Benarkah Orang Kaya Identik Miskin Jiwa?
Tulisan Rohana Roshdea A Razak dalam Utusan Malaysia, edisi 12/10 2015, bertajuk Kemiskinan Harta dan Kemskinan Jiwa berintisari ajakan sekaligus peringatan. Secara umum baik, meskipun begitu saya hendak menambahkan catatan dengan meninjau pendapat kurang tepatnya tulisan Rosdiana mengingat kondisi yang terjadi kini, yaitu sudah banyak anak Melayu yang kaya harta, lalu kita angkat bicara tentang miskin jiwa.
Seolah-olah orang Melayu yang kaya identik dengan miskin jiwa. Sepertinya terkesan membuat tipologi paradok bangsa Melayu ada pertentangan kaya harta dan miskin jiwa. Jika kita cari kata kaya bermakna orang yang bekecukupan. Atau kaya adalah orang banyak harta. Misalnya dia orang kaya, maknanya dia banyak memiliki harta.
Sementara bila kita ambil lawan kata kaya adalah miskin, yaitu adalah orang berkekurangan. Lazimnya adalah kekurangan harta, dapat menjadi penghalang. Artinya kemiskinan menjadi pengalang kemajuan. Kemiskinan berkorelasi kuat dengan kebodohan.
Dari ikhtisar paparan di atas, miskin adalah kekurangan yang pada gilirannya kekurangan itu berpengaruh untuk kemajuan. Pertanyaannya benarkah kemiskinan absolut membawa kemunduran Bagi orang Melayu soalan adalah sesuatu yang penting untuk dijawab. Alasannya ada dua hal. Pertama, pemahaman akan makna kemiskinan. Lalu bagaimana mengatasi kemiskinan. Seperti diurai Rohana, bahwa kemiskinan ada kemiskinan harta dan ada kemiskinan jiwa.
Mengatasi kemiskinan jiwa dengan ajaran agama. Bentuk usaha melakukan tanpa putus asa. Utamanya kemiskinan jiwa harus lebih dahulu diatasi. Lantas kemudian diatasi kemiskinan harta benda.
Kedua, apakah benar miskin membawa orang tidak dapat meraih kemajuan. Hal ini dapat dijawab tidak.
Bukan semua orang miskin tertutup baginya memperoleh kemajuan. Tidaklah demikian. Ada banyak contoh yang menunjukkan orang miskin bisa berjaya dalam meraih sukses kehidupannya. Misalnya, pemimpin Melayu pada umumnya berasal dari kalangan bukan orang kaya. Bung Karno dari Indonesia bukan keluarga kaya.
Abdulah Ahmad Badawi dari Malaysia bukan keluarga kaya dan lain lain sebagainya.Presiden Abraham Lincoln Presiden Amerika keluarga miskin. Hingga ia tidak bisa sekolah ke tingkat lebih tinggi. Tapi ia rajin membaca dan belajar tanpa henti. Ia sukses.
Dari uraian di atas, jelas bahwa takrif miskin dan kemajuan sangat banyak singgungannya dengan peradaban Melayu masa depan, yaitu sukses masa depan ditentukan oleh tidak miskin jiwa dan tidak miskin harta. Dua duanya haruslah menjadi azas masyarakat Melayu melengkapi soalan di atas. Menarik juga untuk menambahkan pandangan Syafrudin Perwiranegara, seorang tokoh Indonesia.
Dalam biografinya yang ditulis Ayip Rasyidi, masalah kemiskinan masalah utamannya terletak pada kemiskinan mental. Sikap malas, semangat kerja rendah adalah bentuk kemiskinan mental. Padahal jika mereka rajin, sabar, bekerja sunguh-sungguh, ini berarti tidak miskin mental. Menurut Syafrudin, Islam mengajarkan sikap yang demikian.
Syafrudin yang juga mantan Gubernur Bank Sentral Indonesia (BI) mengatakan, kemiskinan mental adalah tantangan umat Islam. Sementara kaya materi atau harta mudah dicapai. Bisa jadi kaya harta, tapi miskin mental menjadi persoalan baru, yaitu banyaknya orang kaya yang menjadi tidak bermoral. Orang kaya demikian dapat menjadi serakah, acuh pada masyarakat, egois individualis dan sebagainya.
Kenyataan sekarang, banyak orang Melayu kaya harta, maka sesuai dengan harapan Melayu berkemajuan seyogyanya mereka yang kaya tidak menjadi egois individualis, menyebabkan mereka jauh dari rasa empati kepada kaum yang lemah miskin dan papa. Makna kemiskinan yang sesungguhnya terletak pada harta dan mental atau moral. Kedua aspek kemiskinan itu harus diatasi secara serempak, menjadikan masyarakat Melayu yang kaya harta dan mempunyai moral, nilai mental yang tinggi.
Catatan di atas dimaksudkan sebagai imbauan, jangan sampai terjadi orang miskin harta tidak berusaha dengan sungguh-sungguh dan sabar. Juga jangan sampai mereka yang kaya menjadi lupa diri, egois, individualis. Tidak ada paradoks antara kemiskinan harta dan kemiskinan jiwa. Dua-duanya harus berpadu dalam minda orang Melayu untuk meraih masyarakat yang berkemajuan.***
Doktor pensyarah Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (UHAMKA), Jakarta.