakaran
PEKANBARU (riaumandiri.co)-Tidak lama lagi, Riau akan memiliki drone atau pesawat tanpa awak. Fasilitas ini akan digunakan untuk memantau kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Riau. Diharapkan, dengan bantuan alat ini, upaya antisipasi dan pencegahan kebakaran lahan dapat dilakukan secara lebih maksimal.
"Drone itu sudah disanggupi Menkoplhukam (Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Sekarang sedang dipesan," ungkap Pangdam I/Bukit Barisan, Mayjen Lodewyk Pusung, di Pangkalan Udara Roesmin Nurjadin Pekanbaru, Jumat (18/3).
Diterangkan Lodewyk, alat tersebut dapat menjangkau
Riau wilayah seluas 200 kilometer, dan akan ditempatkan di Dumai dan Pekanbaru. "Karena untuk mendaratkan Drone itu butuh landasan sekitar 150 meter," jelasnya.
Pertimbangan untuk mengadakan drone itu merupakan satu dari tujuh konsep yang dipaparkannya Pangdam, saat memberi materi pada rapat Satgas Karhutla Riau. Dikatakan Lodewyk, ketujuh konsep yang diajukan tersebut nantinya akan saling berkaitan dan berkesinambungan sehingga pencegahan Karhutla dapat dimaksimalkan.
Ketujuh konsep tersebut adalah menguatkan personil di wilayah yang sedang mengalami kebakaran. Saat ini telah ada sekitar lima Satuan Setingkat Kompi (SSK) yang dikerahkan untuk mencegah dan memadamkan kebakaran lahan.
Konsep selanjutnya adalah penempatan personil dan penempatan drone. "Ketika Drone menemukan titik api, maka kita kirimkan helikopter membawa pasukan untuk langsung memadamkan kebakaran sehingga tidak menyebar," terangnya.
Selanjutnya gelar komunikasi dan pelibatan personil gabungan. Kedua konsep itu, sebutnya, bertujuan untuk meningkatkan komunikasi yang baik setiap prajurit. "Percuma saja jika drone muter-muter tapi komunikasi tidak ada. Kemudian personil gabungan TNI, Polri, BPBD, BKSDA dikuatkan," tegasnya.
Selanjutnya adalah sistem pelaporan jaringan yang telah terbentuk dan membuat SMS Center. Ia menjelaskan konsep itu untuk meluaskan jaringan petugas dengan melibatkan masyarakat.
"Sekarang setiap masyarakat punya hp (handphone,red). Jadi masyarakat yang melihat kebakaran lahan bisa menginformasikan ke Satgas untuk segera ditanggulangi," jelasnya.
Gugatan Disayangkan
Dalam kesempatan itu, Danlanud Roesmin Nurjadin Pekanbaru, Marsekal Pertama TNI Henri Alfiandi, mengaku menyayangkan upaya hukum Citizen Law Suit atau gugatan warga negara terhadap pemerintah, terkait kabut asap.
Menurutnya, saat ini Satgas Karhutla Riau terus berusaha melakukan pemadaman api. "Kita sedang berusaha memadamkan kebakaran, tiba-tiba ada yang mensomasi pemerintah daerah dan pusat. Ini maksudnya apa? Saya terus terang saja ini tidak memberikan contoh yang baik," ujar Henri.
Lebih lanjut, Henri mengatakan seharusnya LSM dan LAM Riau turut serta membantu mencegah terjadinya Karhutla dengan memberikan sosialisasi ke masyarakat. "Jangan malah saling menjatuhkan seperti ini," ungkapnya.
Selanjutnya, Henri meminta kepada LSM dan LAM Riau yang mengajukan gugatan CLS, agar sekali-kali mengunjungi Satgas Karhutla Riau di Lanud Roesmin Nurjadin Pekanbaru, untuk melihat bagaimana upaya petugas dalam melakukan pemadaman kebakaran.
"Sekali-kali ke sinilah. Lihat bagaimana kita semua bekerja berusaha memadamkan kebakaran," ajak Hendri.
"Jadi ini adalah tugas kita bersama untuk mensosialisasikan ke masyarakat agar tidak lagi membakar dalam membersihkan lahan. Terutama kepada LAM Riau sebagai pemangku adat yang dituakan. Seharusnya bisa bekerjasama menanggulangi Karhutla," sambungnya lagi.
Menanggapi hal itu, Ketua Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau, Al Azhar, mengatakan, gugatan CSL tersebut bukan atas nama lembaga, melainkan atas nama pribadi.
"LAM Riau tidak terlibat dengan CLS itu, karena itu memang bukan gugatan lembaga, tapi individu warga negara. Yang digugat adalah kebijakan yang dianggap salah atau kurang, sehingga menimbulkan kerugian pada warga negara," terangnya.
Menurutnya, semua orang ingin bebas dari keterancaman bencana ekologis itu. Dia menegaskan, CLS adalah upaya saya selaku individu warga negara untuk memenuhi harapan bersama tersebut.
"Sebagai hak, CLS diajukan dengan landasan semangat dan tujuan memperbaiki, bukan 'memusuhi'," jelas AL Azhar.
Sebagai pribadi (sesuai mekanisme CLS), Al Azhar menganggap waktu 18 tahun adalah masa yang cukup lama untuk menentukan kebijakan, regulasi, strategi, cara, dan tindakan terbaik atau best practice untuk mencegah dan menanggulangi kebakaran hutan dan lahan yang menimbulkan asap.
"Gugatan itu adalah atas kejadian asap tahun 2015, dengan tujuan agar tidak terulang lagi selamanya," harap Al Azhar
Sedangkan yang menjadi gugatan adalah kebijakan yang dianggap salah atau kurang, sehingga menimbulkan kerugian pada warga negara.
Terkait dengan tradisi masyarakat yang membakar lahan dirinya menyakatan bahwa, LAMR sejak Januari 2014 sudah menerbitkan Warkah Amaran kepada seluruh masyarakat Riau untuk tidak melakukan pembakaran dan meminta aparat hukum untuk menindak tegas siapa saja yang masih membakar.
Namun, peraturan yang membolehkan membakar maksimal 2 haktare memberikan celah hukum bagi meraka untuk membakar.
"Aturan tersebut harusnya diamandemen, diiringi dengan solusi nyata bagi masyarakat kecil untuk membersihkan lahan tanpa membakar," tutupnya. (dod)