Gagasan Perang di Syria
Gagasan perang di Siria dan Irak yang berkelanjutan kian sulit dipahami.Kalau Perang pada zaman dulu diidentikkan sebagai episode sejarahkuno. Istilah peradaban disebut “barbar. Bahkan barbar telah menjadi amat populer dikenal barbar culture, yaitu ketika ada adagium ingin hidup harus berperang, survival of fittesst.
Sekilas, terdapat kesan paradoks bagaimana menjelaskan tentang maksudnya dimensi hidup itu pertarungan. Peradaban dengan perang itu seolah olah menyatu.
Indikasi Itu dulu, sekarang kita boleh bersyukur zaman baru tidak lagi seperti itu. Sejarah peradaban membangun citra ideologi perjuangan mereka berubah berdasar masa. Shahira Fanny, wanita penyandang Doktor dari Universitas Arizona Amerika, mengatakan bahwa hasil studinya menunjukkan azas perang di Sirya Utopis. Topik studinya menarik. Hanya memang studinya terbatas pada sisi perang menurut ISIS. Artinya dia meneliti idiologi propaganda yang disajikan ISIS.
Dalam artikelnya berjudul, "What ISIS want to see you," sepanjang seribu kata, dalam Al Ahram Kairo, edisi 16 Februari 2016, memberi penjelasan gagasan perang ISIS di Sirya dan Irak tersebut. Catatannya, “Al wallla wal barra or laoyality dis vowal”. Dalam bahasa Arab bersama keluar atau dalam bahasa Inggris atau khianat.
Shahira yang juga ekspert di bidang komunikasi journalis ini, mengadakan studi selama setahun. Ia mengumpulkan foto dari publikasi resmi ISIS. Dipilih dari sejumlah foto.
Satu demi satu foto yang ditampilkan dalam majalah Dapiq milik ISIS sebanyak 528 foto, yang dihimpun dari majalah propaganda ISIS dalam rentang waktu satu tahun, 2014 sampai dengan 2015.
Setelah dipisah-pisah, dikategorikan foto propaganda tersebut diantaranya, pertama, kategori perang atau keganasan. Kedua, kategori isu utopis, kemudian terakhir ditemukan kategori ancaman pengaruh musuh dan pendukungnya. Seperti dikemukan dalam tulisannya di Harian Al Ahram Kairo tersebut, ternyata kategori pertama hasilnya 54 persen foto atau 270 buah foto itu menggambarkan perang yang ganas. Terdapat dengan foto parade miiter, tank dan senjata. Dari sejumlah foto tersebut menampilkan pesan perang yang dalam sudut pandang ini kekerasan yang ganas, senjata yang bicara. Ruang yang ditampilkan kejam dan ganas. Pelaku utama adalah miiter dengan wajah bengis. Saran pendukung keganasan dan kebengisan adalah senjata.
Kategori kedua, represesentasi 23 persen foto atau 148 dengan tema hukum syariat yang utopis, yaitu Alquran diajarkan dengan pedang. Pelajaran anak dengan persaudaraan sempit yang intolerans. Intinya, masyarakat yang tanpa toleransi. Kategori ketiga adalah representasi yang ditunjukkan oleh 13 persen foto atau 90 foto, yakni foto tentang korban bom, kelaparan dan ketakutan anak karena perang, juga kelaparan dan penderitaan. Pesan yang tersirat mempengaruhi khalayak, betapa kekejaman perang yang terjadi menimpa kemanusiaan.
Pesan utama dari kategori foto yang ketiga ini adalah empati, agar khalayak menaruh empati dan peduli. Pada gilirannya kepedulian bisa mendukung perjuangan ISIS. Social massage were lose used, tetapi pesan sosial yang kehilangan esensinya. Dari studi ini, bisa kita tambahkan, hasil studi tersebut menyimpulkan pokok utamanya, ISIS mengharapkan beberapa hal pertama, agar khalayak mengakui kegagahan dan kehebatan serta keberanian. Kedua, khalayak membangun kesedian untuk ajaran khilafah yang mereka miliki berintikan syariah yang utopis. Ketiga, masyarakat peduli, mau mengulurkan bantuan terlibat bersama mereka.
Kalau kita ambil studi Shahira di atas sebagai kajian strategis terhadap keberadaan ISIS, sebenarnya ada yang perlu kita perhatikan. Setidaknya dalam dua hal. Pertama, bisa kita fokuskan pada persfektip peradaban, yaitu “bar barian culture”. Sesuatu budaya yang membawa kegelapan. Kedua, agar budaya barbar ini kita hindari. Tegasnya, kita jangan masuk ke dalam jebakan gagasan ini. Bahwa perang sesuatu yang ada, tidak apa apa. Tetapi perang adalah pembelajaran yang buruk. Perang itu memusnahkan, membinasakan kemanusiaan.
Pada akhirnya, kita harus bersepakat perang Syria adalah perang buruk, mengancurkan kemanusiaan. Semoga para pemimpin negara yang terlibat menyadarinya. Sejarah akan mencatat ini semua sebagai keteledoran sejarah, kealpaan intelektual, kekeliruan peradaban. ***
Penulis Dosen Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (Uhamka), Jakarta