Membangun Konsolidasi Demokrasi
Sejak tergulingnya rezim Soeharto pada mei 1998 lalu, masa peralihan menuju sistem demokrasi atau yang lazim disebut masa transisi reformasi sudah menginjak angka 17 tahun. Dalam masa yang relatif panjang ini, nilai-nilai demokratisasi dalam tubuh bangsa ini begitu sangat terasa. Jauh berbeda dari semangat otoriter militeristik seperti yang ada pada era kepemimpinan Soeharto sebelumnya.
Masa peralihan dari otoriter militeristik menuju masa demokratis boleh dibilang adalah kemufakatan seluruh bangsa Indonesia. Semua masyarakat di republik ini sepakat, bahwa mereka menginginkan kehadiran negara yang dibangun di atas sikap transparansi dan anti feodal. Oleh sebab karenanya, demokrasi adalah harga mati yang harus diperjuangkan oleh siapapun dan dimanapun. Melalui demokrasi, rakyat dapat leluasa mengakses hak beserta kewajiban mereka, tidak dapat dikekang oleh intervensi dan sikap semena-mena.
Demokrasi bukanlah masa antah berantah yang lahir dari suatu kebetulan. Demokrasi adalah buah perjuangan berat negara melalui proses panjang penguatan sektor masyarakat, perbaikan sistem ketatanageraan, serta penguatan partisipasi masyarakat bawah dalam banyak keputusan secara langsung. Karenanya, dalam proses menuju demokrasi sesungguhnya, masa transisi yang lazim disebut sebagai masa reformasi merupakan fase paling menentukan.
Disebut paling menentukan karena di masa inilah bangsa kita akan mendapati ujian bertubi-bertubi. Apakah bangsa ini akan tetap berjalan di tempat seperti saat-saat ini, atau mungkin sebaliknya mundur ke belakang. Kembali pada masa orde baru yang kental intervensi dan kekuatan militer, atau kita akan melangkah maju menjadi negara demokrasi sesungguhnya seperti yang diimpikanoleh.
kebanyakan kita. Pastinya, sebagai bangsa yang mencita-citakan kesejahteraan hidup, maka jelas kita menginginkan terciptanya demokrasi murni, demokrasi sepenuhnya. Bukan demokrasi abal-abalan, bukan pula demokrasi yang setengah-setengah.
Demokrasi sesungguhnya adalah cerminan dari sistem ketatanegaraan dan pemerintahan yang menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan, dimana kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat. Pengertian seperti ini memiliki relevansi kuat dengan hakikat demokrasi sebagaimana didefinisikan oleh Abraham Lincoln. Demokrasi adalah sebuah pola pemerintahan yang datang dari rakyat, dijalankan oleh rakyat, dan ditujukan kepada rakyat. Sederhananya, dalam konteks demokrasi yang sesungguhnya rakyat adalah prioritas. Dalam keadaan apapun dan dimanapun rakyat harus diutamakan. Tak boleh ada tawar menawarPerkuat Pilar.
Dalam mencari dan menciptakan format demokrasi yang sesungguhnya, negara harus benar-benar mampu mengatur dan mengakomodir segala komponen. Termasuk didalamnya adalah penguatan pilar demokrasi sebagai pondasi dan dasar tegaknya demokrasi itu sendiri. Salah satu pilar penting disini adalah aspek pemisahan kekuasaan atau yang lebih kita kenal dengan sebutan trias politica. Sampai sejauh ini, trias politica atau pemisahan keuasaan diartikan sebagai pembagian kekuasaan ke dalam tiga lembaga negara (eksekutif, yudikatif, dan legislatif) yang bertujuan menghadirkan check and balances (saling koreksi, saling mengimbangi).
Sebab, seperti bahasa Locke, kekuasaan yang yang dikendalikan satu lembaga negara cenderung menimbulkan efek destruktif bagi keberadaan negara itu sendiri. Tumpang tindih kekuasaan dan kekacauan sistem pemerintahan. Untuk itulah, penguatan pilar demokrasi sebagai upaya konsolidasi demokrasi adalah sebuah keniscayaan. Penguatan pilar demokrasi merupakan hasil interaksi produktif antar lembaga negara (state) yang tergabung dalam Trias Politica lembaga negara. Lembaga yudikatif, lembaga eksekutif, juga lembaga lesgislatif. Dalam perkara ini, ketiga lembaga negara tersebut.
perlu duduk bersama, menjalin kemufakatan dan kesadaran membangun bangsa. Saling melakukan koreksi dan usaha penyeimbangan guna menciptakan kondisi pemerintahan kondusif dan berintegritas.
Stop Kegaduhan.
Hal paling penting yang harus kita dengungkan pada para elit politisi dan pejabat publik sekarang ialah, menyuruh mereka berhenti berbuat gaduh dan kacau. Dalam masa satu tahun kepemimpinan Presiden Jokowi, negeri kita terlalu bising dengan kegaduhan. Karena sibuk bergaduh, banyak tugas kenegaraan yang terbengkalai. Ironinya, kegaduhan tersebut terjadi bukan saja di satu lembaga.
Melainkan menular di banyak lembaga penting. Di tubuh legislatif misalnya. Dalam banyak kasus terdahulu, barangkali masih segar dalam ingatan kita beberapa kegaduhan yang dipertontonkan wakil rakyat, melibatkan pihak pemerintah dan non pemerintah di parlemen.
Kalau kita mencermati perselisihan dan perseteruan mereka, kita dapat menyaksikan bagaimana instrumin politik dikontruksi sedramatis mungkin. Politisasi dijalankan dalam banyak rupa demi memenuhi tujuan dan kepentingan. Lucunya, kedua belah pihak sama-sama mengaku atas nama rakyat.
Padahal, meminjam bahasa Ervin Goffman, apa yang mereka pertontonkan tak lebih sekedar dramatisasi yang diperagakan mengelabui masyarakat. Beragam kegaduhan yang terjadi sepanjang 2015, tentu tidak kita harapkan kembali terjadi tahun ini. Publik tentunya berharap semua sektor kelembagaan di tubuh bangsa ini bersatu. Harmonis, saling merangkul, bahu membahu. Menguatkan pilar-pilar kebangsaan demi tegaknya demokrasi yang sesungguhnya.
Hal demikian pekerjaan besar yang memerlukan kerja sama, kesadaran, fokus, konsentrasi, dan energi. Karena itu, dalam perkara ini soliditas dan solidaritas unsur pokok kenegaraan, dalam hal ini lembaga kepemerintahan perlu dikuatkan. Selain itu, negara harus mempertegas keberadaannya dengan senantiasa hadir untuk menangani beragam macam persoalan kebangsaan yang belum.
terselesaikan. Tentu rakyat sangat berharap, aparatus negara, terutama Presiden, wakil Presiden, anggota legislatif, dan para Menteri, mampu meredam diri. Mereka tak boleh lagi saling senggol, saling hujat, saling kepet, dan saling menyalahkan. Apalagi terlibat langsung dalam kegaduhan politik seperti tahun sebelumnya. Apakah itu lembaga eksekutif, yudikatif, ataupun legislatif tidak boleh diganggu, apalagi disibukkan oleh hal-hal tidak berguna di luar kepentingan rakyat.
Pada saat bersamaan, rakyat harus ikut turun tangan. Mereka berkewajiban memantau dan mengontrol seluruh lembaga kenegaraan beserta aparaturnya, agar tetap berada di jalur yang benar. Tanpa adanya sinergitas antara aparatur negara bersama masyarakat sipil, mustahil konsolidasi demokrasi di republic ini dapat tereaisasi dengan baik. ***