Lika Liku Tenaga Guru
Tugas pokok dan beban kerja guru tertuang dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 Pasal 35 ayat 1 dan 2.
Pertama, beban kerja guru mencakup kegiatan pokok, yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, membimbing dan melatih peserta didik, serta melaksanakan tugas tambahan.
Kedua, beban kerja guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sekurang-kurangnya 24 jam tatap muka dan sebanyak-banyaknya 40 jam tatap muka dalam 1 minggu. Sejatinya, amanah itu taklah berat-berat amat. Hanya saja, aplikasi di lapangan menjadi tenaga guru penuh lika liku.
Jika mengulas beban kerja guru dimaksud, pada satu sisi guru mendapat tugas tambahan yang mungkin saja tak diperhitungkan pemegang kebijakan.
Seumpama guru sebagai wali kelas, piket harian, pembina kegiatan ekstrakurikuler, pembina OSIS dan lain sebagainya. Meski demikian, cabaran atas nama abdi negara dilakoni sepenuh hati. Lebih jauh, penulis mencoba mengulik beberapa romantika tenaga guru di era teknologi informasi. Pertama, guru disibukkan pengisian Pendataan Ulang Pegawai Negeri Sipil Elektronik atau e-PUPNS. Melalui sistem canggih ini, masing-masing PNS memutakhirkan data sendiri.
Dengan proses ini, BKN mengharapkan proses pemutakhiran data PNS lebih cepat dan efektif. Bagi yang tak melakukan, bisa jadi bakal gigit jari. Pasalnya, data mutakhir salah satu acuan penentuan grade dan berkorelasi dengan besaran tunjangan kinerja. Proses e-PUPNS dimulai Juli hingga Desember 2015.
Adapun caranya, PNS melakukan pemeriksaan data yang di database kepegawaian BKN. Selanjutnya, lakukan perbaikan data tak sesuai serta menambahkan, melengkapi data yang belum lengkap. Bagi guru yang belum menguasai IT, ini barangkali batu sandungan. Mereka ‘dipaksa’ mahir secepat kilat.
Sedangkan mengisi data online cukup rumit dan butuh waktu. Ditambah 'warning' diberhentikan jika tak login sampai batas waktu. Masalahnya, terkadang jaringan BKN pelan nian. Kondisi ini jadi momok bagi tenaga guru. Mereka mesti berjibaku hingga subuh tiba. Hal demikian berefek pada kualitas mengajar pada anak didik kurang maksimal.
Kedua, Uji Kompetensi Guru (UKG). Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebut, guru sebagai pendidik merupakan jabatan profesional. Untuk itu, profesionalisme guru dituntut berkembang sesuai perkembangan zaman, perkembangan teknologi, perkembangan ilmu pengetahuan, serta kebutuhan masyarakat.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melaksanakan pengukuran profesionalisme guru secara akademis dan non akademis. Pengukuran akademis dilakukan dalam bentuk UKG, dan pengukuran non akademis melalui Penilaian Kinerja Guru (PKG). UKG bergulir sejak 2012. Bertujuan mengetahui level kompetensi guru dan pemetaan penguasaan guru pada kompetensi pedagogik dan kompetensi profesional. Pelaksanaannya fokus pada identifikasi kelemahan guru dalam penguasaan kedua kompetensi di atas.
Hasil UKG digunakan sebagai bahan pertimbangan program pembinaan dan pengembangan profesi, serta pemberian penghargaan dan apresiasi kepada guru. Atas 'pemandangan' demikian, tenaga guru terkadang malah mendapat cibiran. Ada pun UKG online 2015 yang meluncur sejak November lalu, boleh jadi kian menantang bagi tenaga guru. Dipaparkan, jika hasil UKG rendah, maka guru bersangkutan tak layak berada di depan kelas. Punishment-nya, harus mengikuti pelatihan pakai biaya sendiri. Konon hasil UKG akan dikirimkan ke sekolah dan orangtua siswa. Ini bukan tak mungkin 'pukulan mental' berikutnya bagi para guru. Pada dasarnya, UKG merupakan uji teoritis bagi guru. Hasilnya mengarah pada aspek pengetahuan.
Pertanyaannya, apakah hasil teori semata bisa menjadi ukuran ketidaklayakan guru mengajar? Sementara betapa banyak kompetensi guru tak dijangkau UKG. Praktik mengajar puluhan tahun bagi sebagian guru tak diperhitungkan. Kelimpungan guru dalam penguasaan IT terabai adanya. UKG serasa menyulap tenaga guru mesti 'serba bisa'.
Ketiga, Penilaian Kinerja Guru. Hal ini terkait pembinaan karier kepangkatan dan jabatan. Berdasar Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Permen PANRB) Nomor 16 Tahun 2009, bagi guru PNS yang mengusulkan kenaikan pangkat harus memenuhi beberapa kriteria. Seperti, angka kredit point yang diperoleh dari pengembangan diri dan karya tulis. Bagi guru mulai golongan III B, selain mampu mengumpulkan angka kredit, juga mengumpulkan karya tulis. Kebijakan Direktorat Jenderal (Ditjen) Guru dan Tenaga Kependidikan dan Kebudayaan mewajibkan guru meneliti dan menulis karya ilmiah sebagai syarat kenaikan pangkat dan golongan karir ini, menuai protes. Publikasi karya tulis dinilai cukup menyesakkan.
Ketua Umum Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Sulistiyo, mengatakan peran seorang guru bukan peneliti dan juga bukan ilmuwan. Kalau pun guru harus melakukan penelitian dan penulisan karya ilmiah, maka kegiatan itu tak boleh menjadi kewajiban yang menghambat nasib guru, jika dia sudah melaksanakan tugas dengan baik.
Beberapa problem di atas, kini tak saja bermain di kepala para guru, namun juga membuat mereka 'tumbang' saat bertugas. Untuk kedua kalinya penulis mengantar rekan guru ke UGD karena tak kuat menahan sakit. Beberapa rekan dijemput keluarga, sakit mendera saat mengajar. Guru pingsan di sekolah karena gangguan pernafasan ulah kabut asap tahun lalu. Muncul pertanyaan, guru sakit mengapa masih mengajar, tidak dirawat? Sekali lagi, menjadi guru adalah panggilan hati.
Tantangan tak selesai disitu. Pemotongan tunjangan profesi sebulan bakal menghampiri, jika tak hadir sehari walau kondisi tak fit. Tenaga guru kiranya tak cukup sebatas memikirkan menciptakan penerus bangsa terdidik, berkarakter, bermanfaat bagi nusa dan bangsa, namun juga dituntut melengkapi berbagai administrasi layaknya pegawai struktural.
Menjadi ironi, masih ada yang menilai profesi guru tugasnya gampang, jam kerja setengah hari dan libur banyak. Sematan 'Pahlawan tanpa tanda jasa' dan 'Umar Bakri' kini jadi dendang usang. Kala guru mendapat reward tunjangan profesi, kecaman dilayangkan. Tuntutan tak masuk akal bermunculan. Kesejahteraan yang baru saja hendak dicicipi sang pelopor pendidikan ini, malah berasa penuh duri. Nada-nada sumbang dialamatkan kepada tenaga guru lambat laun juga membuat dada sesak. Alih-alih pemicu motivasi, jika dicermati, uneg-uneg kepada tenaga guru lebih pada kecaman serta 'ancaman'. Kalau sudah begitu, bagaimana gerangan memuliakan guru? ***
*) Penulis adalah pengajar di SMP Negeri 27, Pekanbaru