Wajah MA Kembali Tercoreng
Lembaga peradilan kita kembali menanggung aib memalukan setelah tertangkapnya salah satu pejabat Mahkamah Agung, dalam operasi tangkap tangan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi belum lama ini. Dalam operasi tersebut, KPK mengamankan Kasubdit Kasasi dan PK Kamar Perdata MA berinisial TS, bersama seorang pengusaha IS terpidana korupsi yang belum ditahan, dan seorang pengacara AL. Ketiganya diduga kongkalikong menunda putusan kasasi.
Dari OTT ini KPK juga berhasil menyita uang tunai sebesar Rp400 juta, uang tersebut berasal dari IS. KPK juga berhasil mengamankan sekoper uang (nominal belum disebutkan) dari rumah TS di kawasan Gading Serpong, Tangerang Selatan. Namun, asal-usul uang tersebut masih misterius. Apakah termasuk paket dari IS untuk menunda salinan putusan atau uang korupsi dari perkara lainnya. Sungguh ironis, tertangkapnya pejabat MA ini hanya berselang sebulan setelah MA meluncurkan zona bebas korupsi di internalnya. Itu artinya, karena perbuatan salah satu karyawannya ini, MA sebagai peradilan tertinggi yang menaungi empat lembaga peradilan (Pengadilan Negeri, Agama, Militer dan Tata Usaha Negara) belum bebas dari zona Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN), sangat disayangkan.
Meski nominal yang diamankan dari OTT ini tidak terlalu besar, ini menjadi langkah awal bagi nahkoda baru KPK yang saat ini dipimpin oleh Agus Rahardjo dan kawan-kawan, dalam memenuhi kepercayaan rakyat untuk memberantas KKN di Indonesia. Pasalnya, saat penyelesaian dan pemilihan pimpinan KPK beberapa waktu lalu, banyak kalangan yang meragukan sepakterjang dan kredibelitas pimpinan saat ini dalam menangkap tikus-tikus berdasi.
Daftar Merah MA.
Berdasarkan informasi yang penulis himpun, jauh sebelum tertangkap tangannya TS, KPK juga berhasil mengungkap kasus sejumlah pejabat tinggi MA lainnya. Tentu kita masih ingat dengan penangkapan staf MA Djodi Supratman, yang ingin mengkondisikan kasus perkara atas permintaan pengacara Mario Bernando. Djodi menerima sejumlah uang di kantor Mario dalam beberapa tahap. Selain itu, KPK juga telah menangkap mantan hakim tinggi pada Pengadilan Tinggi (PT) Yogyakarta Harini Wiyoso. Usai pensiun, Harini menjadi pengacara dan mencoba menyuap majelis kasasi yang terdiri dari Bagir Manan, Parman Suparman dan Usman Karim dengan uang kurang lebih Rp5 miliar.
Djodi dan Mario sama-sama mendapat hukuman dua tahun penjara. Ada pula kasus yang tidak sampai ke persidangan dan hanya diselesaikan secara internal. MA memecat staf hakim agung berinisial ISN, karena mencatut nama bosnya. Kasus lainnya, Hakim Agung Ahmad Yamani, memalsu putusan gembong narkoba Hengky Gunawan, dan mencoret amar putusan menjadi 12 tahun penjara. MA menyelesaikan kasus ini secara internal dengan memecat Yamani dan tidak meneruskan kasus ini ke tahap meja hijau. Terlibatnya sejumlah hakim dan pejabat penting di MA dalam kasus KKN, tentu saja semakin menggerus kepercayaan publik akan penegakan hukum yang bersih dan rasa keadilan. Mengingat peran MA yang sangat besar dalam penegakan hukum, terutama menentukan hukuman ideal bagi tersangka korupsi, harusnya hakim MA ‘buta’ agar tidak tergoda dengan berbagai suap menyuap melalui terdakwa atau lobi-lobi pejabat MA itu sendiri. Tergerusnya kepercayaan publik terhadap kinerja lembaga peradilan, khususnya MA ini juga seiring dengan data yang dilansir ICW.
Vonis Ringan
ICW melansir data pada 2015, hukuman pidana korupsi semakin ringan dibandingkan tahun 2014. Pada semester pertama tahun 2014, rata-rata vonis untuk pelaku korupsi sekitar dua tahun dan sembilan bulan. Sementara, selama semester pertama 2015 rata-rata hakim menjatuhkan vonis terhadap pidana korupsi hanya dua tahun dan satu bulan penjara. Dalam periode itu, ICW memantau sebanyak 193 perkara korupsi dengan 230 terdakwa perkara yang telah diperiksa dan diadili di pengadilan, baik di tingkat pertama, banding maupun kasasi serta peninjauan kembali di MA. Dari ratusan perkara tersebut, sebanyak 163 terdakwa dihukum satu hingga empat tahun dan masuk dalam kategori ringan, sebanyak 12 terdakwa divonis sedang dengan hukuman sekitar empat hingga 10 tahun penjara dan hanya tiga terdakwa yang divonis berat dengan hukuman di atas 10 tahun.
