Ekspektasi Konferensi OKI
Organisasi Kerja Sama Islam menggelar Konferensi Tingkat Tinggi Luar Biasa di Jakarta, 6 hingga 7 Maret 2016. Topik utama perhelatan multilateral organisasi negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim ini adalah Palestina.
Lebih khusus lagi, 57 negara anggota OKI akan membahas isu kemerdekaan Palestina yang masih dijajah zionis Israel.
Apakah KTT LB kelima OKI di Jakarta ini akan menghasilkan sesuatu yang luar biasa?
Tentu bukan pertanyaan sederhana untuk dijawab. Namun setidaknya, kita dapat mengamati dari perspektif nasional Indonesia. Dari perspektif ini, kebijakan luar negeri Indonesia selaku tuan rumah tentu tidak dapat terlepas dari inisiatif penting penyelenggaraan KTT LB.
Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi menyatakan, kesediaan Indonesia menjadi tuan rumah KTT LB bermula dari permintaan Arab Saudi dan Palestina. Dalam sebuah pertemuan tingkat menteri OKI, Arab Saudi dan Palestina menyatakan bahwa isu kemerdekaan Palestina sangatlah mendesak, terlebih dengan adanya bentrokan di Masjid al- Aqsa pada akhir 2015.
Arab Saudi dan Palestina kemudian meminta Indonesia menjadi tuan rumah KTT LB. Dari sisi kepentingan Indonesia, penyelenggaraan KTT LB sejatinya bukanlah respons tiba-tiba atas permintaan Arab Saudi dan Palestina.
Jika dirunut ke belakang, kepedulian atas Palestina merupakan salah satu implementasi dari janji Joko Widodo yang terucap dalam kampanye Pilpres 2014. Singkat kata, melalui terselenggaranya KTT LB, janji Jokowi khususnya kepada umat Islam Indonesia telah tunai.
Penunaian janji Jokowi tentu layak mendapatkan apresiasi. Setidaknya, presiden ketujuh ini menunjukkan keberpihakan terhadap aspirasi umat Islam Indonesia. Namun kita berharap, penunaian janji tidak terhenti pada penyelenggaraan konferensi.
Perlu ada hasil substantif yang menjadikan Indonesia dapat terus berkiprah dalam pembentukan norma internasional maupun aksi nyata menyangkut kepentingan umat Islam di dunia.
Setidaknya ada dua hal substantif yang perlu terus diperjuangkan Indonesia di OKI. Pertama, menjadikan OKI sebagai salah satu pemain kunci perundingan Palestina dan Israel. Sebagaimana diketahui, mediator utama proses perundingan kedua pihak berseteru ini adalah Amerika Serikat, Rusia, Uni Eropa, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Dari mediator utama di atas, lazim disebut 'kuartet', OKI apalagi Indonesia tidak mendapatkan posisi khusus. Memang ada PBB sebagai representasi OKI. Namun, OKI hanyalah bagian dari PBB, sementara PBB hanyalah satu dari empat pemain utama dalam proses perundingan. Dalam resolusi konflik, mediator memiliki peranan krusial. Kecil kemungkinan pihak mediator tidak memiliki kepentingan sama sekali.
Karenanya, dalam perundingan Palestina-Israel, sulit dikatakan jika Rusia, Uni Eropa, dan tentu saja AS akan mendukung kepentingan Palestina sepenuhnya. Atas dasar itulah, keberadaan OKI dalam mata rantai perundingan menjadi krusial khususnya sebagai penyeimbang negosiasi.
Timbul pertanyaan, bagaimana mungkin OKI menjadi mediator sementara posisinya tidak berpihak atau bahkan tidak mengakui Israel sebagai negara? Jawabannya sederhana: AS sekalipun belum pernah mengakui Palestina sebagai sebuah negara. Jika AS berhak menjadi mediator, OKI yang memiliki 30 persen hak suara di PBB seyogianya memiliki hak sepadan.
Hal substantif kedua yang perlu diperjuangkan pemerintahan Jokowi adalah menjadikan Indonesia pemain kunci OKI. Karena hanya dengan peran tersebut, Indonesia dapat mengedepankan kepentingan umat Islam di negeri ini serta menjadi representasi umat Islam dunia di pelataran antar bangsa.
Indonesia memang masih berkutat dengan kompleksitas masalah dalam negeri. Namun bukan berarti hal ini harus menjadi hambatan dalam aktivisme internasional.
Sebagai negara berpenduduk mayoritas Muslim, sudah sewajarnya jika OKI menjadi cornerstone kebijakan luar negeri Indonesia, di luar ASEAN yang selama ini telah dijalankan dengan baik. Indonesia seyogianya memiliki kredensial untuk menjadi pemain kunci OKI. Status negara berpopulasi Muslim terbesar di dunia adalah kredensial tak terbantahkan. Kredensial lainnya adalah aktivisme internasional di masa lalu.
Sebagaimana ditulis Amitav Acharya dalam Indonesia Matters: Asia's Emerging Democratic Power(2014), "The OIC has proved a practical vehicle for Indonesia's role as a facilitator and mediator." Memang konteks pernyataan tersebut adalah konflik masa lalu di Filipina. Namun apa pun konteksnya, Indonesia terbukti pernah menjadi pemain kunci OKI dalam sebuah mediasi perdamaian.
Pertanyaannya, apakah kredensial di atas hanya akan sebatas menjadi status dan memori sejarah? Tentu pemerintahan Jokowi selaku pengemban amanah rakyat yang dapat menjawab.
Satu hal yang perlu kita tegaskan kepada pemerintah, sangatlah mubazir jika besarnya investasi dan sumber daya yang dicurahkan negeri ini, termasuk melalui KTT LB, tidak serta-merta menjadi elemen utama kebijakan luar negeri Indonesia di masa depan.
Perhelatan KTT LB di Jakarta akan menjadi salah satu pengujian, apakah aktivisme Indonesia memperjuangkan kepentingan umat Islam hanya sebatas pemenuhan janji politik atau justru menjadi ekspektasi prestasi yang membanggakan negeri ini? Tentu kita berharap ini adalah prestasi berkelanjutan dan mencatatkan tinta emas kontribusi Indonesia bagi Islam dan dunia. ***
Pengajar Hubungan Internasional, Universitas Al Azhar, Jakarta.