Rehabilitasi Pecandu Narkoba
Untuk kesekian kalinya, Kepala Badan Narkotika Nasional Komisaris Jenderal Pol Budi Waseso, mengingatkan bahwa Indonesia saat ini benar-benar sudah masuk kategori darurat dan harus siap perang terhadap narkotika.
Di Indonesia, sekitar 5,9 juta jiwa masyarakat diperkirakan positif menjadi pengguna narkoba. Namun, seperti apakah formula penanganan yang paling tepat bagi pecandu narkoba. Menurut Budi Waseso, hingga kini masih belum pasti. Rehabilitasi bagi pecandu narkoba, walaupun penting, tetapi upaya untuk memastikan para pengguna narkoba yang direhabilitasi tidak kembali kecanduan harus diakui bukanlah hal mudah.
Dari 1,2 juta pecandu narkoba yang ada, dalam kurun waktu lima tahun terakhir, hanya 34.467 orang yang telah direhabilitasi dan itu pun tidak semua berjalan seperti yang diharapkan. Seseorang yang sudah bertekad keluar dari kebiasaan buruknya mengonsumsi narkoba, bukan tidak mungkin akan jatuh kembali pada kebiasaan lamanya karena lingkungan sosial dan kehidupan sehari-hari yang diijalani kurang kondusif.
Walaupun seseorang telah berkali-kali direhabilitasi, kalau habitat tempat mereka memulai hidup yang baru tidak berubah maka potensi untuk terjerumus dalam kekeliruan yang sama niscaya akan sangat besar.
Dalam kenyataan, sering terjadi seseorang yang telah melalui proses rehabilitasi, kemudian tergoda kembali untuk mencoba barang haram yang pernah dinikmatinya dulu dan lama-kelamaan mereka benar-benar sulit bangkit karena sudah telanjur menjadi pencandu narkoba yang kronis.
Biasanya, karena secara fisik dan atau psikologis mereka terus terobsesi oleh kenikmatan sesaat yang ditawarkan dan dibayangkan akan dapat diperoleh kembali jika mengonsumsi narkoba maka mereka pun tak kuat untuk menolak godaan yang pernah membuat mereka masuk penjara atau jatuh sakit.
Kasus yang dialami sejumlah artis yang berkali-kali tertangkap tangan memakai narkoba adalah bukti yang memperlihatkan betapa sukarnya menyadarkan dan menutup peluang korban narkoba untuk tidak lagi terjerumus dalam kesalahan di masa lalunya.
Multifaktor Penyalahgunaan narkoba pada dasarnya adalah pemakaian obat-obatan terlarang di luar indikasi medik, tanpa petunjuk atau resep dokter, di mana korban memakai sendiri narkoba secara relatif teratur dan berkala hingga pada titik pemakaian itu kemudian menimbulkan ketagihan (addiction) yang pada gilirannya sampai pada ketergantungan (dependence).
Newcomb, Maddahian, dan Bentler (1986) menyatakan, faktor penyebab seseorang hingga terlibat dalam praktik penyalahgunaan narkoba adalah kombinasi faktor biologi, perilaku, sosial, psikiatrik, dan kultural. Artinya, seseorang sampai terjerumus sebagai pecandu narkoba, ia bukan hanya secara psikologis rapuh dan mudah terpengaruh lingkungan sosialnya atau karena pernah mencoba-coba lalu ketagihan, tetapi juga karena secara sosial, mereka "termakan" tawaran gaya hidup masyarakat modern dan perkembangan nilai-nilai budaya baru yang menggoda.
Navaratman (1981) dalam penelitiannya terhadap fenomena penyalahgunaan narkoba di Malaysia menyatakan bahwa problem rumah tangga atau kondisi disfungsi keluarga yang ditandai dengan buruknya hubungan antara orang tua dan anak merupakan faktor yang signifikan berperan serta dapat mendorong anak kepada perilaku penyalahgunaan narkoba.
