Akankah Era Kelam Penegakan Hukum Berulang?
Adanya debat pelemahan KPK lewat revisi UU KPK sejatinya adalah persoalan rakyat tertindas dan elite bangsa.
Elite dukung revisi, rakyat menolaknya Hal ini sebelumnya sudah terjadi. Lalu, akankah era kelam itu akan terulang? Demikianlah terbersit dari mengambil paham atas pro kontra Revisi UU KPK, yang tidak lain adalah paham antara baik dan buruk bangsa Indonesia, jika kita tarik kelompok yang menentang revisi adalah rakyat yang berjumlah 90 persen, sisanya 90 persen adalah kelompok elit.
Kita mencatat keberhasilan KPK antara lain bisa memenjarakan para petinggi, yang ini adalah kelompok tak tersentuh, Meskipun berbuat korupsi, tapi tidak dimejahijaukan. Itulah era kelam penegakan hukum di negeri kita, alias aman. Tidak begitu perlakuan atas rakyat kecil.
Maling ayam cepat ditangkap lalu dipenjara. Kembali, sekali lagi ini soal baik dan buruk. Ini sudah klasik dan lama ditabuhkan oleh Socrates, tentang yang benar dan yang baik.
Dalam pandangan filusuf Yunani yang amat terkenal itu, persoalan pelik manusia terkait masalah yang benar dan baik. Pada banyak kondisi zaman esensi kebenaran dan kebijakan itu diabaikan.
Dalam tesisnya, laki laki yang hidup tahun 500 sebelum Masehi itu, menabuhkan genderang visi inetelektual kemanusiaan. Untuk pencerahan zaman, memakmurkan dunia.
Bukan menggelapkan peradaban, memilukan kehidupan insan. Ia ternyata tidak sendirian. Dibelakang hari muncul anak manusia bernama Hegel. Mengambil inspirasi sang Socrates, ia urai dengan ungkapan kebenaran universal, dengan melengakapinya dengan metode virtual yang rational. Yaitu kebenaran yang metafisik dalam ultimte natural.
Menurut Hegel, kebenaran universal adalah berelasinya metafisika alam dan manusia menjadi kebenaran idealis. Kebenaran yang universal, rational dan virtual.
Jadi kebeneran yang diiringi oleh nilai kebaikan,moral kebajikan. Dalam pandangan Hegel (1771-1831), kebenaran itu adalah idealis yang harus diupayakan, sesutu yang dicari, sesuatu yang dicita-citakan. Bukan kebenaran tanpa nilai, tanpa upaya, atau tanpa kepahaman (reasoning).
Pandangan Agama Islam amat lengkap, dengan ajaran kebenaran yang berprinsip tidak menuruti hawa nafsu. Kebenaran adalah ditentukan oleh iman ketaatan (qalbu).
Perilaku yang taat kepada Allah, akan terhindar dari ketidakbenaran. Jadi kebenaran jika tiap kerja yang mengikuti petunjuk. Kesalahan adalah apabila menyimpang dari petunjuk-Nya. Ali bin Abi Tahlib, mendefenisikan perbuatan yang benar adalah yang mentaati Allah.
Terletak dalam hati nurani atau qalbu. Kebenaran yang sejatinya adalah ditentukan hati nurani atau qalbu yang taat. Sementara perbuatan yang tidak benar adalah perbuatan hawa nafsu pengaruh syaitan.
Ini semua, entah sudah setuju revisi dan yang menolak kita sudah memasuki arena pergulatan hukum dan kebenaran. Hukum yang terpengaruh kepentingan nafsu, dan hukum untuk kebenaran. Pelemahan KPK identik dengan kepentingan atau pengaruh nafsu. Sementara memperkuat KPK identik dengan menegakkan hukum yang kuat, adil dan moral.
Akhirnya, yang amat penting agar kita tidak kembali ke masa lalu era kelam pengakan hukum. Karena itu, apapun ceritanya dan alasannya KPK harus kita perkuat dengan kesungguhan hati. Karena itu identik dengan kebenaran dan ketaatan kepada kebenaran, berdasar kepada nilai petunjuk agama. Inilah jalan sebenarnya. Rasa rasanya, sungguh kita berutang budi dengan pemikiran ini.
Mereka sangat berpihak pada kebenaran yang baik, kebenaran yang bukan saja baik, juga kebenaran yang bernilai. Karena itu marilah kita berjuang, karena tanpa perjuangan tak ada kemenangan. ***
Ketua Pusat Kajian Peradaban Melayu Jakarta