Menelisik Politik Narsistik
Kursi kekuasaan selalu menjadi magnet. Alhasil, setiap orang berlomba-lomba untuk mendudukinya. Persoalan dirinya punya kapasitas, kapabilitas, hal itu tidak lagi menjadi prioritas, yang penting dalam kacamata dirinya, ia mampu dan layak untuk duduk di singgasana kekuasaan. Baginya, praktik politik hanya dipahami secara behavioralistik dan utilitarian, atau didasari oleh who get what, when and how.
Fenomena inilah yang kian menjamur dalam setiap pemilihan dan perebutan kursi kekuasaan. Seperti kursi kepala daerah, DPR, DPD, DPRD dan jabatan publik lainnya. Berbagai cara dilakukan, mulai dari menampilkan diri dalam baliho-baliho, poster dan media massa sampai terjung langsung ke masyarakat. Menampilkan citra diri yang amanah, teladan, religius dan dekat dengan rakyat. Padahal, realitasnya tidak selaras dengan slogan dan ungkapan yang ditawarkan. Laku politik narsistik inilah yang kini mewabahi alam demokrasi Indonesia.
Istilah narsistik pertama sekali digunakan dalam psikologi oleh Sigmund Freud dengan mengambil mitologi Yunani yang bernama Narcissus, seorang pemuda yang senang memuji diri sendiri. Suatu ketika dia dikutuk, sehingga jatuh cinta kepada bayangannya sendiri.Itulah sebabnya, kata narsis menggambarkan seseorang yang terlalu mengagumi diri sendiri, percaya diri berlebihan (over confident). Narsistik adalah perasaan cinta yang berlebihan terhadap diri sendiri. Christopher Lasch dalam The Culture Of Narcissim (1985) melukiskannya sebagai segala bentuk “penyanjungan diri” (self admiration), “pemuasan diri” (self satisfaction) atau “pemujaan diri”(self glorifacation)
Kini, tokoh Narcissus melanda alam politik Indonesia. “Pemujaan” terhadap diri sendiri secara berlebihan, sehingga muncul tokoh-tokoh yang menampilkan citra diri yang berbeda dengan realitas. Alhasil, muncul tokoh yang mengklaim dirinya dekat dengan rakyat, pembela wong cilik, akrab dengan semua lapisan masyarakat dan mudah berkomunikasi dengan rakyat. Sehingga citra positif semu itu bisa menjebak rakyat. Tak ubahnya seperti iklan yang menggiurkan, tetapi berbeda dalam kenyataan.
Melihat fenomena menjamurnya politik narsistik ini, melahirkan beragam pertanyaan publik. Benarkah ini buah dari suburnya pohon demokrasi di Indonesia?, atau jangan-jangan publik begitu mudahnya dirayu dan ditipu dengan “gula-gula” citra positif?. Alam demokrasi satu sisi menampilkan ruh positif kebebasan bersuara dan berpendapat di ruang publik, serta terbukanya peluang bagi setiap orang meraih dan menduduki kursi kekuasaan. Namun disisi lain, tercederainya demokrasi oleh para pelaku dan pemburu kekuasaan kian terbuka lebar. Seperti terpilihnya pemimpin yang hanya memiliki kapital minus kapasitas dan kapabilitas.
Sebab,dengan melimpahnya kapital, seseorangbisa merubah citra dirinya seketika dengan menggunakan “kamera politik 360”. Sehingga hasil jefretannya terlihat indah dari realitas yang sesungguhnya. Menelisik prilaku politik yang tumbuh dalam era politik sekarang, sejatinya tidak baik bagi rakyat dan bangsa. Bangsa akan ditumbuhi ilalang panjang kepemimpinan yang akan menghalang pohon kebangsaan melahirkan buah kesejahteraan. Sebab, politik narsistik sebagaimana ungkapan Mahfud MD adalah penyakit yang akan mengganggu tumbuhnya pemimpin yang profetik. Untuk itu memotong, prilaku politik narsistik menjadi urgen, agar tidak kian berkembang dalam ladang Indonesia. Langkah-langkah tersebut antara lain.
Pertama, pemberdayaan masyarakat. Jalan panjang politik harus terus diintip rakyat (watchdog). Jangan membiarkan kenderaan dan pelaku politik melenggang dan melanggar lalu lintas janji mereka dengan rakyat. Untuk itu mengfungsikan mata telinga rakyat menjadi kata bertuah dalam upaya menghadang munculnya politikus narsistik. Sehingga mata rakyat bisa melihat dan membedakan mana pemimpin yang loyang, dan mana yang emas.
Kedua, pendidikan politik. Menyadarkan rakyat akan haknya sebagai rakyat. Antonio Gramsci menyebutnya sebagai bagian tanggung jawab negara “ the state must be conceived of as an educator”. Sehingga rakyat tidak terus menerus terjerembab dalam kubangan kebodohan politik.
Menjadi rakyat yang melek politik akan membuat politikus narsistik semakin terjepit. Untuk itu, pendidikan politik menjadi teras penting guna mewujudkan demokrasi yang berpihak dan menguntungkan rakyat, bukan demokrasi semu yang akan menjadi pentas politikus-politikus narsis. Mengutip perkataan penyair Jerman Bertolt Brecht,“Buta yang terburuk adalah buta politik, dia tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, semua tergantung pada keputusan politik”.
Ketiga, kaderisasi partai yang baik. Selama ini, kaderisasi partai politik tidak berjalan dengan maksimal, sehingga politikus-politikus karbitan dengan mudah mendapatkan posisi penting di partai.Jalur kaderisasi teralienasi dan tidak lagi menjadi pilihan utama dalam menempati posisi di partai. Kondisi ini lahir karena kapital telah merasuki dan meracuni partai politik. Sehingga banyak kader-kader potensial yang tidak memiliki kapital terjungkal dari percaturan, yang muncul adalah calon-calon pemimpin yang dibesarkan uang, bukan karena kualitas kepemimpinan.
Sebuah bangsa yang dipimpin oleh orang-orang narsis, hanya akan membuat perjalanan demokrasi kian terkikis. Sebab,citra baik, amanah, dekat dengan rakyat, hanya pencitraan diri yang jauh dari realitas. Alhasil, rakyat terus tertipu dengan pilihannya dan hanya bisa merasakan penyesalan. Semoga ke depan bangsa ini selamat dan terhindar dari “artis-artis” politisi narsis. ***
Penulis merupakan akademisi