Di sisi lain, faktor kepribadian anak, remaja, atau kondisi internal psikologis orang yang rapuh, rendah diri, mengalami depresi, dan antisosial sering kali menyebabkan kemungkinan seseorang terjerumus dalam penyalahgunaan narkoba menjadi lebih besar. Shield (1976) menyatakan, faktor kepribadian yang ditandai dengan ketidakmampuan menyesuaikan diri dan kurang percaya diri merupakan kepribadian yang rawan terhadap penyalahgunaan narkoba.
Sementara itu, Rustagi et al dalam penelitiannya terhadap 152 orang penyalahguna narkoba menemukan bahwa kepribadian antisosial mempunyai risiko tinggi untuk penyalahgunaan narkoba. Seseorang yang tumbuh dalam habitat yang terbiasa berperilaku menyimpang, termasuk terbiasa merokok, minum-minuman keras, dan menggunakan narkoba, ketika menghadapi perubahan masyarakat postmodern yang penuh godaan umumnya dengan mudah mereka akan tergelincir.
Gaya hidup masyarakat yang permisif dan kontrol sosial yang longgar adalah dua hal yang menyebabkan peluang seseorang menjadi pecandu narkoba menjadi lebih besar.
Dengan kata lain, siapa yang potensial menjadi korban narkoba sebetulnya tidak hanya artis yang terbiasa dalam kehidupan malam atau orang-orang yang biasa menghibur diri di diskotek yang merupakan salah satu sarang narkoba.
Namun, siapa pun yang kepribadiannya rapuh dan tak kuat menghadapi perubahan sosial yang berlangsung dahsyat di sekitarnya, bisa saja mereka pelan-pelan akan berubah dari sekadar coba-coba kemudian menjadi pecandu yang kronis hingga tewas karena overdosis.
Di tengah perkembangan masyarakat postmodern, perilaku yang dianggap menyimpang oleh masyarakat luas, bagi kelompok yang menjadi pelaku dan mengadaptasi subkultur liyan (the others) justru dianggap sebagai hal yang benar. Jadi, seseorang yang mengonsumsi narkoba, memang secara hukum, moral, agama, dan sosial disepakati sebagai hal yang keliru.
Namun demikian, bagi mereka yang terlibat, hal itu bukan sekadar pelarian, melainkan justru dianggap sebagai bagian dari identitas sosial mereka: Menjadi cara untuk memperlihatkan siapa mereka kepada masyarakat luas.
Seorang pencandu narkoba yang tertangkap tangan oleh aparat dan kemudian direhabilitasi, walaupun secara medis sembuh, hal itu bukan menjadi jaminan mereka tidak akan tergelincir kembali pada kesalahan yang sama. Di kalangan pecandu narkoba, relapse, atau kambuh kembali adalah hal yang lazim terjadi, bahkan dengan tingkat intensitas yang bukan tidak mungkin makin parah. Seorang pencandu narkoba cenderung tidak akan risau dengan pandangan masyarakat, karena apa yang mereka lakukan adalah bagian dari cara mereka membangun identitas sosialnya.
Relapse, seperti yang selama ini banyak dialami para pencandu narkoba adalah hal yang lazim terjadi, sehingga menangani korban narkoba tidak akan pernah memadai jika hanya mengandalkan pendekatan medis dan hukum semata. Penyalahgunaan narkoba adalah masalah sosial yang dihadapi masyarakat di era postmodern.
Untuk menangani hingga tuntas kasus penyalahgunaan narkoba, yang dibutuhkan tak pelak adalah empati dan pendekatan yang benar-benar berbasis pada pemahaman subkultur pecandu narkoba. Selain dana yang tidak sedikit, untuk memastikan proses rehabilitasi berjalan dengan efektif, yang dibutuhkan tak pelak adalah dukungan keluarga dan masyarakat yang ekstra sabar. ***
Mahasiswa Program S-2 Communication and Media Studies Faculty of Art Monash, University Australia