Songsong Pemilukada Serentak

Songsong Pemilukada Serentak

Indonesia sebagai suatu negara kesatuan yang berbentuk republik, dalam menjalankan sistem demo-krasi dan sistem pemerintahannya harus melakukan pemilihan umum (pemilu). Pemilu dalam rangka memilih pemimpinnya, sebagai suatu negara hukum tentulah berlandaskan pada falsafah dan konstitusi bangsa yang dianutnya, yaitu Pancasila dan UUD 1945 serta dengan perangkat perundang-undangan lain di bawahnya. Begitu pun, pembahasan mengenai pemilu kepala daerah (pemilukada) tentunya harus sama mengacu pada falsafah dan konstitusi bangsa, seperti halnya pemilu.

Implementasi UUD 1945 dikaitkan dengan Pasal 22 E Ayat 1 sampai 6. Dari landasan konstitusi bangsa, maka UU di bawahnya sebagai acuan pemilukada serentak adalah: (a) UU RI Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, (b) UU RI Nomor 2 Tahun 2011 tentang Revisi UU Partai Politik, (c) UU RI Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilu, (d) UU RI Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), (e) Peraturan Pengganti UU (Perppu) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pilkada yang sudah disetujui oleh DPR di parlemen.

Adanya cukup banyak pemilukada yang rencananya akan digelar serentak di Indonesia pada 2015, maka bisa dikatakan Indonesia sebagai salah satu negara yang paling sibuk menggelar pemilihan kepala daerah. Dengan dukungan 34 provinsi, 399 kabupaten, dan 98 kota, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menyebutkan negeri ini menyelenggarakan pemilu di daerah hampir tiap dua hari sekali. Belum lagi ditambah dengan pemilu legislatif, pemilu presiden, dan pemilu putaran kedua.

Penyelenggaraan pemilukada yang begitu banyak dan sering dilangsungkan di Indonesia dinilai sangat memboroskan anggaran daerah. Bahkan bagi daerah yang kemampuan fiskalnya rendah, kewajiban membiayai pilkada mengurangi belanja pelayanan publik, seperti urusan pendidikan dan kesehatan. Karena itu, penyelenggaraan pemilukada serentak dipandang lebih tepat karena dilihat lebih hemat dan efisien.

Menurut Sekretaris Jenderal Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas Fitra) Yuna Farhan, untuk biaya pilkada kabupaten/kota, dibutuhkan dana sekitar Rp 25 miliar, sedangkan pilkada provinsi sekitar Rp 100 miliar. Jadi, untuk keseluruhan pilkada di Indonesia, diperlukan sekitar Rp 17 triliun.

Namun, bila pemilukada dilaksanakan serentak, dana yang diperlukan bisa ditekan sekitar Rp 10 triliun. Biaya yang dikeluarkan untuk pemilukada serentak ini ada penghematan APBN (Harian Kompas, 4 September 2012). Adanya pelaksanaan pemilukada serentak dinilai dapat terjadi penghematan biaya dan waktu penyelenggaraan.

Pemilukada yang dilaksanakan di Provinsi Aceh dan Sumatra Barat dapat dijadikan contoh. Di kedua daerah ini, biaya penyelenggaraan pemilukada terpangkas hingga 60 persen setelah Aceh menggabungkan pelaksanaan pemilihan gubernur dengan 17 pemilihan bupati, dan Sumatra Barat menggabungkan pemilihan gubernur dengan 11 pemilihan bupati/wali kota.

Indikasi pemborosan anggaran setidaknya terlihat dari tiga masalah pencalonan pasangan kepala daerah dalam proses penyelenggaraan pemilukada. Pertama, terjadi politik uang dalam bentuk "ongkos pasangan" kepada partai politik yang memang berhak mencalonkan. Kedua, terjadi ketegangan dan bahkan perpecahan internal parpol akibat ketidaksepakatan pengurus parpol dalam mengajukan pasangan calon.

Ketiga, pencalonan yang hanya mempertimbangkan "ongkos pasangan" mengecewakan masyarakat karena calon yang diinginkan tidak masuk daftar calon. Hal ini menyebabkan masyarakat apatis terhadap pemilukada sehingga partisipasi pemilih menurun. Di lain pihak, hal ini menyebabkan masyarakat marah sehingga bisa menimbulkan konflik terbuka.

Pemilukada serentak membuat masyarakat bisa mengevaluasi kinerja kepala daerah dan anggota DPRD dengan memilih tokoh dan partai yang sama demi efektifnya pemerintahan. Hanya saja di balik kelebihan itu, pemilihan dengan cara ini juga menyimpan kelemahan, misalnya, masyarakat relatif tak cukup punya waktu untuk memutuskan siapa yang akan dipilih.

Banyaknya jumlah calon yang harus dipilih dalam waktu bersamaan membuat masyarakat cenderung memilih figur yang dikenal ketimbang figur lokal yang sebenarnya bagus tapi kalah populer. Konflik masif dalam pemilukada serentak pun rawan terjadi. Mengingat hampir semua pilkada berujung gugatan, tak terbayangkan betapa banyaknya jumlah gugatan hukum yang akan diajukan.

Menanggapi wacana di masyarakat, Kemendagri telah menyiapkan beberapa formulasi gelaran pilkada serentak yang kemungkinan terlaksana setelah Pemilu 2014. "Gelaran pilkada dibagi dua kelompok," kata Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Djohermansyah Djohan dalam diskusi di ruangan Fraksi Partai Golkar (FPG), di gedung parlemen, Jakarta, 14 September 2012.

Salah satu usul yang disampaikan Kemendagri dalam pembahasan RUU Pilkada adalah memundurkan gelaran Pilkada 2014 menjadi 2015. Setahun setelah pemilu itu, akan ada 279 pilkada yang digelar serentak. Pengelompokan kedua digelar pada 2018 yang merupakan gabungan dari tiga pilkada, yakni 2011 hingga 2013. Dengan pilkada serentak itu, memunculkan konsekuensi. "Harus ada perpanjangan masa jabatan dengan menggunakan penjabat (pejabat sementara) di sejumlah daerah," ujarnya.

Adanya pemilukada serentak, maka pemerintah (pihak Kemendagri), KPU pusat maupun daerah, dan DPR maupun DPRD I dan II serta aparat kepolisian dan TNI secara serentak dan bahu membahu mempersiapkan sesuai kewenangannya. Persiapan secara bersama-sama lintas kelembagaan akan dapat menyukseskan pemilukada serentak. Tugas besar ini yang dilaksanakan secara gotong royong, termasuk pelibatan masyarakat akan dapat meminimalisasi konflik horizontal yang dikhawatirkan akan terjadi. Semoga pemilukada serentak dapat terselenggara pada akhir 2015. (rol)
Penulis adalah peneliti pada Badan Penelitian dan Pengembangan Kemendagri.