UU Terorisme tak Perlu Direvisi
JAKARTA (riaumandiri.co)- Anggota Komisi III DPR RI dari FPKB Jazilul Fawaid menegaskan, kewenangan Badan Intelejen Negara (BIN) tidak perlu ditambah dengan kewenangan menangkap dan menindak terduga terorisme.“Apalagi penangkapan itu dibutuhkan alat bukti yang kuat, sehingga bukan pada tempatnya kalau BIN diberi kewenangan penangkapan tersebut.
Yang perlu adalah bagaimana deteksi dini bisa dilakukan agar terhindar dari tindakan terorisme,” tegas Jazilul dalam diskusi "Pro Kontra Revisi UU Terorisme" bersama Wakil Ketua DPD Farouk Muhammad dan Ketua Presidium Indonesian Police Wacth (IPW) di Gedung DPR, Selasa (16/2).
Farouk Muhammad menyatakan tidak setujujika revisi UU Terorisme hanya untuk memberi kewenangan kepada BIN untuk penindakan dan penangkapan, apalagi menangkap terduga terorisme.
“Hanya harus diberi kelonggaran bagi aparat atau Densus 88 untuk menindak kejahatan yang luar biasa (extra
ordinary crime) ini. Namun, meski harus memperhatikan faktor HAM,” kata Farouk yang juga guru besar PTIK itu.
Menerut Farouk, yang harus dibenahi adalah operasional di lapangan agar ideologi terorisme itu tidak tumbuh-subur di tengah masyarakat. "Jangan sampai membuat blok di masyarakat bahwa yang ini mendukung dan yang itu kontra terorisme. Atau deradakalisasi, upaya menjauhkan dari pemahaman yang radikal yang dilakukan BNPT itu belum menggema ke masyarakat,” ungkapnya.
Neta S Pane juga sependapat, kasus bom Thamrim Jakarta, tidak bisa dijadikan alasan untuk merevisi UU Terorisme tersebut. Sebab, tak ada di dunia ini, BIN memiliki kewenangan penangkapan, sehingga cukup dengan deteksi dini.
“Jadi, bukan UU-nya yang direvisi, melainkan aparatur BIN-nya yang harus dibenahi. Apalagi UU ini juga baru,” ungkapnya.
Sedangkan BNPT bertugas membuat startegi menembus jaringan teroris sampai ke Lapas, agar residivis sekeluar dari penjara tidak kembali menjadi teroris. "Jadi, tak ada alasan revisi UU itu karena terorisme dari tahun ke tahun terus menurun,” jelas Neta.
Neta menyebutkan ada beberapa hal yang harus dievaluasi dalam menangani tindakan terorisme. Pertama, bagaimana residivis itu tidak kembali menjadi teroris. Kedua, memperbaiki program pembinaan di Lapas, Ketiga, Polri harus transparan dalam penggunaan dana asing. Keempat memperkuat BIN.
Kelima, pengawasan terhadap proses penindakan oleh Densus 88. “Tak boleh Densus 88 menjadi algojo dan eksekutor yang bisa membunuh siapa saja yang diduga teroris. Sebab, kalau salah, anak-anak dan keluarganya pasti akan menaruk dendam terhadap aparat," pungkasnya.***