Lebih mengejutkan, terdapat sebanya 35 terdakwa diputus bebas oleh pengadilan tipikor tingkat pertama dan tiga terdakwa diputus bebas di tingkat MA. Padahal, dibandingkan dengan semester yang sama pada tahun 2014, hanya 20 terdakwa perkara korupsi yang divonis bebas. Menurut Peneliti ICW Aradilla Caesar, selain vonis bebas, rata-rata putusan hakim untuk terdakwa korupsi juga sangat rendah yaitu dua tahun dua bulan. Arad menyatakan, tuntutan jaksa yang ringan dan tidak adanya pedoman penanganan kasus korupsi bagi para hakim dari MA menjadi penyebab rendahnya putusan hakim pengadilan Tipikor itu.
“Jaksa masih menuntut dengan tuntutan yang sangat ringan, rata-rata dituntut 1 tahun 6 bulan. Dari awal tuntutan itu ringan, sehingga pengadilan tipikor juga melakukan memutuskan cukup ringan. Kedua MA ini tidak memiliki pedoman pemidanaan, jadi ketika dihadapkan pada satu kasus dan diputuskan bersalah Hakim bisanya menjatuhkan hukuman dengan hati nurani tidak ada hitungan yang dapat dipertanggungjawabkan sehingga ada disparitas putusan. Pakai rasa-rasa hakim saja, jadi tidak ada batasnya,” jelas Arad.
Tak adanya pedoman itu, menurut Arad menyebabkan perbedaan vonis terhadap tiap terdakwa kasus korupsi juga tinggi, untuk kasus dengan kerugian negara yang sama hukumannya bisa berbeda jauh. Tak heran jika untuk kasus dengan tuntutan hukuman yang tinggi pun, vonisnya bisa sangat rendah. Sebagai contoh, kasus terdakwa pada kasus pencucian uang dalam proyek Migas di Batam, Deki Bermana dibebaskan hakim PN Pekanbaru, padahal jaksa menuntut 15 tahun (BBC Indonesia). Tuntutan rendah dari jaksa penuntut umum, seharusnya tidak menjadi alasan sekaligus mempengaruhi hakim dalam membuat putusan. Dalam konsep peradilan pidana yang bertujuan menemukan kebenaran materil, harusnya hakim berperan aktif dengan menggali nilai-nilai dan faktor lain dalam mengadili perkara, terutama membuat putusan. H
Hakim diberi kebebasan sepenuhnya dan memiliki keyakinan serta penilaian tersendiri dalam membuat putusan. Hakim tidak hanya berpatokan kepada dakwaan dan tuntutan jaksa penuntut. Selain berpedoman kepada UU Pemberantasan.
Tipikor, hakim hendaknya juga mempertimbangkan kondisi lainnya. Korupsi merupakan kejahatan sistematis yang memberi dampak buruk bagi keberlangsungan bangsa dan kelangsungan moral integritas generasi penerus. Jika tidak ada efek jera yang dialami terpidana tipikor melalui hukuman penjara, seharusnya hakim aktif menggali nilai-nilai lain di luar UU Pemberantasan Tipikor. Jika hakim hanya berpedoman kepada dakwaan dan tuntutan jaksa, maka hal tersebut hanya sebagai tindak lanjut hukuman bagi kejahatan korupsi, bukan sebagai salah satu upaya untuk memberantas dan menekan kejahatannya.
Alangkah bijaksananya jika hakim membuat terobosan baru dalam menghukum terdakwa kasus koruptor demi memberi efek jera, sembari berharap kejahatan kera putih ini dapat diminimalisir melalui keputusan hakim itu. Menurut hemat penulis, upaya memberi efek jera terhadap pelaku koruptor hanya ada di tangan hakim sebagai "wakil Tuhan" di muka bumi yang memiliki kekuasaan penuh tanpa intervensi dari pihak manapun. Dengan berpedoman kepada rasa keadilan yang hakiki serta nilai-nilai Pancasila, seharusnya para hakim memiliki cara sendiri dalam memberi efek dalam menghukum terdakwa kasus korupsi. ***
Alumni Fakultas Hukum, Univesitas Muhammadiyah Sumatera Utara.